Home » , , , , , , » Indonesia dan MEA: Peluang, Kehancuran, dan Studi Kebijakan Brazil

Indonesia dan MEA: Peluang, Kehancuran, dan Studi Kebijakan Brazil

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community yang akan dilaksanakan pada
2015 mendatang masih menyisakan tanda tanya. Terutama bagaimana mekanisme pelaksanaan pasar bebas ini, langkah antisipasi pemerintah, dan implikasinya bagi banyak sektor di Indonesia.

Salah satunya adalah persoalan ketenagakerjaan. Hingga saat ini, regulasi arus tenaga kerja secara bebas masuk ke Indonesia. Secara terpisah sudah ada sejumlah regulasi parsial tentang tenaga kerja asing di bidang industri pengolahan minuman, dan bidang di bidang  energi. Kalau pada akhirnya ketenagakerjaan menjadi bebas masuk ke dalam negeri, bagaimana pula wajah tenaga kerja Indonesia untuk bersaing bersama anggota peserta AEC 2015?

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia saat ini masih sangat rendah. Kesalahannya bisa tataran individu, lembaga, perantara atau justru pada regulasi yang menyertai.

Sektor tenaga kerja di Indonesia menghadapi tiga permasalahan utama yang dapat mempengaruhi daya saing tenaga kerja. Pertama, persoalan kesempatan kerja yang terbatas. Situasi ini, disebabkan karena pertumbuhan ekonomi yang belum mampu menyerap angkatan kerja yang masuk ke dalam pasar kerja dan jumlah penganggur riil. Kedua, rendahnya kualitas angkatan kerja. Berdasarkan data BPS Agustus 2013, rendahnya kualitas angkatan kerja terlihat dari perkiraan komposisi angkatan kerja yang sebagian besar berpendidikan SD ke bawah yang masih mencapai 52 juta orang atau 46,95 persen. Ketiga, masih tingginya tingkat pengangguran. Berdasarkan data BPS, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Agustus 2013 mencapai 6,25 persen atau meningkat dari Februari 2013 yang tercatat 5,92 persen dan Agustus 2012 yang sebesar 6,14 persen.

Melihat hal tersebut,  kondisi ini mengharuskan Indonesia untuk mencari terobosan dan pemecahan agar tenaga kerja sebagai aset bangsa tidak menjadi beban di kemudian hari bagi pembangunan. Kondisi ini mengharuskan kita mencari suatu pemecahan yang tidak lagi bersifat normatif tetapi ke arah terobosan (breathrough) agar tenaga kerja sebagai aset bangsa tidak justru menjadi beban di kemudian hari bagi pembangunan.

Setidaknya dua aspek penting ketenagakerjaan di Indonesia yakni Sumber Kekayaan Alam (SKA) dan Sumber Daya Manusia (SDM). “Sumber kekayaan alam tidak akan berarti dan menyejahterakan rakyat jika tidak dikelola oleh tenaga kerja yang kompeten dan berkualitas. Tenaga kerja mempunyai peran dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan itu sendiri.

Masalah lain yang dihadapi Indonesia adalah kenaikan upah yang signifikan dalam konteks UMR (Upah Minimum Regional), isu pekerjaan yang bersifat outsourcing, dan ancaman penganguran.

Disamping itu, dalam menghadapi MEA 2015, persoalan tenaga kerja di Luar Negeri masih banyak menyisakan perkerjaan rumah. Landasan hukum terkait  penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri adalah Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKLN).

Namun,  ketika dibaca dan ditelaah secara kritis, UU ini dinilai lebih banyak mengatur prosedural dan tata cara penempatan TKI ke luar negeri, dan hanya sedikit mengatur hak-hak dan jaminan perlindungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya.

Sembilan Sektor Jadi Prioritas Hadapi MEA
Kementerian Perindustrian menyatakan,ada sekitar sembilan sektor industri yang diprioritaskan dalam rangka menghadapi persaingan di Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.

Sembilan sektor industri itu adalah industri berbasis agro, produk olahan ikan, TPT, alas kaki, kulit dan barang kulit, furnitur, makanan dan minuman, pupuk dan petrokimia, mesin dan peralatannya serta industri logam dasar, besi dan baja. Industri tersebut diprioritaskan untuk dikembangkan karena memiliki daya saing yang relatif lebih baik dibandingkan negara ASEAN lainnya.

Selain itu, guna mengamankan pasar dalam negeri terhadap masuknya produk sejenis dari negara ASEAN lain, daya saing tujuh sektor industri lain juga perlu ditingkatkan. Ketujuh sektor itu adalah industri automotif, elektronika, semen, pakaian jadi, alas kaki, makanan dan minuman serta furnitur. "Pemerintah perlu melakukan kebijakan yang bersifat lintas sektoral dalam rangka menghadapi MEA 2015.

Langkah yang perlu dilakukan pemerintah di antaranya mengintensifkan sosialisasi MEA 2015 kepada pemangku kebijakan industri, mengusulkan percepatan pemberlakuan perlindungan dan anti-dumping bagi produk impor tertentu. Selanjutnya, menambah fasilitas laboratorium uji dan meningkatkan kompetensi SDM industri,penyusunan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).

Kelemahan dan Kebijakan Indonesia Menghadapi AFTA 2015
Berbagai kawasan perdagangan bebas dunia sekarang ini sedang menjadi trend. Termasuk yang dekat dengan Indonesia adalah Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN atau ASEAN Free Trade Area (AFTA). AFTA ini kemudian akan ditingkatkan lagi menjadi Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA di tahun 2015 mendatang.

a. Hanya Sebagai Pasar
Namun tampaknya Indonesia sampai saat ini belum siap menghadapinya. Indonesia sampai saat ini sebatas sebagai pasar bagi produk dari negara-negara ASEAN yang lain. Pertama, karena penduduk Indonesia yang saat ini berjumlah 231,3 juta jiwa merupakan 39% dari total penduduk ASEAN. Kelas menengah Indonesia saat ini juga berjumlah sekitar 100 juta orang. Tentu ini merupakan pasar yang menggiurkan bagi negara-negara ASEAN lain.

Kedua, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang saat ini sebesar 846 miliar dolar AS juga merupakan 40,3% PDB total negara-negara ASEAN. Ini juga merupakan indikasi pasar potensial yang terbesar.
Ketiga, masyarakat kelas menengah dan atas Indonesia sudah terkenal sebagai masyarakat yang konsumtif. Ini terlihat misalnya orang Indonesia rata-rata memiliki lebih dari satu hand phone. Berbeda misalnya dengan masyarakat Jepang yang terkenal dengan sifat hematnya. Indikasi yang jelas dari Indonesia sebagai pasar saja adalah selalu defisitnya neraca perdagangan internasional Indonesia dengan negara-negara ASEAN sejak tahun 2005.

b. Kelemahan
Kelemahan-kelemahan Indonesia yang belum bisa bersaing dengan negara-negara ASEAN adalah:
Pertama, Indonesia belum mampu atau tidak mau mengolah sumberdaya alam yang dimilikinya. Sekarang ini 40% ekspor Indonesia berupa bahan mentah dari sumberdaya alam seperti batubara, minyak nabati, gas, dan minyak bumi. UU baru yang melarang ekspor mineral mentah barangkali merupakan angin segar tetapi harus didukung dengan modal dan teknologi tinggi untuk mengolahnya.

Kedua, SDM Indonesia sampai saat ini juga tergolong masih rendah kualitasnya, terutama ahli-ahli atau sarjana eksakta (teknik) yang masih kurang. Ketiga, infrastruktur Indonesia yang buruk juga menyebabkan ekonomi biaya tinggi bagi produksi barang dan jasa sehingga harganya tidak bisa bersaing di pasar ASEAN. Sampai saat ini pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur masih rendah.

Total pengeluaran pemerintah dari APBN untuk infrastruktur hanya 2% dari PDB. Smentara Vietnam mengeliarkan belanja infrastruktur 8% dari PDB nya bahkan China sampai mengeluarkan belanja infrastruktur 10% dari PDB nya. Menurut ADB (2011) panjang jalan di Indonesia adalah yang terpendek di ASEAN.

Keempat, di sektor jasa Indonesia sangat ketinggalan. Padahal seperti diketahui dalam ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) sudah dibuka liberalisasi untuk profesi Akuntan, dokter, dokter gigi, insinyur, perawat, dan arsitek.

Kelima, sektor pertanian yang merupakan sektor potensial Indonesia ternyata banyak ditinggalkan oleh berbagai kebijakan pemerintah. Padahal negara ASEAN lain juga punya sektor unggulan sektor pertanian dan mereka mengembangkannya dengan sungguh-sungguh. Contohnya adalah Thailand dan Vietnam.

c. Kebijakan
Atas dasar permasalahan dan kelemahan Indonesia seperti telah ditulis di atas maka dapat diambil kebijakan-kebijakan sebagai berikut: pertama, Indonesia harus meningkatkan ekspornya dari mayoritas bahan mentah dari sumberdaya alam menjadi barang jadi. Kebijakan melarang ekspor mineral mentah memang sudah baik. Tetapi hal itu harus disertai dengan kebijakan membangun teknologi tinggi serta industri padat modal untuk mengolah mineral tersebut.

Kedua, Perhatian terhadap pengembangan SDM tetap perlu mendapat prioritas. Pengembangan SDM khusus untuk ahli-ahli teknik dan eksakta perlu diprioritaskan. Ketiga, belanja infrastruktur perlu terus ditingkatkan. Jika pemerintah lewat APBN tidak sanggup maka bisa memanfaatkan kerjasama dengan swasta atau memanfaatkan dana tanggungjawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR).

Keempat, peningkatan mutu tenaga kerja di sektor jasa-jasa juga perlu mendapat perhatian serius sebab Indonesia kalah jauh dari tenaga kerja dari negara-negara ASEAN lainnya

Sinyal Hancurnya Indonesia hadapi pasar bebas ASEAN
Menyongsong pasar bebas ASEAN atau biasa disebut Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bagai dua sisi mata uang. Satu sisi kebijakan ini akan menguntungkan Indonesia, namun sisi lain malah akan jadi boomerang yang menghancurkan negara sendiri.

Kesiapan pemerintah Indonesia sangat diperlukan menghadapi MEA, jika tidak Indonesia hanya akan menjadi pasar dan 'budak' negara ASEAN lainnya. Kesiapan pemerintah diperlukan tidak hanya pada proteksi produk dalam negeri namun juga pada sisi tenaga kerja.

Saat ini pemerintah belum mempunyai kebijakan yang komprehensif menghadapi MEA pada awal 2015 mendatang. Negara lain seperti Malaysia dan Thailand sudah mempunyai strategi khusus agar negara mereka bisa mengambil keuntungan di pasar bebas ASEAN nantinya. Namun, apakah benar Indonesia sudah siap menghadapi pasar bebas ASEAN? Kita mencoba merangkum beberapa bukti kekurangan pemerintah dalam menghadapi MEA 2015.

1. Kalah dari Thailand, Indonesia tak ada kebijakan komprehensif

Pemerintah tidak punya kebijakan dan persiapan menghadapi pasar bebas ASEAN. Padahal, implementasi kebijakan ini sudah di depan mata yaitu pada awal 2015 mendatang. Negara ASEAN lainnya seperti Thailand sudah mempersiapkan diri menghadapi ini. Thailand dari dulu sudah fokus untuk mengembangkan produksi pertaniannya hingga keluar negeri.

Mereka sampai ekspansi ke Myanmar untuk memasuki pasar Indonesia nantinya. Mereka sudah buat blue print masyarakat dan pengusaha. Didukung dan dibiayai serta diberikan insentif untuk ekspansi ke Myanmar.
Bukan hanya itu, China yang noteben Non-ASEAN disebut-sebut juga mempersiapkan diri untuk 'menggempur' negara ASEAN. "Pemerintah dan pengusaha mereka (China) bekerja 100 jam per minggu, kemudian muncul strategi kredit. Ekspor mereka di bayari Bank Exim di sana.

Dan kita mempertanyakan kebijakan Indonesia dalam menghadapi pasar bebas Asean. Dalam pandangannya, Indonesia tak punya kesiapan sama sekali. "Kita juga harus punya strategi seperti itu. Misalnya pertanian, kita harus minta standardisasi."

2. Tak ada kebijakan mendukung produk dalam negeri
Menghadapi pasar bebas ASEAN mendatang, Indonesia dinilai belum mempunyai kebijakan yang mendukung produk dalam negeri. Hal ini terbukti dari otomotif RI yang tidak berkembang dari tahun 1970-an. Indonesia sudah mulai mengembangkan otomotif mulai tahun 1972, namun hasilnya tetap kalah dengan Malaysia yang baru mengembangkan otomotif sejak tahun 1980-an. Kondisi ini terjadi karena tidak ada aturan perindustrian yang mendukung produk dalam negeri. Seharusnya pemerintah mendorong agar produk dalam negeri lebih kompetitif, salah satunya dengan adanya standardisasi produk. Malaysia saja sekarang sudah mampu membuat merek otomotif mereka sendiri yaitu Proton.

3. Pengangguran Indonesia cuma lulusan SMP
Di pasar bebas ASEAN nanti, masyarakat Indonesia kemungkinan hanya akan menjadi 'budak' di negeri sendiri. Pasalnya, 80 persen pengangguran Indonesia hanya lulusan SMP dan SD. Jika dibandingkan dengan pengangguran negara tetangga, 80 persen pengangguran Singapura dan Malaysia adalah lulusan perguruan tinggi dan SMA. Para pengangguran dari negara tetangga diprediksi akan mengambil pekerjaan di Indonesia.

Mereka melakukan segala cara, misalnya desakan penggunaan Bahasa Inggris. "Mereka akan mendesak di MEA nanti menggunakan standar Bahasa Inggris. Kita sudah deg-degan saja. Apa yang bisa kita lakukan.
Isu liberalisasi arus tenaga kerja ini juga jadi perhatian Kamar Dagang dan Industri Indonesia atau Kadin. Jumlah tenaga kerja yang kurang terdidik di Indonesia masih tinggi yakni mereka yang berpendidikan di bawah SD dan SMP mencapai 68,27 persen atau 74.873.270 jiwa dari jumlah penduduk yang bekerja sekitar 110.808.154 jiwa.

Ini menyebabkan masih rendahnya produktivitas dan daya saing tenaga kerja dalam negeri. Kadin khawatir, nantinya buruh Indonesia akan tersisih, kalah bersaing dengan tenaga kerja terampil asal negeri jiran.
Kekhawatiran itu juga disuarakan oleh Staf pengajar Lemhanas Timotius Harsono. Jika pemerintah tak rajin memberi pelatihan dengan sertifikat internasional, maka pekerja asing akan diuntungkan dan merebut jatah penduduk Indonesia.

4. Standardisasi produk Indonesia masih kurang

Standardisasi dan sertifikasi produk dalam negeri masih sangat kurang dalam menghadapi MEA. Tidak adanya standardisasi ini akan menjadi peluang bagi produk impor untuk menggempur pasar dalam negeri. Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan pemerintah harus memberikan pembinaan kepada produsen dalam negeri agar produk mereka bisa sesuai dengan standar internasional. "Standardisasi dan sertifikasi produk harus diterapkan gradual dan pembinaan pemerintah kepada produsen.
Jangan sampai itu sertifikasi yang konsepnya pembinaan menjadi pembinasaan,"

Pemerintah tidak membantu dan memberikan pembinaan dalam hal standardisasi produk, maka ini akan menghancurkan produsen khususnya UKM sebelum MEA. Standardisasi sangat memberatkan karena membutuhkan biaya yang cukup banyak. Saat ini, banyak UKM yang mengeluhkan tidak bisa mengikuti standar internasional."Temuan mainan anak belum SNI, UKM bilang kami belum mampu standarnya tinggi seperti Amerika dan  Eropa.

5. Pasar bebas ASEAN tak hanya masalah ekonomi
Pasar bebas ASEAN 2015 mendatang, para negara maju tidak hanya akan menggunakan isu ekonomi untuk menyelamatkan produk mereka. Berbagai isu akan dilontarkan agar produk Indonesia tidak dapat bersaing.
"Standardisasi sangat penting dalam peningkatan daya saing di MEA. Belum masuk MEA, ikan teri Medan engga bisa masuk ke Amerika karena isu mempekerjakan anak. Jadi nanti tidak hanya memasukkan isu ekonomi saja, menggunakan banyak isu. Indonesia harus melakukan hal yang sama untuk itu.

Selain itu, dalam MEA di tahun 2015 mendatang tempe orek makanan asli Indonesia terancam akan diambil alih negara lain seperti Thailand. Pasalnya dalam pembuatan tempe belum mendapat sertifikasi dan stadardisasi. "Nanti produksi tempe yang 99 persen di UKM kita kan mereka (Thailand) bisa serang dari sisi higienisnya di pertanyakan orang. Sekarang banyak investor minta studi perusahaan tempe karena masih belum bersih, buatnya saja di injak injak.

Indonesia dan MEA dalam Studi Kebijakan Brasil
Sudah dapat di nilai, bahwasanya keterlibatan Indonesia di dalam forum perdagangan bebas MEA adalah tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Seperti layaknya studi kebijakan di Brasil, dengan peningkatan akumulasi modal dan pembangunan industrialisasi pesat, Brasil mampu menaikkan indek pembangunan negaranya.

Tetapi pada satu sisi, pilihan kondisi ini mempunyai konsekuensi. Khususnya bagi Indonesia, ketika arus investasi dengan mekanisme perdagangan bebas Indonesia tidak mampu berdaya saing, tidak mampu memproteksi aset-aset dalam negeri, maka realitas sebaliknya justru akan terjadi.

Semakin besarnya peran asing dalam objek objek vital dalam negeri yang mereka kuasai. Dan tingkat ketimpangan yang disebabkan ketidakmerataan perekonomian, maka sejatinya Indonesia akan mengalami suatu kondisi kesenjangan ekonomi dan krisis dalam negeri, seperti layaknya studi kebijakan di Brasil.

Lencana Facebook