Home » , , , , , , , » Neo-Liberalisme Kebijakan Publik Indonesia Dalam Studi Kebijakan Kuba dan Brazil

Neo-Liberalisme Kebijakan Publik Indonesia Dalam Studi Kebijakan Kuba dan Brazil

A. Konsep Neo-Liberalisme

Neo-liberalisme pertama-tama bukan urusan ekonomi, tetapi suatu proyek filosofis yang beraspirasi menjadi teori komprehensif tentang manusia dan tatanan masyarakat. Gagasan neo-liberalisme kira-kira dapat diringkas begini. Ragam relasi manusia bisa saja disebut kultural, politik, legal, sosial, psikologis, estetik, spiritual dan seterusnya. Namun, bila harus dikatakan secara lugas, beragam relasi itu dipandu oleh prinsip transaksi laba-rugi yang berlaku dalam kinerja ekonomi pasar (Becker, 1976)

Bagi para ekonom libertarian ini, tak ada avatar spontanitas dan kesukarelaan yang lebih sempurna daripada relasi dalam pasar-bebas. Friedrich Hayek dan Milton Friedman paling tegas mengajukan pokok ini. “Kapitalisme”, tulis Friedman, “adalah prasyarat kebebasan politik”. Justru karena itu, perhatian utama ditujukan pada corak spontanitas yang berlangsung di pasar bebas. Corak spontanitas dan kesukarelaan dalam transaksi ekonomi pasar adalah model kebebasan sejati. Manusia tentu seperti taman keragaman: ia homo culturalis, homo politicus, homo legalis, homo spiritualis, dan seterusnya. Akan tetapi, di kedalaman sana ia pertama-tama adalah homo oeconomicus (Hayek, 1944; Friedman, 1962).

Definisi mendasar dapat ditelusuri kembali melalui liberalisme klasik yang dianjurkan oleh Adam Smith, dan dengan konsepsi tertentu dari manusia dan masyarakat di mana dia mendirikan teori ekonominya. Neoliberalisme, di bawah pandangan ini, dianggap sebagai "paradigma" yang sama sekali baru untuk teori ekonomi dan pembuatan kebijakan - ideologi di belakang panggung paling baru dalam pengembangan masyarakat kapitalis - dan pada saat yang sama kebangkitan teori ekonomi Smith dan ahli waris intelektual di abad kesembilan belas (Clarke 2005).

Argumen tersebut dilanjutkan oleh Palley (2005), yang berpendapat bahwa "pembalikan besar" telah terjadi, di mana neoliberalisme telah menggantikan teori ekonomi John Maynard Keynes (1936) dan para pengikutnya. Keynesianisme adalah kerangka teoritis yang dominan di bidang ekonomi dan ekonomi pembuatan kebijakan pada periode antara 1945 dan 1970, tetapi kemudian digantikan oleh pendekatan yang lebih "monetaris" terinspirasi oleh teori-teori dan penelitian dari Milton Friedman (1962). Sejak itu, dunia seakan dituntun untuk percaya bahwa "neoliberalisme", yaitu monetarisme dan teori-teori terkait, telah mendominasi pembuatan kebijakan ekonomi makro, seperti ditunjukkan oleh kecenderungan terhadap kurangnya peraturan negara pada ekonomi, dan penekanan lebih besar pada stabilitas ekonomi daripada tujuan kebijakan "Keynesian" seperti pengangguran dan pengentasan kemiskinan.

Seperti yang dijelaskan oleh Munck (2005), kemungkinan "pasar yang mengatur dirinya sendiri" adalah asumsi inti dalam liberalisme klasik, dan anggapan penting di antara neoliberal juga. Alokasi sumber daya yang efisien adalah tujuan yang paling penting dari sebuah sistem ekonomi, dan cara yang paling efisien untuk mengalokasikan sumber daya berjalan melalui mekanisme pasar, sesuai dengan apa Munck menggambarkan sebagai "teori ekonomi neoliberal". Kisah intervensi dalam perekonomian dari instansi pemerintah karena itu hampir selalu tidak diinginkan, karena intervensi dapat merusak logika pasar yang sudah tersetting, dan dengan demikian mengurangi efisiensi ekonomi.

Harvey (2005) mengatakan bahwa "Neoliberalisme adalah pada tingkat pertama teori praktek ekonomi politik yang mengusulkan bahwa manusia dengan wujud terbaik dapat maju dengan membebaskan kebebasan kewirausahaan individu dan keterampilan dalam kerangka kelembagaan yang kuat ditandai dengan hak kepemilikan pribadi, pasar bebas dan perdagangan bebas. Peran negara adalah untuk menciptakan dan mempertahankan suatu kerangka kelembagaan yang tepat untuk praktek-praktek tersebut. Negara harus menjamin, misalnya, kualitas dan integritas uang. Ia juga harus mengatur militer mereka, pertahanan, polisi dan struktur hukum dan fungsi yang diperlukan untuk mengamankan hak milik pribadi dan menjamin, dengan kekerasan jika perlu, berfungsinya pasar. Selain itu, jika pasar tidak ada (di daerah seperti tanah, air, pendidikan, perawatan kesehatan, jaminan sosial, atau polusi lingkungan) maka mereka harus diciptakan, oleh tindakan negara jika perlu. Tapi di luar tugas-tugas itu negara tidak harus ada. Intervensi negara dalam pasar (sekali dibuat) harus disimpan secara minimal karena menurut teori ini, negara tidak mungkin memiliki informasi yang cukup untuk menerka sinyal pasar (harga) dan karena kelompok kepentingan yang kuat pasti akan mendistorsi dan intervensi Bias negara (terutama dalam demokrasi) untuk keuntungan mereka sendiri"

Dengan definisinya tersebut, Harvey menegaskan untuk melihat neoliberalisme,  bukan sebagai peremajaan liberalisme pada umumnya, tetapi sebagai teori ekonomi khas yang dalam beberapa kali telah menggantikan sebuah "liberalisme yang tertanam" lebih berwatak halus, yaitu pendekatan Keynesian terhadap tata kelola ekonomi makro modern yang terinspirasi oleh liberalisme . Hal ini jelas bahwa Harvey melihat neoliberalisme bukan sebagai kelanjutan dari liberalisme "yang sebenarnya", tetapi sebagai sesuatu yang hidup secara independen dari nilai-nilai liberal arus utama dan kebijakan.

Genius neo-liberalisme bukan terletak dalam gagasan ekonomi, yang sesungguhnya hanya radikalisasi prinsip pasar menuju konsekuensi terjauhnya. Apa yang menggetarkan adalah bahwa neo-liberalisme merupakan proyek normatif mengorganisir tata masyarakat menurut prinsip pasar-bebas. Jika proyek liberalisme ekonomi bergerak dengan prinsip bahwa alokasi banyak barang/jasa harus ditentukan oleh kinerja pasar, neo-liberalisme melakukan radikalisasi dengan menggagas “semua relasi manusia ditentukan oleh kinerja pasar” dan menuntut “prinsip pasar diterapkan bukan hanya pada alokasi barang/jasa”. Jika dalam liberalisme ekonomi abad ke-19, prinsip pasar diterapkan dalam pengadaan barang seperti, misalnya, pakaian dan perhiasan, dalam proyek neo-liberalisme prinsip itu diterapkan juga untuk pengadaan pendidikan dan kesehatan (Clarke, 2005; Treanor, 2005).

Dari proses suatu transaksi pasar diciptakan beberapa sub-transaksi, kemudian dari beberapa sub-transaksi pasar itu diciptakan lagi berbagai sub-sub-transaksi lain. Begitu seterusnya, sampai transaksi awal antara A dan B tenggelam dalam sekian banyak sub-transaksi dan sub-sub-sub transaksi antara. Melalui proses ini muncul apa yang disebut ‘ekonomi maya’, dengan buihnya yang sering samasekali tak punya kaitan apapun dengan perkembangan ‘ekonomi sektor riil’ (Leyshon et all, 2005; Dumenil and Levy, 2004).
Ringkasnya, dalam proyek neo-liberalisme, “tidaklah cukup prinsip pasar diterapkan pada barang/jasa ekonomi; ia harus diterapkan di bidang lain. Tidaklah cukup ada pasar, tetapi tidak boleh ada yang lain selain pasar”(Treanor, 2005).

B. Kebijakan Publik di Indonesia

Beberapa hari yang lalu bangsa ini telah disibukkan oleh berbagai macam aksi penolakan kenaikan harga BBM. Dalam aksi tersebut kerap dipekikkan bahwa kenaikan BBM adalah kebijakan negara yang telah disusupi paham neo-liberalisme, sebuah paham yang menurut mereka lebih menitik-beratkan segala macam kebijakan negara pada tuntutan pasar ekonomi global. Tidak hanya itu neo-liberal juga dituding sebagai biang dari ketidakmerataan kesejahteraan yang dinikmati oleh warga negara. Ada yang meyebut bahwa bangunan kesejahteraan negara ini seperti piramida. Di bagian paling atas, yaitu 10% orang Indonesia adalah mereka yang disebut sebagai konglomerat, menikmati kesejahteraan bangsa sebesar 60%. Di bagian tengah, yaitu 30% orang dengan kategori kelas menengah menikmati kesejahteraan negara hanya sampai 30%. Dan sisanya, yaitu bagian terbawah, yaitu sebanyak 60% dari total manusia negara ini hanya menikmati 10% saja kesejahteraan negara. 

Kembali kepada gagasan Harvey, jantung neo-liberalisme adalah gagasan bahwa suatu tindakan disebut lebih bernilai dibanding tindakan lain apabila tindakan itu menghasilkan laba lebih besar dalam idiom ekonomi. Itu ungkapan lain dari pernyataan bahwa jenis kebebasan tindakan yang lebih bernilai dibanding kebebasan-kebebasan lain adalah jenis kebebasan tindakan yang menghasilkan daya-beli lebih tinggi dalam kinerja pasar. Dari sinilah kemudian lahir sebuah normatifitas “pelaku yang mempunyai daya-beli lebih tinggi ditetapkan lebih bernilai dibanding pelaku yang berdaya-beli lebih rendah”. Hal ini dikarenakan dalam ekonomi pasar berlaku “the highest bidder, the winner”, semakin tinggi daya-beli, semakin tinggi pula nilainya. Itulah mengapa, meskipun dalilnya setiap orang adalah “pengusaha swasta”, proyek neo-liberal memberikan perlakuan amat istimewa kepada perusahaan-perusahaan raksasa, dan bukan usaha mikro atau kecil. Hal ini juga yang menyebabkan mengapa konflik ‘kebebasan modal’ dan ‘kebebasan untuk bekerja’ berakhir dengan prioritas ‘kebebasan modal’ – investor ditetapkan lebih bernilai daripada buruh. Apa yang ditempuh proyek neo-liberal adalah “menyempitkan atau bahkan meremuk konsep kebebasan dengan menetapkannya sebagai kebebasan bisnis” (Harvey, 2005)

Dari penjelasan tersebut dapat kita maknai bahwa inti neo-liberalisme adalah daya beli yang dimiliki oleh seseorang. Dan permasalahan pelik di negara ini, seperti yang telah disampaikan di awal tulisan, adalah tidak meratanya distribusi kesejahteraan di negara ini yang kemudian terjadinya disparitas yang sangat tinggi dalam hal daya beli masyarakat tersebut.

Memang, ketika suatu negara mendasarkan pondasi ekonominya pada pilar-pilar neo-liberal (deregulasi, liberalisasi, privatiasi), seperti halnya anjuran IMF untuk ekonomi makro Indonesia, akan tercipta pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan trend meningkat. Namun demikian, harus ditelaah lebih jauh, apakah trend peningkatan tersebut adalah representasi sesugguhnya dari pertumbuhan ekonomi masyarakat? 

Kita yakin jawabannya adalah tidak. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi negara sebesar 6%, misalnya, maka dapat diartikan secara sederhana bahwa kemampuan ekonomi masyarakat juga akan meningkat 6% dari total kemampuannya selama satu tahun.  Jika A memiliki kekayaan di atas ratusan juta selama setahunnya dan B hanya sebesar ratusan ribu dalam setahunnya, maka akan terlihat, dengan kenaikan 6%, bahwa si A akan menjadi lebih kaya dalam waktu yang relatif cepat sementara si B harus bersabar dengan prosentase peningkatan tersebut.

Dan yang menjadi perhatian lebih adalah ketika pemegang kekuasaan ditentukan oleh siapa yang memegang daya beli paling besar. Sehingga lahirlah apa yang disebut sebagai kelompok elite yang memegang peran dominan dalam sebuah proses penentuan kebijakan kenegaraan (publik). Dengan fenomena ini jelas dapat disimpulkan bahwa paradigma pembuatan kebijakan publik di Indonesia tidak dapat disandarkan pada neo-liberalisme karena secara konstitusi bertentangan dengan falsafah demokrasi pancasila yang meletakkan dasar pelaksanaan agenda kenegaraannya kepada seluruh hajat hidup rakyat Indonesia.

Neo-liberalisme, jika diterapkan, di negara seperti Indonesia, dimana distribusi kesejahteraan kepada rakyatnya masih tidak merata, hanya akan membawa negara tersebut ke dalam kehancuran. Ketidakadilan dalam pendistribusian kesejahteraan akan menjadikan gap yang semakin lama semakin membesar di dalam lapisan masyarakat. Ibarat sebuah cemeti, seseorang dengan kemampuan daya beli yang lebih akan semakin cepat berlari. Sebaliknya, seseorang dengan kemampuan daya beli yang rendah hanya akan semakin terpuruk oleh cemeti yang bernama neo-liberalisme tersebut.

Bentuk Neo-Liberalisme Kebijakan Indonesia 


Di Indonesia, pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara masif berlangsung setelah perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997/1998 lalu. Secara terinci hal itu dapat disimak dalam berbagai nota kesepahaman yang ditandatatangani pemerintah bersama IMF. Setelah berakhirnya keterlibatan langsung IMF pada 2006 lalu, pelaksanaan agenda-agenda tersebut selanjutnya dikawal oleh Bank Dunia, ADB dan USAID. Kita bisa melihat hampir semua penjualan aset BUMN kepada pihak asing. 

Di mana-mana kebijakan neoliberalisme diterapkan melalui paksaan oleh lembaga finansial internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank. Kalau mau contoh bagaimana kebijakan neoliberalisme diterapkan, maka kita tidak perlu mencarinya jauh-jauh. Kebijakan ekonomi Indonesia selama dan setelah krisis seperti pemotongan subsidi minyak, privatisasi bank negara, privatisasi universitas dan pendidikan, privatisasi perusahan listrik negara, privatisasi rumah sakit umum dan privatisasi perusahaan pertambangan dan perkebunan negara yang dulu hasil dari nasionalisasi diawal kemerdekaan adalah bentuk nyata dari kebijakan neoliberal. 

Menyusul kemerosotan nilai rupiah, Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI), yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell. Begitu juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang.

Demikian halnya divestasi terhadap perusahaan-perusahaan negara dan bank pemerintah, liberalisasi perdagangan dan perpajakan yang semuanya diterapkan pasca krisis hingga kini adalah contoh terbaik bagaimana kebijakan neoliberal. Itulah makanya banyak orang mulai menganggap bahwa neoliberalisme berarti rekolonisasi. Di mana-mana kebijakan neoliberal juga membawa bencana. 

Kita bisa melihat di Indonesia sendiri. Proses "reformasi ekonomi" yang ditujukan untuk menyiapkan Indonesia memasuki Perdagangan Bebas adalah bukti dari bentuk neo liberalisme. Proses pengalihan usaha produktif dari pemerintah ke tangan swasta, pelonggaran pajak, pencaplokan modal nasional oleh modal asing – semuanya berlangsung mulus di bawah pengawasan Negara. Dan, yang lebih penting lagi, Negara kemudian membuat peraturan perburuhan yang lebih mencekik buruh, peraturan kelautan yang akan menggusur nelayan tradisional "secara alamiah dalam persaingan", peraturan agraria yang akan membuat petani miskin dipaksa bertarung dengan perusahaan agroindustri multinasional.

Dan, yang lebih penting, proses reformasi ekonomi ini menyertakan pula penguatan militerisme. Seiring dengan menguatnya perekonomian Indonesia (sekalipun ini semu dan temporer), menguat pula tindakan-tindakan militeristik Negara. Kali ini mereka berpegang ketat pada "konstitusi". Tapi, justru dari sini kita tahu bahwa Negara justru telah memperkuat kedudukannya sebagai alat represi terorganisir resmi terhadap oposisi gerakan rakyat.

Berupaya untuk mandiri, Tap MPR VI/MPR/2002 mengamanatkan agar pemerintah tidak memperpanjang kerja sama dengan IMF pada akhir tahun 2003. Dengan kata lain, secara politik, telah diputuskan bahwa Indonesia akan mandiri dari bantuan finansial IMF. Masalahnya, para politisi sering tidak mengerti ekonomi. Di tengah pasar bebas yang kian merasuk di seluruh dunia, niat mandiri itu memang patut diacungi jempol. Namun, arus besar neoliberalisme dan neokolonialisme bukan angin sepoi-sepoi yang efeknya bias dinihilkan. 

Ada sederetan kemungkinan konsekuensi yang harus ditempuh. Mulai dari harus menjual BUMN lagi, menjual asset BPPN lagi, sampai kemungkinan-kemungkinan pengeluaran tidak terduga seperti konflik Aceh hingga bencana alam. Banyak juga ekonom Indonesia yang cenderung mendukung opsi PPM atau post program monitoring ini. Opsi ini dianggap paling optimal. Manajemen risikonya relatif masih dapat dikendalikan dibandingkan dengan tiga opsi lain untuk keluar dari program IMF.

Sampai sekarang, paham Neoliberalisme tumbuh subur di Indonesia. Bahkan bisa jadi, tengah memasuki masa kejayaannya. Melihat peta politik saat ini, dalam lima tahun ke depan, banyak pihak memprediksikan kalau Neoliberalisme memasuki zaman keemasan dari kejayaannya di Indonesia, artinya berkembang dengan luar biasa pesat. Para arsitek neoliberalisme itu, sekarang ikut bertanding di pilpres mendatang.

Ciri Ciri Neoliberalisme di Indonesia yaitu, kekayaan terpusat pada sekelompok, orang maupun sindikat bisnis raksasa, mati dan lumpuhnya fungsi negara dalam layanan public, privatisasi atas semua sektor layanan publik (pendidikan dan kesehatan), dan semua kekuatan kritis menghamba pada rezim pasar (media, intelektual dan gerakan sosial).

Analisis neoliberalisme di Indonesia yaitu seperti negara adalah agen komprador yang menjadi pelayan bagi kepentingan-kepentingan modal International, aparatur keamanan lebih memilih untuk mengambil fungsi ‘bodyguard’ daripada perlindungan rakyat, dominasi dan kuatnya kekuasaan oligarkhi kapitalis di Indonesia, serta hancurnya wadah kekuatan gerakan rakyat yang sebenarnya jadi sumber perlawanan massa.
Efek Neoliberalisme di Indonesia yaitu semua layanan publik menjadi mahal (tingginya ongkos kesehatan dan pendidikan), membesarnya kekayaan berbagai sektor usaha global (dari sektor tambang hingga minimarket), kesenjangan yang makin melebar (kaya-miskin), konflik meluas bukan hanya pada kaya-miskin melainkan antar kelompok miskin, serta mulai munculnya gagasan Corporate Sosial Responsibility (CSR) dimana perusahaan mengambil fungsi Negara.

C. Kebijakan Indonesia dalam Studi Kebijakan Kuba dan Brazil

Model kebijakan Kuba yaitu melakukan suatu perubahan dari ekonomi swasta kearah ekonomi sosialis yang terencana. Ini karena sistem yang disebutkan belakangan lebih mampu meningkatkan produksi, pemerataan, dan secara rasional lebih bermoral. Rezim ini menekankan pemerataan atas akumulasi secara cepat telah berhasil menghancurkan musuh-musuh politiknya dan kemudian menciptakan suatu sistem dimana kebutuhan dasar menjadi perhatian utama ketimbang yang lain.

Kendatipun demikian, Kuba tidak berhasil sepenuhnya dalam mengubah prioritas kebijakannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi supaya mempertahankan pemerataan sosial. Pertumbuhan dicapai melalui investasi pertanian dan nikel kurang berhasil karena manajemen lemah, produktivitas tenaga buruh rendah dan blokade Amerika Serikat yang berlangsung terus menerus.

Atas menetapkan pilihan kebijakan distribusi atau pemerataan yang memprioritaskan pemerataan pendapatan, pemilihan, dan pelayanan, Kuba gagal dalam bidang pertumbuhan ekonomi. Program-program kebijakan yang ditujukan untuk mendorong pertumbuhan dan produktivitas tenaga kerja melalui insentif-insentif malahan menghasilkan tenaga kerja yang tidak produktif.

Berbeda dengan Brasil, pada awalnya para elite Brasil mempunyai asumsi bahwa kebijakan umum harus sejalan dengan dorongan kemajuan industrialisasi. Pertumbuhan pada akhirnya memberikan pilihan bagi perkembangan sosial masa depan dan akhirnya pada pembangunan politik. Dengan kata lain, hanya ketika kue ekonomi berkembang besar, maka kekayaan dapat didistribusikan untuk menjamin setiap orang memperoleh standar hidup yang wajar dan pada saat itulah negara siap mempraktikan demokrasi. Jadi model pembangunan Brasil menjadi bentangan urutan dari ekonomi ke sosial dan akhirnya ke tahap politik.
Dengan menetapkan pilihan kebijakan akumulasi, yang memprioritaskan pada pencapaian pertumbuhan ekonomi yang di ukur dengan Produk Nasional Bruto (GNP), sementara Brazil kurang memperhatikan bagaimana akumulasi kekayaan didistribusikan secara merata. Kegagalan terbesar Brasil adalah dalam hal pemerataan pembangunan

Atas pilihan penetapan model kebijakan, Brasil telah mencapai tingkat pertumbuhan yang mengesankan, namun ternyata gagal dalam mendistribusikan kue ekonomi yang mereka kumpulkan. Bahkan yang terjadi sebaliknya,  akumulasi kekayaan sebagai hasil dari strategi pertumbuhan  ekonomi telah menciptakan ketimpangan yang besar dalam masyarakat Brasil.

Dalam penjelasan dua model kebijakan di Kuba dan Brasil menunjukkan bahwa model kebijakan publik di Indonesia cendrung merujuk kepada model pembangunan kebijakan Brasil. Kebijakan publik di Indonesia yang bernuansa neo-liberalisme mengedepankan orientasi akumulasi modal yang besar dalam rangka mendukung peningkatan ekonomi. Sehingga membuka peluang bagi funding-funding asing untuk memberikan pinjaman modal besar seperti IMF, USAID, World Bank, dan lain-lain. Dan juga membuka pintu bagi asing untuk memainkan peran ekploitasinya dengan dalih investasi sehingga pergerakan dan hisapan ekonomi dalam negeri sepenuhnya dikuasi oleh asing.

Di satu sisi memang pilihan model kebijakan tersebut menghasilkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam mengejar ketertinggalannya. Adanya modal pembangunan yang memadai, lahirnya industrialisasi-industrialisasi makro, dan terciptanya alur perdaganagan bebas yang meluaskan aktivitas perekonomian. Tetapi implikasi dari pada itu semua adalah perputaran kue perekonomian hanya di nikmati oleh para pelaku-pelaku elite (strongman) yang menguasai aktvitas perekonomian. Pemerintah yang seharusnya mampu untuk memproteksi pasar dan wajib membatasi program-program makro yang ramah terhadap perekonomian mikro, terkesan tidak berdaya melihat realitas demikian.

Sehingga, tidak terciptanya pemerataan kue perekonomian yang menyeluruh bagi lapisan masyarakat Indonesia. Para masyarakat menengah kebawah hanya mampu menerima limbah-limbah perekonomian atau tetesan perekonomian yang sentral hasil ekonomi tersebut dinikmati oleh asing dan elite (strongman). Ketimpangan akan semakin jelas terasa, disparitas ekonomi yang berimplikasi kepada kelas-kelas sosial menjadi fenomena lumrah yang hari ini terjadi di Indonesia.

Maka oleh sebab itu, untuk menjawab permasalahan ini sejatinya pemerintah Indonesia harus tersadar dan bangkit melawan atas realitas hari ini. Reformasi kebijakan pembangunan ekonomi dan berani mandiri tanpa peran asing adalah suatu kebijakan yang wajib dilakukan oleh Indonesia. Langkah tersebut adalah jawaban untuk menyelamatkan dan mempertahankan bumi pertiwi untuk tetap berdiri. Atau terdiam dan tetap menikmati kondisi Indonesia hari ini yang Insa Allah 100 tahun kedepan Indonesia sudah hanya tinggal nama dalam buku-buku sejarah kenegaraan.

Rizkie Maulana
Mahasiswa Magister Studi Pembangunan USU

Lencana Facebook