MANAJEMEN KONFLIK: Definisi, Penyebab, dan Pengelolaan Konflik

Konflik Masyarakat, Konflik Suku, Konflik Pemuda, KonflikKonflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan. Bahkan sepanjang kehidupan, manusia senantiasa dihadapkan dan bergelut dengan konflik. Demikian halnya dengan kehidupan organisasi. Anggota organisasi senantiasa dihadapkan pada konflik. Perubahan atau inovasi baru sangat rentan menimbulkan konflik (destruktif), apalagi jika tidak disertai pemahaman yang memadai terhadap ide-ide yang berkembang.

Menurut Webster (1966) dalam Dean G. Pruitt dan Feffrey Z. Rubin, istilah “conflict” dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Arti kata itu kemudian berkembang  menjadi “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan”.

Dean G. Pruitt dan Feffrey Z. Rubin memaknai konflik sebagai persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Konflik dapat terjadi pada berbagai macam keadaan dan pada berbagai tingkat kompleksitas. Konflik merupakan sebuah duo yang dinamis.

Manajemen konflik sangat berpengaruh bagi anggota organisasi. Pemimpin organisasi dituntut menguasai manajemen konflik agar konflik yang muncul dapat berdampak positif untuk meningkatkan mutu organisasi. 

Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.

Menurut Ross (1993), manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.

Sementara Minnery (1980:220) menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan kota merupakan proses. Minnery (1980:220) juga berpendapat bahwa proses manajemen konflik perencanaan kota merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif, artinya bahwa pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota secara terus menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang representatif dan ideal.

Sama halnya dengan proses manajemen konflik yang telah dijelaskan diatas, bahwa manajemen konflik meliputi beberapa langkah yaitu: penerimaan terhadap keberadaan konflik (dihindari atau ditekan/didiamkan), klarifikasi karakteristik dan struktur konflik, evaluasi konflik (jika bermanfaat maka dilanjutkan dengan proses selanjutnya), menentukan aksi yang dipersyaratkan untuk mengelola konflik, serta menentukan peran perencana sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam mengelola konflik.

Transformasi Konflik
Fisher dkk (2001:7) menggunakan istilah transformasi konflik secara lebih umum dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan, yaitu:
  1. Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras
  2. Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan damai.
  3. Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat.
  4. Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.
  5. Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.
Tahapan-tahapan diatas merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan dalam mengelola konflik. Sehingga masing-masing tahap akan melibatkan tahap sebelumnya misalnya pengelolaan konflik akan mencakup pencegahan dan penyelesaian konflik.

Proses Manajemen Konflik
Sementara Minnery (1980:220) menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan merupakan proses. Minnery (1980:220) juga berpendapat bahwa proses manajemen konflik perencanaan merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif, artinya bahwa pendekatan model manajemen konflik perencanaan secara terus menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang representatif dan ideal.

Sama halnya dengan proses manajemen konflik yang telah dijelaskan diatas, bahwa manajemen konflik perencanaan meliputi beberapa langkah yaitu: penerimaan terhadap keberadaan konflik (dihindari atau ditekan/didiamkan), klarifikasi karakteristik dan struktur konflik, evaluasi konflik (jika bermanfaat maka dilanjutkan dengan proses selanjutnya), menentukan aksi yang dipersyaratkan untuk mengelola konflik, serta menentukan peran perencana sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam mengelola konflik.

Keseluruhan proses tersebut berlangsung dalam konteks perencanaan dan melibatkan perencana sebagai aktor yang mengelola konflik baik sebagai partisipan atau pihak ketiga.

Teori-Teori Utama Mengenai Sebab-sebab Konflik
  1. Teori Hubungan Masyarakat. Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran: meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok yang mengalami konflik, serta mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada didalamnya.
  2. Teori Kebutuhan Manusia. Menganggap bahwa konflik yang berakar disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Hal yang sering menjadi inti pembicaraan adalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi. Sasaran: mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan itu.
  3. Teori Negosiasi Prinsip. Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Sasaran: membantu pihak yang berkonflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap. Kemudian melancarkan proses kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
  4. Teori Identitas. Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Sasaran: melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik, sehingga dapat mengidentifikasi ancaman dan ketakutan di antara pihak tersebut dan membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka.
  5. Teori Kesalahpahaman Antarbudaya. Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran: menambah pengetahuan kepada pihak yang berkonflik mengenai budaya pihak lain, mengurangi streotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain, meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.
  6. Teori Transformasi Konflik. Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Penyebab Konflik
Konflik dapat terjadi hanya karena salah satu pihak memiliki aspirasi tinggi karena alternatif yang bersifat integrative dinilai sulit didapat. Ketika konflik semacam ini terjadi, maka ia akan semakin mendalam bila aspirasi sendiri atau aspirasi pihak lain bersifat kaku dan menetap.

Aspirasi dapat mengakibatkan konflik karena salah satu dari dua alasan, yaitu masing-masing pihak memiliki alasan untuk percaya bahwa mereka mampu mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri mereka sendiri atau mereka percaya bahwa berhak memeiliki objek tersebut. Pertimbangan pertama bersifat realistis, sedangkan pertimbangan kedua bersifat idealis.
  1. Faktor Manusia: Ditimbulkan oleh atasan, terutama karena gaya kepemimpinannya, Personil yang mempertahankan peraturan-peraturan secara kaku, dan timbul karena ciri-ciri kepriba-dian individual, antara lain sikap egoistis, temperamental, sikap fanatik, dan sikap otoriter.
  2. Faktor Organisasi
  • Persaingan dalam menggunakan sumberdaya. Apabila sumberdaya baik berupa uang, material, atau sarana lainnya terbatas atau dibatasi, maka dapat timbul persaingan dalam penggunaannya. Ini merupakan potensi terjadinya konflik antar unit/departemen dalam suatu organisasi.
  • Perbedaan tujuan antar unit-unit organisasi. Tiap-tiap unit dalam organisasi mempunyai spesialisasi dalam fungsi, tugas, dan bidangnya. Perbedaan ini sering mengarah pada konflik minat antar unit tersebut. Misalnya, unit penjualan menginginkan harga yang relatif rendah dengan tujuan untuk lebih menarik konsumen, sementara unit produksi menginginkan harga yang tinggi dengan tujuan untuk memajukan perusahaan.
  • Interdependensi Tugas. Konflik terjadi karena adanya saling ketergantungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Kelompok yang satu tidak dapat bekerja karena menunggu hasil kerja dari kelompok lainnya.
  • Perbedaan Nilai dan Persepsi. Suatu kelompok tertentu mempunyai persepsi yang negatif, karena merasa mendapat perlakuan yang tidak “adil”. Para manajer yang relatif muda memiliki presepsi bahwa mereka mendapat tugas-tugas yang cukup berat, rutin dan rumit, sedangkan para manajer senior mendapat tugas yang ringan dan sederhana.
  • Kekaburan Yurisdiksional. Konflik terjadi karena batas-batas aturan tidak jelas, yaitu adanya tanggung jawab yang tumpang tindih.
  • Masalah “status”. Konflik dapat terjadi karena suatu unit/departemen mencoba memperbaiki dan meningkatkan status, sedangkan unit/departemen yang lain menganggap sebagai sesuatu yang mengancam posisinya dalam status hirarki organisasi.
  • Hambatan Komunikasi. Hambatan komunikasi, baik dalam perencanaan, pengawasan, koordinasi bahkan kepemimpinan dapat menimbulkan konflik antar unit/ departemen.
Akibat Konflik
  • Dampak Negatif: Menghambat komunikasi, Mengganggu kohesi (keeratan hubungan), Mengganggu kerjasama atau “team work”, Mengganggu proses produksi, bahkan dapat menurunkan produksi. Menumbuhkan ketidakpuasan terhadap pekerjaan. Individu atau personil menga-lami tekanan (stress), mengganggu konsentrasi, menimbulkan kecemasan, mangkir, menarik diri, frustrasi, dan apatisme. Apabila konflik mengarah pada kondisi destruktif, maka hal ini dapat berdampak pada penurunan efektivitas kerja dalam organisasi baik secara perorangan maupun kelompok, berupa penolakan, resistensi terhadap perubahan, apatis, acuh tak acuh, bahkan mungkin muncul luapan emosi destruktif, berupa demonstrasi.
  • Dampak Positif: Membuat organisasi tetap hidup dan harmonis, Berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan, Melakukan adaptasi, sehingga dapat terjadi perubahan dan per-baikan dalam sistem dan prosedur, mekanisme, program, bahkan tujuan organisasi, Memunculkan keputusan-keputusan yang bersifat inovatif. Memunculkan persepsi yang lebih kritis terhadap perbedaan pendapat. Konflik bisa jadi merupakan sumber energi dan kreativitas yang positif apabila dikelola dengan baik. Misalnya, konflik dapat menggerakan suatu perubahan: Membantu setiap orang untuk saling memahami tentang perbedaan pekerjaan dan tanggung jawab mereka, Memberikan saluran baru untuk komunikasi, Menumbuhkan semangat baru pada staf, Memberikan kesempatan untuk menyalurkan emosi, Menghasilkan distribusi sumber tenaga yang lebih merata dalam organisasi.
Strategi Mengatasi Konflik
Munculnya konflik tidak selalu bermakna negatif, artinya jika konflik dapat dikelola dengan baik, maka konflik dapat memberi kontribusi positif terhadap kemajuan sebuah organisasi.

Beberapa strategi mengatasi konflik antara lain adalah:
  1. Contending (bertanding) yaitu mencoba menerapkan solusi yang lebih disukai salah satu pihak atau pihak lain;
  2. Yielding (mengalah) yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang dari apa yang sebetulnya diinginkan;
  3. Problem Solving (pemecahan masalah) yaitu mencari alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak;
  4. With Drawing (menarik diri) yaitu memilih meninggalkan situasi konflik baik secara fisik maupun psikologis. With drawing melibatkan pengabaian terhadap kontroversi.
  5. Inaction (diam) tidak melakukan apapun, dimana masing-masing pihak saling menunggu langkah berikut dari pihak lain, entah sampai kapan.
Konflik Sebagai Suatu Oposisi
Konflik dapat dikatakan sebagai suatu oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi, yang disebabkan oleh adanya berbagai macam perkembangan dan perubahan dalam bidang manajemen serta menimbulkan perbedaan pendapat, keyakinan, dan ide.

Dalam pada itu, ketika individu bekerja sama satu sama lain dalam rangka mewujudkan tujuannya, maka wajar seandainya dalam waktu yang cukup lama terjadi perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka. Ibarat piring, banyak yang pecah atau retak, hanya karena bersentuhan dengan piring lainnya.

Tahap-Tahap Berlangsungnya Konflik
Menurut Mulyasa pada umumnya konflik berlangsung dalam lima tahap, yaitu tahap potensial, konflk terasakan, pertenangan, konflik terbuka, dan akibat konflik.
  1. Tahap Potensial, yaitu munculnya perbedaan di antara individu, organisasi, dan lingkunan merupakan potensi terjadinya konflik;
  2. Konflik Terasakan, yaitu kondisi ketika perbedaan yang muncul dirasakan oleh individu, dan mereka mulai memikirkannya;
  3. Pertentangan, yaitu ketika konflik berkembang menjadi perbedaan pendapat di anatara individu atau kelompok yang saling bertentangan;
  4. Konflik Terbuka, yaitu tahapan ketika pertentangan berkembang menjadi permusuhan secara terbuka;
  5. Akibat Konflik, yaitu tahapan ketika konflik menimbulkan dampak terhadap kehidupan dan kinerja organisasi. Jika konflik terkelola dengan baik, maka akan menimbulkan keuntungan, seperti tukar pikiran, ide dan menimbulkan kreativitas. Tetapi jika tidak dikelola dengan baik, dan melampaui batas, maka akan menimbulkan kerugian seperti saling permusuhan.
Latar Belakang Konflik
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.

Konflik adalah sesuatu yang wajar terjadi di masyarakat, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

Faktor-faktor Penyebab Konflik
  1. Perbedaan Individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan;
  2. Perbedaan latar belakang Kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda pula. seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya;
  3. Perbedaan Kepentingan antara individu atau kelompok, diantaranya menyangkut bidang ekonomi, politik, dan sosial; dan
  4. Perubahan-Perubahan Nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Tingkatan Konflik
  1. Konflik Intrapersonal,  yaitu konflik internal yang terjadi dalam diri seseorang. Konflik intrapersonal akan terjadi ketika individu  harus memilih dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan, dan bimbang mana yang harus dipilih untuk dilakukan.
  2. Konflik Interpersonal, yaitu konflik yang terjadi antar individu. Konflik yang terjadi ketika adanya perbedaan tentang isu tertentu, tindakan dan tujuan dimana hasil bersama sangat menentuan.
  3. Konflik Intragrup, yaitu konflik antara angota dalam satu kelompok. Setiap kelompok dapat mengalami konflik substantif atau efektif.  Konflik substantif terjadi karena adanya latar belakang keahlian yang berbeda, ketika anggota dari suatu komite menghasilkan kesimpulan yang berbeda atas data yang sama. Sedangkan konflik efektif terjadi karena tangapan emosional terhadap suatu situasi tertentu.
  4. Konflik Intergrup, yaitu konflik yang terjadi antar kelompok. Konflik intergrup terjadi karena adanya saling ketergantungan, perbedaan persepsi, perbedaan tujuan, da meningkatkatnya tuntutan akan keahlian.
  5. Konflik Interorganisasi,  yang terjadi antar organisasi. Konflik inter organisasi  terjadi karena mereka memiliki saling ketergantungan satu sama lain, konflik terjadi bergantung pada tindakan suatu organisasi yang menyebabkan dampak negatif terhadap organisasi lain. Misalnya konflik yang terjadi antara lembaga pendidikan dengan salah satu organisasi masyarakat.
  6. Konflik Intraorganisasi, yaitu konflik yang terjadi antar bagian dalam suatu organisasi, meliputi:
  • Konflik Vertikal, yang terjadi antara pimpinan dan bawahan yang tidak sependapat tentang cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu. Misalnya konflik antara Rektor dengan tenaga kependidikan;
  • Konflik Horizontal, yang terjadi antar karyawan atau departemen yang memiliki hierarkhi yang sama dalam organisasi Misalnya antara tenaga kependidikan;
  • Konflik Lini-Staf, yang sering terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang keterlibatan staf dalam proses pengambilan keputusan oleh manajer lini. Misalnya konflik antara Rektor dengan tenaga administrasi.
  • Konflik Peran, yang terjadi karena seserang memiliki lebih dari satu peran. Misalnya Rektor menjabat sebagai ketua dewan pendidikan;
Pengelolaan Konflik
Konflik dapat dicegah atau dikelola dengan:
  • Disiplin
Mempertahankan disiplin dapat digunakan untuk mengelola dan mencegah konflik. Manajer perawat harus mengetahui dan memahami peraturan-peraturan yang ada dalam organisasi. Jika belum jelas, mereka harus mencari bantuan untuk memahaminya.
  • Pertimbangan Pengalaman dalam Tahapan Kehidupan
Konflik dapat dikelola dengan mendukung perawat untuk mencapai tujuan sesuai dengan pengalaman dan tahapan hidupnya. Misalnya; Perawat junior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk mengikuti pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, sedangkan bagi perawat senior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi.
  • Komunikasi
Suatu Komunikasi yang baik akan menciptakan lingkungan yang terapetik dan kondusif. Suatu upaya yang dapat dilakukan manajer untuk menghindari konflik adalah dengan menerapkan komunikasi yang efektif dalam kegitan sehari-hari yang akhirnya dapat dijadikan sebagai satu cara hidup.
  • Mendengarkan secara aktif
Mendengarkan secara aktif merupakan hal penting untuk mengelola konflik. Untuk memastikan bahwa penerimaan para manajer perawat telah memiliki pemahaman yang benar, mereka dapat merumuskan kembali permasalahan para pegawai sebagai tanda bahwa mereka telah mendengarkan.
  • Teknik atau Keahlian untuk Mengelola Konflik
Pendekatan dalam resolusi konflik tergantung pada: Konflik itu sendiri, Karakteristik orang-orang yang terlibat di dalamnya, Keahlian individu yang terlibat dalam penyelesaian konflik, Pentingnya isu yang menimbulkan konflik, dan Ketersediaan waktu dan tenaga

Tipe Pengelolaan Konflik
Manajemen harus mampu meredam persaingan yang sifatnya berlebihan (yang melahirkan konflik yang bersifat disfungsional) yang justru merusak spirit sinergisme organisasi tanpa melupakan continous re-empowerment.

Ada 6 tipe pengelolaan konflik yang dapat dipilih dalam menangani konflik yang muncul (Dawn M. Baskerville, 1993:65), yaitu:
  • Avoiding: gaya seseorang atau organisasi yang cenderung untuk menghindari terjadinya konflik. Hal-hal yang sensitif dan potensial menimbulkan konflik sedapat mungkin dihindari sehingga tidak menimbulkan konflik terbuka.
  • Accomodating: gaya ini mengumpulkan dan mengakomodasikan pendapat-pendapat dan kepentingan pihak-pihak yang terlibat konflik, selanjutnya dicari jalan keluarnya dengan tetap mengutamakan kepentingan pihak lain atas dasar masukan-masukan yang diperoleh.
  • Compromising: merupakan gaya menyelesaikan konflik dengan cara melakukan negosiasi terhadap pihak-pihak yang berkonflik, sehingga kemudian menghasilkan solusi (jalan tengah) atas konflik yang sama-sama memuaskan (lose-lose solution).
  • Competing: artinya pihak-pihak yang berkonflik saling bersaing untuk memenangkan konflik, dan pada akhirnya harus ada pihak yang dikorbankan (dikalahkan) kepentingannya demi tercapainya kepentingan pihak lain yang lebih kuat atau yang lebih berkuasa (win-lose solution).
  • Collaborating: dengan cara ini pihak-pihak yang saling bertentangan akan sama-sama memperoleh hasil yang memuaskan, karena mereka justru bekerja sama secara sinergis dalam menyelesaikan persoalan, dengan tetap menghargai kepentingan pihak lain. Singkatnya, kepentingan kedua pihak tercapai (menghasilkan win-win solution).
  • Conglomeration (mixtured type): cara ini menggunakan kelima style bersama-sama dalam penyelesaian konflik.
Metode Menangani Konflik
Metode yang sering digunakan untuk menangani konflik adalah pertama dengan mengurangi konflik, dan kedua dengan menyelesaikan konflik. Untuk metode pengurangan konflik salah satu cara yang sering efektif adalah dengan mendinginkan persoalan terlebih dahulu (cooling thing down).

Meskipun demikian cara semacam ini sebenarnya belum menyentuh persoalan yang sebenarnya. Cara lain adalah dengan membuat “musuh bersama”, sehingga para anggota di dalam kelompok tersebut bersatu untuk menghadapi “musuh” tersebut. Cara semacam ini sebenarnya juga hanya mengalihkan perhatian para anggota kelompok yang sedang mengalami konflik.

1. Metode Dominasi atau Supresi
Metode dominasi dan supresi biasanya memiliki dua macam persamaan, yaitu: 
  • Mereka menekan konflik, dan bahkan menyelesaikannya dengan jalan memaksakan konflik tersebut menghilang “di bawah tanah”,
  • Mereka menimbulkan suatu situasi menang-kalah, di mana pihak yang kalah terpaksa mengalah kaena otoritas lebih tinggi, atau pihak yang lebih besar kekuasaanya, dan mereka biasanya menjadi tidak puas, dan sikap bermusuhan muncul.
Tindakan metode supresi dan dominasi dalam menangani konflik yaitu:
  • Memaksa (Forcing)
Apabila orang yang berkuasa pada pokoknya menyatakan “Sudah, jangan banyak bicara, saya berkuasa di sini, dan saudara harus melaksanakan perintah saya”, maka semua argumen habis sudah. Supresi otokratis demikian memang dapat menyebabkan timbulnya ekspresi-ekspresi konflik yang tidak langsung, tetapi destruktif seperti misalnya ketaatan dengan sikap permusuhan (Malicious Obedience). Gejala tersebut merupakan salah satu di antara banyak macam bentuk konflik, yang dapat menyebar, apabila supresi (peneanan) konflik terus-menerusa diterapkan.
  • Membujuk (Smoothing)
Dalam kasus membujuk, yang merupakan sebuah cara  untuk menekan (mensupresi) konflik dengan cara yang lebih diplomatic, sang manager mencoba mengurangi luas dan pentingnya ketidaksetujuan yang ada, dan ia mencoba secara sepihak membujuk phak lain, untuk mengkuti keinginannya. Apabila sang manager memiliki lebih banyak informasi dibandingkan dengan pihak lain tersebut, dan sarannya cukup masuk akal, maka metode tersebut dapat bersifat efektif. Tetapi andaikata terdapat perasaan bahwa sang menejer menguntungkan pihak tertentu, atau tidak memahami persoalan yang berlaku, maka pihak lain yang kalah akan menentangnya.
  • Menghindari (Avoidence)
Apabila kelompok-kelompok yang sedang bertengkar dating pada seorang manajer untuk meminta keputusannya, tetapi ternyata bahwa sang manajer menolak untuk turut campur dalam persoalan tersebut, maka setiap pihak akan mengalami perasaan tidak puas. Memang perlu diakui bahwa sikap pura-pura bahwa tidak ada konflik, merupakan seuah bentuk tindakan menghindari. Bentuk lain adalah penolakan (refusal) untuk menghadapi konflik, dengan jalan mengulur-ulur waktu, dan berulangkali menangguhkan tindakan, “sampai diperoleh lebih banyak informasi”.
  • Keinginan Mayoritas (Majority Rule)
Upaya untuk menyelesaikan konflik kelompok melalui pemungutan suara, dimana suara terbanyak menang (majority vote) dapat merupakan sebuah cara efektif, apabla para angota menganggap prosedur yang bersangkutan sebagai prosedur yang “fair” Tetapi, apabila salah satu blok yang memberi suara terus-menerus mencapai kemenangan, maka pihak yang kalah akan merasa diri lemah dan mereka akan mengalami frustrasi.

2. Metode Kompromi
Melalui kompromi mencoba menyelesaikan konflik dengan menemukan dasar yang di tengah dari dua pihak yang berkonflik. Cara ini lebih memperkecil kemungkinan untuk munculnya permusuhan yang terpendam dari dua belah pihak yang berkonflik, karena tidak ada yang merasa menang maupun kalah. Meskipun demikian, dipandang dari pertimbangan organisasi pemecahan ini bukanlah cara yang terbaik, karena tidak membuat penyelesaian yang terbaik pula bagi organisasi, hanya untuk menyenangkan kedua belah pihak yang saling bertentangan atau berkonflik.

Yang termasuk kompromi diantaranya adalah:
  • Akomodasi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan cermin yang memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak lain tanpa ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses tersebut adalah taktik perdamaian.
  • Sharing
Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara dominasi kelompok dan kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lain menerima sesuatu. Kedua kelompok berpikiran moderat, tidak lengkap, tetapi memuaskan.

Melalui tindakan kompromi, para manajer mencoba menyelesaikan konflik dengan jalan menghimbau pihak yang berkonflik untuk mengorbankan sasaran-sasaran tertentu, guna mencapai sasaran-sasaran lain. Keputusan-keputusan yang dicapai melalui jalan kompromi, agaknya tidak akan menyebabkan pihak-pihak yangberkonflik untuk merasa frustasi atau mengambil sikap bermusuhan.

Tetapi dipandang dari sudut pandanga organisatoris, kompromis merupakan cara penyelesaian konflik yang lemah, karena biasanya tidak menyebabkan timbulnya suatu pemecahan, yang paling baik membantu organisasi yang bersangkutan mencapai tujuan-tujuannya. Justru, pemecahan yang dicapai adalah bahwa ke dua belah pihak yang berkonflik dapat “hidup” dengannya.

Bentuk-bentuk Kompromi:
  • Separasi (Separation), pihak yang berkonflik dipisahkan sampai mereka mencapai suatu pemecahan
  • Aritrasi (Arbitration), pihak-pihak yang berkonflik tunduk terhadap keputusan pihak keiga (yang biasanya tidak lain dari pihak manejer mereka sendiri)
  • Settling by Chance (Mengambil keputusan berdasarkan factor kebetulan), keputusan tergantung misalnya dari uang logam yang dilempar ke atas, mentaati peratuan-peraturan yang berlaku (resort to rules), dimana para pihak yang bersaingan setuju untuk menyelesaikan konflik dengan berpedoman pada peraturan-peraturan yang berlaku;
  • Menyogok (Bribing), Salah satu pihak menerima imbalan tertentu untuk mengakhiri konflik terjadi.
3. Metode Pemecahan Problem Integrative
Dengan menyelesaikan konflik secara integratif, konflik antar kelompok diubah menjadi situasi pemecahan persoalan bersama yang bisa dipecahkan dengan bantuan tehnik-tehnik pemecahan masalah (problem solving).

Pihak-pihak yang bertentangan bersama-sama mencoba memecahkan masalahnya,dan bukan hanya mencoba menekan konflik atau berkompromi. Meskipun hal ini merupakan cara yang terbaik bagi organisasi, dalam prakteknya sering sulit tercapai secara memuaskan karena kurang adanya kemauan yang sunguh-sungguh dan jujur untuk memecahkan persoalan yang menimbulkan persoalan.

Ada tiga macam tipe metode penyelesaian konflik secara integrative yaitu: (Winardi, 1994:84- 89)
  • Consensus (Concencus)
  • Konfrontasi (Confrontation); dan
  • Penggunaan tujuan-tujuan superordinat (Superordinate goals)
4. Metode Kompetisi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak mengalahkan atau mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal dengan istilah win-lose orientation.

Win-Lose Orientation Terdiri dari lima orientasi sebagai berikut:
  • Win-Lose (Menang-Kalah)
Paradigma ini mengatakan jika “saya menang, anda kalah “. Dalam gaya ini seseorang cenderung menggunakan kekuasaan, jabatan, mandat, barang milik, atau kepribadian untuk mendapatkan apa yang diinginkan dengan mengorbankan orang lain. Dengan paradigma ini seseorang akan merasa berarti jika ia bisa menang dan orang lain kalah. Ia akan merasa terancam dan iri jika orang lain menang sebab ia berpikir jika orang lain menang pasti dirinya kalah. Jika menang pun sebenarnya ia diliputi rasa bersalah karena ia menganggap kemenangannya pasti mengorbankan orang lain. Pihak yang kalah pun akan menyimpan rasa kecewa, sakit hati, dan merasa diabaikan.

Sikap Menang-Kalah dapat muncul dalam bentuk:
  1. Menggunakan orang lain, baik secara emosional atau pun fisik, untuk kepentingan diri.
  2. Mencoba untuk berada di atas orang lain.
  3. Menjelek-jelekkan orang lain supaya diri sendiri nampak baik.
  4. Selalu mencoba memaksakan kehendak tanpa memperhatikan perasaan orang lain.
  5. Iri dan dengki ketika orang lain berhasil
  • Lose-Win (Kalah-Menang)
Dalam gaya ini seseorang tidak mempunyai tuntutan, visi, dan harapan. Ia cenderung cepat menyenangkan atau memenuhi tuntutan orang lain. Mereka mencari kekuatan dari popularitas atau penerimaan. Karena paradigma ini lebih mementingkan popularitas dan penerimaan maka menang bukanlah yang utama. Akibatnya banyak perasaan yang terpendam dan tidak terungkapkan sehingga akan menyebabkan penyakit psikosomatik seperti sesak napas, saraf, gangguan sistem peredaran darah yang merupakan perwujudan dari kekecewaan dan kemarahan yang mendalam.
  • Lose-Lose (Kalah-Kalah)
Biasanya terjadi jika orang yang bertemu sama-sama punya paradigma Menang-Kalah. Karena keduanya tidak bisa bernegosiasi secara sehat, maka mereka berprinsip jika tidak ada yang menang , lebih baik semuanya kalah. Mereka berpusat pada musuh, yang ada hanya perasaan dendam tanpa menyadari jika orang lain kalah dan dirinya kalah sama saja dengan bunuh diri.
  • Win (Menang)
Orang bermentalitas menang tidak harus menginginkan orang lain kalah. Yang penting adalah mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orang bermentalitas menang menjadi egois dan akan mencapai tujuannya sendiri. Jika hal ini menjadi pola hidupnya maka ia tidak akan bisa akrab dengan orang lain, merasa kesepian, dan sulit kerja sama dalam tim.
  • Win-Win (Menang-Menang)
Menang-Menang adalah kerangka pikiran dan hati yang terus menerus mencari keuntungan bersama dalam semua interaksi. Menang-Menang berarti mengusahakan semua pihak merasa senang dan puas dengan pemecahan masalah atau keputusan yang diambil. Paradigma ini memandang kehidupan sebagai arena kerja sama bukan persaingan. Paradigma ini akan menimbulkan kepuasan pada kedua belah pihak dan akan meningkatkan kerja sama kreatif.

Gaya Dalam Penyelesaian Konflik
Perlu kita ingat bahwa dalam memilih style yang akan dipakai oleh seseorang atau organisasi di dalam pengelolaan konflik akan sangat bergantung dan dipengaruhi oleh persepsi, kepribadian/karakter (personality), motivasi, kemampuan (abilities) atau pun kelompok acuan yang dianut oleh seseorang atau organisasi.

Dapat dikatakan bahwa pilihan seseorang atas gaya mengelola konflik merupakan fungsi dari kondisi khusus tertentu dan orientasi dasar seseorang atau perilakunya dalam menghadapai konflik tersebut yang juga berkaitan dengan nilai (value) seseorang tersebut.

Pada level subkultur (subculture), shared values dapat dipergunakan untuk memprediksi pilihan seseorang pada gaya dalam menyelesaikan konflik yang dihadapinya. Subkultur seseorang diharapkan dapat mempengaruhi perilakunya sehingga akan terbentuk perilaku yang sama dengan budayanya. (M. Kamil Kozan, 2002:93-96)

Teknik Penyelesaian Konflik
  • Rujuk, merupakan suatu usaha pendekatan dan hasrat untuk kerja-sama dan menjalani hubungan yang lebih baik, demi kepentingan bersama.
  • Persuasi, yaitu usaha mengubah po-sisi pihak lain, dengan menunjukkan kerugian yang mungkin timbul, dengan bukti faktual serta dengan menunjukkan bahwa usul kita menguntungkan dan konsisten dengan norma dan standar keadilan yang berlaku.
  • Tawar-menawar, suatu penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak, dengan saling mempertukarkan konsesi yang dapat diterima. Dalam cara ini dapat digunakan komunikasi tidak langsung, tanpa mengemukakan janji secara eksplisit.
  • Pemecahan masalah terpadu, usaha menyelesaikan masalah dengan memadukan kebutuhan kedua pihak. Proses pertukaran informasi, fakta, perasaan, dan kebutuhan berlangsung secara terbuka dan jujur. Menimbulkan rasa saling percaya dengan merumuskan alternatif pemecahan secara bersama dengan keuntungan yang berimbang bagi kedua pihak.
  • Penarikan diri, suatu penyelesaian masalah, yaitu salah satu atau kedua pihak menarik diri dari hubungan. Cara ini efektif apabila dalam tugas kedua pihak tidak perlu berinteraksi dan tidak efektif apabila tugas saling bergantung satu sama lain.
  • Pemaksaan dan penekanan, cara ini memaksa dan menekan pihak lain agar menyerah; akan lebih efektif bila salah satu pihak mempunyai wewenang formal atas pihak lain. Apabila tidak terdapat perbedaan wewenang, dapat dipergunakan ancaman atau bentuk-bentuk intimidasi lainnya. Cara ini sering kurang efektif karena salah satu pihak hams mengalah dan menyerah secara terpaksa.
  • Intervensi (campur tangan) pihak ketiga, Apabila fihak yang bersengketa tidak bersedia berunding atau usaha kedua pihak menemui jalan buntu, maka pihak ketiga dapat dilibatkan dalam penyelesaian konflik.
Penyelesaian Konflik dengan Pihak Ketiga
  • Arbitrase (arbitration): Pihak ketiga mendengarkan keluhan kedua pihak dan berfungsi sebagai “hakim” yang mencari pemecahan mengikat. Cara ini mungkin tidak menguntungkan kedua pihak secara sama, tetapi dianggap lebih baik daripada terjadi muncul perilaku saling agresi atau tindakan destruktif.
  • Penengahan (mediation): Menggunakan mediator yang diundang untuk menengahi sengketa. Mediator dapat membantu mengumpulkan fakta, menjalin komunikasi yang terputus, menjernihkan dan memperjelas masalah serta mela-pangkan jalan untuk pemecahan masalah secara terpadu. Efektivitas penengahan tergantung juga pada bakat dan ciri perilaku mediator.
  • Konsultasi: Tujuannya untuk memperbaiki hubungan antar kedua pihak serta mengembangkan kemampuan mereka sendiri untuk menyelesaikan konflik. Konsultan tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan dan tidak berusaha untuk menengahi. la menggunakan berbagai teknik untuk meningkatkan persepsi dan kesadaran bahwa tingkah laku kedua pihak terganggu dan tidak berfungsi, sehingga menghambat proses penyelesaian masalah yang menjadi pokok sengketa.
Pendekatan Dalam Penanganan & Penyelesaian Konflik

1. Pendekatan KAPOW (Knowledge, Authority, Power, Other, Winning)
  • KNOWLEDGE (Pengetahuan)Sejauh mana anda mengetahui isu pihak lain?, Sejauh mana pihak lain mengetahui isu anda?. dan Sejauh mana anda mengetahui masalahnya?
  • AUTHORITY (Wewenang): Apakah anda punya wewenang untuk mengambil keputusan?, Apakah pihak lain punya wewenang untuk mengambil keputusan?
  • POWER (Kekuatan): Sejauh mana anda dapat memberi pengaruh terhadap situasi, Seberapa besar kekuatan yang dimiliki pihak lain atas diri anda?
  • OTHER (Relasi): Seberapa tinggi pentingnya relasi bagi anda?, Seberapa tinggi pentingnya relasi bagi pihak lain?
  • WINNING (Kemenangan): Seberapa pentingnya unsur kemenangan?, Apakah anda harus menang?, Apakah pihak lain harus menang?, Apakah kompromi dapat diterima?, Apakah kekalahan dapat diterima?
2. Pendekatan ACES (Asses, Clarify, Evaluated, Solve)

  • Asses the Situation (Mengenali Situasi)
  • Clarify the Issues (Memperjelas Permasalahan)
  • Evaluate Alternative Approaches (Menilai Pendekatan-pendekatan Alternatif)
  • Solve the Problem (Mengurai Permasalahan)

Petunjuk pendekatan pada situasi konflik diawali melalui penilaian diri sendiri, Analisa isu-isu seputar konflik, Tinjau kembali dan sesuaikan dengan hasil eksplorasi diri sendiri, Atur dan rencanakan pertemuan antara individu-individu yang terlibat konflik, Memantau sudut pandang dari semua individu yang terlibat, Mengembangkan dan menguraikan solusi, Memilih solusi dan melakukan tindakan, dan Merencanakan pelaksanaannya.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengatasi konflik yaitu Ciptakan sistem dan pelaksanaan komunikasi yang efektif, cegahlah konflik yang destruktif sebelum terjadi, tetapkan peraturan dan prosedur yang baku terutama yang menyangkut hak karyawan, atasan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan konflik yang muncul, ciptakanlah iklim dan suasana kerja yang harmonis, bentuklah team work dan kerja-sama yang baik antar kelompok/ unit kerja, semua pihak hendaknya sadar bahwa semua unit/eselon merupakan mata rantai organisasi yang saling mendukung, jangan ada yang merasa paling hebat, dan bina dan kembangkan rasa solidaritas, toleransi, dan saling pengertian antar unit/departemen/eselon.

Pemikiran Politik Thomas Hobbes

Pemikiran Politik Thomas Hobbes, Filsafat Thomas HobbesThomas Hobbes merupakan seorang pemikir politik yang lahir dan mengalami proses intelektual dalam keadaan sosial politik anarkis pada abad ke XVII. Thomas Hobbes dilahirkan di Malmesbury pada tanggal 15 April 1588 dalam keadaan prematur, hal itu terjadi bukan karena tanpa sebab, tapi keadaan dan kondisi yang mencekam pada masa itulah yang membuat psikologi ibu Hobbes terganggu dan lahirlah bayi hobbes dalam keadaan prematur. 

Ayah Hobbes adalah seorang pendeta lokal miskin yang mewakili Paus untuk Charlton dan Westport, bagian dari Malmesbury, tapi sosok ayah yang tidak berpendidikan dan temperamen menjadikan bermasalah dengan pihak gereja sehingga kabur dari kota tersebut dan meninggalkan Hobbes muda. Akhirnya hak asuh Thomas Hobbes diserahkan ketangan pamannya. Dari sinilah Hobbes kemudian bisa menjalani kehidupannya. Pada usia ke 14 Thomas Hobbes mengeyam pendidikan Magdalen Colleg, Oxford dan meraih gelar BA lima tahun kemudian dan mempelajari pemikiran Aristoteles yang akhirnya pada kemudian hari dikritisi juga oleh Hobbes. 

Teori The State of Nature and Natural Law Thomas Hobbes

State of nature dasar terbentuknya negara, Hobbes melukiskan keadaan manusia sebelum terbentuknya sebuah negara, masyarakat politik atau kekuasaan bersama sebagai keadaan alamiah (natural of law), keadaan alamiah merupakan sebuah konsep hipotesis. Konsep itu sepenuhnya produk rekayasa penalaran Hobbes mengenai kehidupan manusia sebelum terbentuknya lembaga-lembaga politik. 

Hobbes mengakui keadaan alamiah tidak memiliki kebijakan historis sebab konsep ini tidak didasarkan kepada fakta sejarah yang sesunguhnya pernah sedang atau akan terjadi. Hobbes mengunakan keadaan alamiah tampaknya hanya sebagai meminjam istilah weberian tipe ideal masyarakat manusia sebelum memasuki masyarakat  politik.

Kita dapat mengutip dalam reading pemikiran politik teori perjanjian sosial Hobbes dan Locke, bahan bacaan Mc Donald, II:

“Nature has made men so equal in the faculties of body and mind as that though there be found one man sometimes manisfestly stronger in body, or of quicker mind than another; yet when all is reckoned together, the difference between man and man is not so considerable as that one man can there upon claim to himself any benefit to which another may not pretend as well as he”.

(Kondisi alamiah telah membuat seseorang mempunyai kemampuan tubuh dan pikiran yang sama, dimana ada pula kenyataan yang menunjukkan seseorang terkadang mempunyai wujud tubuh yang lebih kuat, atau pikiran yang lebih cepat dari yang lain. Maka ketika semuanya digabungkan bersama, perbedaan antara satu dengan yang lainnya tidak terlalu dipertimbangkan. Oleh sebab itu, seseorang dapat mengklaim bahwa dirinya lebih beruntung daripada yang lain, sementara yang lain tidak menganggap dirinya seperti itu).

Hobbes sering menjuluki negara kekuasaan sebagai Leviathan, negara yang menimbulkan rasa takut kepada siapapun yang melangar hukum  negara. Bila warga negara melanggar hukum, negara leviathan tidak segan-segan untuk menjatuhkan vonis hukuman mati.

Hobbes berpendapat manususia dalam keadaan alamiah bukanlah sejenis hewan sosial seperti yang dikemukakan Aristoteles meski sama-sama memiliki naluri, manusia yang berbeda dengan hewan, naluri hewan mendorong seekor semut atau lebah untuk berkompromi dan berdamai, jadi secara instingtif, semut dan lebah memiliki watak sosial.

Keadaan yang seperti itu yang kemudian memaksa akal manusia untuk mencari kehidupan alternatif yang baik yang mana manusia dapat mengekang hawa nafsunya, keadaan alternatif tersebut ditemukan oleh Hobbes setelah manusia mengadakan perjanjian untuk membentuk negara.

Dimanakah keadilan berada dalam kondisi seperti ini? Kata Hobbes, "tidak ada". Menurutnya: “Where there is no common powerm there is no law, where no law, no injustice.

Ini adalah poin yang paling signifikan membedakan Hobbes dengan pemikir politik lainnya. Selama berabad-abad, manusia telah berasumsi bahwa sesungguhnya keadilan itu ada dibalik atau lebih tinggi kedudukannya,

Men’s daily practice of justice in punishing offenders. The Platonic form, or ideal, of justice might be greatly at variance with what the men or powerwere doing in the law courts; but the former stood as an immutable standard whereby the latter could be judged. The ‘jus naturale’ of the roman lawyers was thought to have a more immediate relevance to practice, in that the right reason of the judges could bring into operative law, especially the jus gentium, the tenets of the more exalted natural law. Hobbes wipes away this distinction. Without organized power in society, justice simply does not exist. It is the product of power and not the guide or judge of power. The concept of natural law remains but it is transformed. It is ot what men of right reason ought to do live properly; it is what reason shows men of passion must do to stay alive.

Nalar manusia menurut Hobbes membimbing orang untuk berdamai. Atas dasar penalaran itulah manusia merasa membutuhkan kekuasaan bersama yang bisa menghindari pertumpahan darah, akal mengajarkan manusia sebaiknya damai dibawah hukum dan kekuasaan negara, dari pada hidup dalam keadaan bebas tapi anarkisme dan berbahaya untuk keselamatan dirinya. Atas dasar itulah kemudian manusia melepaskan dan memberhentikan kebebasan ilmiahnya demi kebaikan dirinya.

Hobbes berpendapat bahwa terbentuknya sebuah negara atau kedaulatan pada hakikatnya adalah karena kontrak atau perjanjian sosial, dalam perjanjian itu kemudian  manusia atau individu secara sukarela menyerahkan hak-haknya serta kebebasannya kepada sang penguasa negara atau semacam dewa rakyat dalam leviathan

Hobbes mengatakan “saya menyerahkan sebagian hak saya atau pengaturan diri saya kepada orang lain atau kepada sekelompok orang lain, dengan syarat ini bahwa anda melepas hak anda kepadanya dan mewenangkan semua tindakannya dalam prilaku yang sama”.

Maka menurut Hobbes yang terikat kepada seluruh perjanjian adalah adalah individu-individu. Negara itu sendiri bebas tidak terikat oleh perjanjian itu sendiri, ia berada diatas individu, negara berhak terhadap apa yang mereka kehendakinya, terlepas dari apa sesuai atau tidak terhendak dari individu. Negara versi Hobbes ini juga memiliki tanggung jawab kepada rakyat.

Filsafat Politik Thomas Hobbes

Hobbes menggambarkan negara sebagai makhluk raksasa dan menakutkan yang melegitimasikan diri semata-mata karena kemampuannya untuk mengancam. Hal itu dikarenakan pada pemerintahan di zamannya terkenal dengan negara yang absolut. Hobbes tidak mau membenarkan kesewenangan para raja, melainkan ia mau mendasarkan suatu kekuasaan negara yang tidak tergoyahkan. Pendasaran itu dilakukan dengan secara konsisten mendasarkan kekuasaan negara pada kemampuannya untuk mengancam para warga Negara. Manusia dapat diatur more geometrico, secara mekanistik. Apalagi organisasi masyarakat disusun sedemikian rupa hingga manusia merasa aman dan bebas sejauh ia bergerak dalam batas-batas hukum, dan terancam mati sejauh tidak, kehidupannya dapat terjamin berlangsung dengan teratur dan tentram. 

Pandangan inilah dasar filsafat negara Hobbes Negara itu benar-benar sang Leviathan, binatang purba itu yang mengarungi samudera raya dengan perkasa, tanpa menghiraukan siapapun. Kekuasaannya mutlak. “Siapa yang diserahi kekuasaan tertinggi, tidak terikat pada hukum negara (karena itu akan berarti bahwa ia berkewajiban terhadap dirinya sendiri) dan tidak memiliki kewajiban terhadap seorang warga negara. Hobbes juga menolak segala pembagian kekuasaan negara. Negara, sang Leviathan, oleh Hobbes juga dijuluki “manusia buatan” dan Deus mortalis, “Allah yang dapat mati”. 

Negara itu manusia buatan karena hasil rekayasa manusia itu mirip dengan manusia:negara mempunyai kehidupan dan kehendak sendiri. Dan ia bagaikan Allah. Ia memang dpt mati, artinya bubar. Tetapi selama ia ada, ia seperti Allah, merupakan tuan atas hidup dan mati manusia, ia berwenang untuk menetapkan apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang adil namanya dan apa yang tidak, dan terhadap siapapun negara tidak perlu memberikan pertanggung jawaban. Menurut Hobbes, manusia tidaklah bersifat sosial. Manusia hanya memiliki satu kecenderungan dalam dirinya, yaitu keinginan mempertahankan diri. Karena kecenderungan ini, manusia bersikap memusuhi dan mencurigai setiap manusia lain: homo homini lupus! (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Keadaan ini mendorong terjadinya "perang semua melawan semua" (bellum omnium contra omnes)

Inilah "keadaan alamiah" saat belum terbentuknya negara. Akan tetapi, jika terus-menerus terjadi perang semua melawan semua, tentu saja eksistensi manusia juga terancam. Untuk itu, manusia-manusia mengadakan sebuah perjanjian bersama untuk mendirikan negara, yang mengharuskan mereka untuk hidup dalam perdamaian dan ketertiban. Negara berkuasa secara mutlak dan berhak menentukan nasib rakyatnya demi menjaga ketertiban dan perdamaian. Status mutlak dimiliki negara sebab negara bukanlah rekan perjanjian, melainkan hasil dari perjanjian antar-warga negara. Artinya, di dalam perjanjian membentuk negara, setiap warga negara telah menyerahkan semua hak mereka kepada negara. Akan tetapi, negara sama sekali tidak punya kewajiban apapun atas warganya, termasuk kewajiban untuk bertanggung jawab pada rakyat. Negara berada di atas seluruh warga negara dan berkuasa secara mutlak.

Kemudian negara juga berhak menuntut ketaatan mutlak warga negara kepada hukum-hukum yang ada, serta menyediakan hukuman bagi yang melanggar, termasuk hukuman mati. Dengan demikian, warga negara akan menekan hawa nafsu dan insting untuk berperilaku destruktif. Selanjutnya, warga negara akan memilih untuk patuh kepada hukum karena memiliki rasa takut dihukum mati. 

Hilangnya kebebasan warga negara terhadap negara adalah harga yang harus dibayar jika semua orang ingin hidup dalam ketenteraman, keteraturan, dan kedamaian. Jikalau kekuasaan negara begitu mutlak dan tidak dapat dituntut oleh warga negara, bukankah potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh negara menjadi amat besar? Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, Hobbes menyatakan dua hal. Yang Pertama, perlu ada kesadaran dari pihak yang berkuasa mengenai konsep keadilan, sebab kelak perbuatannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dalam pengadilan terakhir. 

Dan yang kedua, jika negara mengancam kelangsungan hidup warga negara, maka setiap warga negara yang memiliki rasa takut terhadap kematian akan berbalik menghancurkan negara, sebelum negara menghancurkan mereka. Pada situasi tersebut, masyarakat akan kembali ke "keadaan alamiah" untuk selanjutnya membentuk negara yang lebih baik, dan seterusnya. 

Pemikiran Thomas Hobbes

Pemikiran Hobbes yang membuat di terkenal adalah Leviathan atau Commenwelth. Pemikiran Hobbes yang penting adalah mengenai social contract (perjanjian bersama, perjanjian masyarakat, kontrak sosial). Perjanjian ini mengakibatkan manusia-manusia bersangkutan menyerahkan segenap kekuatan dan kekuasaannya masing-masing kepada seseorang atau pada suatu Majelis.

Gerombolan orang yang berjanji itu pun menjadi satu dan ini bernama Commonwealth atau Civitas. Pihak yang memperoleh kekuasaan itu mewakili mereka yang telah berjanji. Jadi menurut Hobbes, isi perjanjian bersama itu mengandung dua segi: Pertama, perjanjian antara sesama sekutu, sehingga tercipta sebuah persekutuan, dan Kedua, perjanjian menyerahkan hak dan kekuasaan masing-masing kepada seseorang atau majelis secara mutlak.

Menurutnya, penguasa dapat mempergunakan segala cara termasuk kekerasan untuk menjaga ketentraman yang dikehendaki di awal. Walaupun Hobbes mengatakan bahwa penguasa dapat berupa majelis, tetapi ia lebih suka melihatnya berada di tangan satu orang karena seseorang akan dapat berpegang terus pada satu kebijakan dan tidak berubah-ubah karena banyaknya pemikiran seperti dalam majelis. Walaupun menurutnya kekuasan bersifat mutlak, tetapi ada beberapa hal yang membolehkan rakyat untuk menentangnya.

Civil society sudah menjadi mantra baru dalam konstelasi politik kontemporer. Tak dimungkiri ramifikasi gagasan civil society sudah sedemikian luas, dari aras liberalisme yang di cetuskan oleh Hobbes. 

Hobbes menggambarkan kondsi pra-sosial atau keadaan alamiah yang diliputi ketidakpastian. Khususnya Hobbes, keadaan alamiah adalah perang sehingga terkenallah ungkapannya, ‘perang semua melawan semua.’ Ia menggambarkan keadaan alamiah di mana manusia secara ekstrem individual mutlak dan hidupnya diliputi konflik. Ini menandai keretakan atau diskontinuitas dengan keyakinan nilai moral tradisional, yakni relativisme moral dan pengedepanan nilai-nilai pasar.

Kedaulatan mutlak individu dan etika yang didasarkan pada kepentingan diri membutuhkan bangunan Negara yang kuat untuk menjamin keamanan, kepastian relatif, dan kemungkinan antisipasi bagi hadirnya civil society. Pergeseran dari kondisi alamiah menuju civil society ini dicapai melalui tegaknya “Leviathan” atau “mortal God” yang bernama Negara.

Bagi Hobbes fungsi normal civil society adalah produksi dan pemerolehan property baik akumulasi modal aupun ekspansi pasar, budaya, seni, dan hal-hal umum yang dibutuhkan dalam kehidupan – tergantung pada Negara yang kuat. Artinya negaralah yang membuat eksistensi civil society menjadi mungkin.Hobbes memandang Negara mengungguli civil society dan prasyarat terbentuknya civil society adalah Negara.

Liberalisme modern dengan demikian dapat dilacak dalam individualisme metodologis Hobbes. Oposisi dalam paham liberal antara Negara dan civil society diteorisasikan pada era ekspansi pasar, transformasi ekonomi, dan munculnya kelas sosial baru di Eropa. Individualisme metodologis Hobbes setidaknya tampak dalam dua hal: pertama, seluruh badan korporasi bersifat artifisial dan konvensional; dan kedua, realitas secara hakiki bersifat individual. 

Kebebasan dan kekuasaan selalu berada dalam “satu paket” karena kebebasan akhirnya dimengerti sebagai “tiadanya oposisi eksternal atau halangan-halangan eksternal.” Individu-individu atomis adalah halangan eksternal, pula Negara menjadi semacam “external impediment” yang mengancam kebebasan individu. Maka, Negara dalam konsepsi politik liberal, lahir sebagai buah persetujuan antar individu dan kekuasaannya legitim sejauh ia merupakan kepanjangan tangan dari persetujuan individu-individu. 

Di sini tampak kaitan logis dan metodologis antara individualisme atomistik dengan konstitusionalisme liberal. Ini berarti konsepsi state of nature dari Hobbes, sampai pada sebuah kesimpulan yang sama tentang hubungan Negara dan civil society karena koneksi ontologisme antara individualisme dan kepemilikan (hak milik pribadi).

Hobbes juga berpendapat bahwa nilai itu bersifat subjektif, yang baik dan yang buruk semata-mata bergantung pada pendapat masing-masing.Oleh sebab itu baik buruk itu adalah pula soal pribadiDisamping itu ia juga mengugkapkan bahwa adalah menjadi fitrah manusia untuk berselisih, bertengkar dan cekcok sesamanya.

Relevansi Permikiran Thomas Hobbes

Pemikirannya tentang Perjanjian memberikan masukan bagi sistem pemerintahan sekarang, dengan dibentuknya majelis perwakilan atau parlemen. Tetapi pemikirannya tentang kepatuhan kepada majelis secara mutlak membuat system itu dapat berjalan dengan baik seperti yang telah dilakukan banyak Negara di dunia.

Thomas Hobbes dalam pemikirannya adalah salah satu yang memberikan sumbangan kepada sistem pemerintahan pada masa sekarang. Ketaatan akan mereka yang berkuasa seperti yang tekankan oleh John Locke membuat kita sadar pentingnya perwakilan dalam memerintah dan tunduk padanya.

Manajemen Kegiatan: Membangun Organizing Commitee (Kepanitiaan) yang Solid

Kepanitiaan, IMLA, Panitia yang Solid, Gowes, Organizing Commitee berasal dari kata Organisasi dan Komite. Organisasi yaitu kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan dan visi-misi yang sama. Sedangkan Komite yaitu Komisi atau Badan yang bertanggung jawab terhadap suatu program (kegiatan).

Jadi, Organizing Commitee adalah suatu kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan yang sama dalam melaksanakan suatu kegiatan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan tersebut. Dengan kata lain, Organizing Committee disebut juga sebagai Panitia Pelaksana.

Proses Lahirnya Kegiatan
Proses lahirnya sebuah kegiatan dan bagaimana peran OC didalamnya:
Sebuah kegiatan lahir oleh adanya fungsi administrasi yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuated), pengawasan (controlling) dan pengevaluasian (evaluated).

Fungsi administrasi tersebut dilaksanakan oleh Organizing Committee (OC) sebagai panitia teknis dalam melakukan program dan kinerja dari pada tim OC akan mendapatkan pengawasan oleh Steering Committee (SC) agar kinerja OC dapat terlaksana sesuai yang di rencanakan.

Dengan terlaksananya fungsi tersebut maka terlahirnya sebuah kegiatan yang sukses berkat kinerja baik yang terbentuk secara sistematis. Konsep demikian disebut dengan Manajemen Kegiatan

Prinsip Manajemen Kegiatan
Pada dasarnya lahirnya sebuah kegiatan didasari oleh sebuah perencanaa yang telah terfikirkan untuk dilaksanakan sebagai sebuah daya kreativitas manusia. Sebuah kegiatan yang akan dilaksanakan, para pelaksana berharap agar kegiatan tersebut dapat terlaksana dengan baik dan sukses serta bermanfaat bagi setiap peminatnya baik secara moril maupun materil.

Oleh sebab itu, suatu perencanaan yang baik yang didasari pada pelaksanaan dan tim work yang produktif seyogyanya akan melahirkan sebuah kegiatan yang seperti diharapakan. Sebuah prinsip manajemen kegiatan yang wajib diketahui dan dilakukan bagi setiap pelaksana kegiatan (Panitia atau EO) agar kegiatan terlaksana dengan baik dan sukses yaitu:

“Semua kegiatan atau aktifitas manusia haruslah dikelola dengan baik. Jika tidak biasanya hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Ciri kegiatan yang tidak berhasil adalah tujuan yang tidak tercapai, waktu yang dibutuhkan terlalu lama/tidak sesuai rencana atau biaya yang terlalu besar.Bisa salah satunya atau gabungan dari ketiganya itu”.

Alasan Mengapa Adanya Program Kegiatan
Melanjutkan Program Terdahulu
Dalam sebuah organisasi atau lembaga dalam menjalankan program/agenda proses kerjanya, kegiatan-kegiatan yang telah menjadi program rutin organisasi merupakan hal yang harus dilaksanakan. Menjalankan sebuah organisasi konkretnya adalah melaksanakan setiap agenda rutin organisasi dan melanjutkan setiap program yang telah teragenda pada organisasi atau lembaga tersebut. Petaka terjadi apabila sebuah organisasi/lembaga tidak dapat melanjutkan program terdahulunya yang akan mengakibatkan mati atau berhentinya sebuah organisasi/lembaga.

Menerima Order dari Pihak Lain
Pada setiap pelaksana kegiatan atau yang lebih dikenal dengan Event Orginizer ataupun pada setiap organisasi/lembaga lainnya, kegiatan juga dapat lahir dari sebuah penawaran dari pihak lain. Penerimaan kegiatan dari sebuah pihak lain merupakan sebuah bentuk pelaksaanaan kegiatan yang biasanya bersifat kontrak kerja ataupun join partner untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Hal-hal seperti itu dapat terjadi apabila kita dapat menjalin komunikasi yang baik antar lembaga maupun membuka jaringan organisasi dengan berbagai pihak.

Ada Program yang Bersifat Dropping dari Struktur yang Lebih Tinggi
Pada organisasi yang mempunyai sifat struktur hirarkis dan garis koordinasi pada tingkatan pusat hingga di daerah yang lebih kecil, sering terjadi suatu dropping dari tingkatan atas kepada area organisasi dibawahnya sebagai sebuah program pusat untuk daerah yang harus dilakukan didaerah. Contoh, Sebuah organisasi pada tingkatan DPP memberikan suatu program kegiatan kepada organisasi pada tingkatan DPD.

Program Rekayasa Baru
Lahirnya sebuah kegiatan tidak hanya bersifat rutinitas ataupun dropping, akan tetapi bagi sebuah organisasi yang melahirkan suatu idea atau gagasan-gagasan yang akan diperbuat dan digerakkan juga merupakan alas an mengapa lahirnya sebuah kegiatan itu. Karena, sensasi ataupun inovasi baru adalah hal yang menunjang organisasi/EO untuk dapat terus eksis dan berbuat dalam menunjukkan eksistensinya. Berlomba-lomba untuk melahirkan program baru juga merupakan suatu kompetisi positif dalam menunjukkan kompetensi dan produktivitas lembaga tersebut.

Program untuk menyelesaikan masalah yang timbul
Pada setiap organisasi ataupun lembaga, konflik ataupun masalah sedikit banyak pasti terjadi. Konflik dianggap penting karena dengan adanya hal tersebut kita dapat menilai sejauhmana kondisi organisasi saat ini. Dalam situasi tersebut, solusi yang dapat dilakukan salah satunya adalah bagaimana organisasi dapat melaksanakan suatu kegiatan yang diharapkan dapat meyelesaikan permasalahan itu. Hal-hal tersebut sering dianggap mudah, akan tetapi apabila konflik terus terjadi pada organisasi maka akan membahayakan keadaan organisasi pula.

Inti dari pada alasan mengapa adanya program kegiatan adalah kalau organisasi tidak ingin berhenti dari dinamika kehidupan maka harus ada kegiatan secara berkesinambungan.

Fungsi Kepanitiaan
Menyebarkan Informasi
Dalam melaksanakan suatu kegiatan perlu adanya panitia. Panitia merupakan orang yang bertanggunng jawab atas kesuksesan jalannya kegiatan. Salah satu fungsi panitia adalah publikasi kegiatan atau penyebaran informasi. Kegiatan yang telah terencana dan akan dilaksanakan perlu adanya penyebaran informasi untuk terlebuh dahulu. Dengan tujuan agar kegiatan dapat diketahui oleh semua pihak dan akan berdampak positif pada kemeriahan kegiatan tersebut.

Menghasilkan Ide
Selain menyebarkan informasi, panitia juga berfungsi untuk menghasilkan ide-ide yang dianggap penting dalam pelaksanaan kegiatan. Ide-ide yang dilahirkan oleh panitia sangat diperlukan bagi kelangsungan kegiatan karena baik secara konsep maupun teknis, ide-ide panitialah yang akan mengatur itu semua.

Menyelesaikan Masalah
Dalam melaksanakan kegiatan, panitia tidak selalu dihadapkan pada situasi yang baik atau berjalan dengan lancar. Akan tetapi, pada setiap pelaksanaan kegiatan kerap sekali terjadi masalah-masalah didalam, baik itu permasalahan internal maupun ekternal. Maka oleh sebab itu, panitia harus dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi dengan semata-mata tujuannya adalah kegiatan dapat kondusif dan terlaksana dengan baik.

Mewujudkan Koordinasi, Komunikasi dan Kerja Sama
Panitia bertanggung jawab penuh atas kesuksesan atau kegagalan dalam pelaksanaan kegiatan. Setiap panitia bercita-cita agar setiap kegiatan yang dilaksanakan dapat berjalan dengan sukses. Maka oleh sebab itu, koordinasi, komunikasi dan kerja sama merupakan hal yang mutlak harus dilakukan oleh panitia agar tujuan dari pada kesuksesan kegiatan.

Membuat Keputusan-Keputusan
Panitia berwenang untuk membuat keputusan-keputusan yang penting bagi pelaksanaan kegiatan. Apalagi disaat kondisi kegiatan krisis yang membutuhkan keputusan yang cepat dan tepat demi kelangsungan kegiatan.

Melaksanakan Kegiatan
Suatu fungsi yang normative bagaimana panitia seyogyanya harus melaksanakan kegiatandari mulai persiapan sampai selesainya kegiatan. Segala bentuk konsep maupun teknis kegiatan harus dilaksanakan oleh panitia dengan harapan agar kegiatan dapat terlaksana dengan sukses.

Analisa Kebutuhan Kegiatan
Dalam membentuk tim Organizing Committee yang baik setiap anggota panitia harus dapat menganalisa atau membuat rancangan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan. Dengan adanya analisis kebutuhan kegiatan akan memudahkan kerja panitia dalam mempersiapkan dan melaksanakan proses kegiatan. Proses kinerja yang sistematis dan praktis akan terbentuk pada tim OC dalam melakukan kegiatan.

Maka oleh sebab itu, cara yang dilakukan tim OC untuk menganalisis kebutuhan kegiatan adalah:

  1. Buatlah rencana kerja kegiatan: mengapa, apa, kapan, dimana, siapa dan bagaimana.
  2. Buatlah tahapan kerja, bayangkan kegiatan yang diharapkan, lalu tentukan apa saja yang harus dilakukan untuk mencapainya.
  3. Rincilah kebutuhan kegiatan tersebut: jumlah panitia, peserta, ruang, tempat, waktu, pembicara/narasumber, peralatan, perlengkapan, uang (pemasukan dan pengeluaran), dan lain-lain.
  4. Bentuk panitia yang jumlah orang dan bagian-bagiannya sesuai dengan kebutuhan.

Tips untuk memudahkan bagi OC dalam menganalisa kebutuhan kegiatan yaitu: "Tulis apa yang akan dikerjakan, Kerjakan apa yang telah anda tulis dan Tulis apa yang telah anda kerjakan".

Mendesain Struktur Kepanitiaan 
Suksesnya suatu kegiatan tergantung dari pada bagaimana kinerja panitia dalam membentuk tim yang baik dalam pelaksanaan kegiatannya. Membentuk tim OC yang baik adalah salah satu upaya yang harus dilakukan agar kegiatan yang dilaksanakan dapat berjalan dengan sukses. Mendesain struktur kepanitiaan yaitu poin penting yang harus dilakukan agar proses tim kepanitiaan dapat terbentuk dengan solid. Kesolitan kinerja panitia akan memudahkan proses pelaksanaan kegiatan yang berjalan dengan sukses.

Cara mendesain struktur kepanitiaan dalam membentuk tim OC yang baik adalah:

  1. Menyusun kepanitiaan dengan menempatkan orang sesuai dengan kemampuannya.
  2. Syarat menjadi panitia; mau, tahu, mampu dan ada waktu.
  3. Buatlah struktur organisasi kepanitiaan.
  4. Buatlah “job description” (uraian kerja) per bagian dan lebih baik lagi per orang.
  5. Buatlah jadwal kerja untuk semua bagian

Fungsi Ketua Panitia Sebagai Koordinator Pelaksana Kegiatan
Merencanakan Kerja Panitia
Ketua panitia sebagai koordinator kegiatan menpunyai fungsi yang urgen yaitu dalam merencakan kerja panitia. Mulai dari persiapan hingga pelaksanaan kegiatan kepemimpinan ketua panitia berpengaruh besar atas kinerja panitia. Keseluruhan kinerja tim OC selalu di bawah control ketua panitia.

Mengadakan Rapat Koordinasi
Rapat merupakan hal yang tidak asing bagi setiap lembaga, baik itu juga pada kepanitiaan. Rapat koordinasi merupakan hal yang harus dilakukan oleh kepanitian agar terbentuknya tim yang baik. Karena dalam rapat koordinasi semua permasalahan ataupun persiapan acara akan dibahas dan diterapkan dalam proses pelaksanaan kegiatan. Peran ketua panitia juga dituntut besar melahirkan inisiatif untuk mengadakan rapat koordinasi.

Menyimpan Dokumen dan Informasi
Disamping akan kebutuhan teknis, dokumen dan informasi juga hal yang harus ditata dan dikeloa dengan baik agar tidak terjadi kebocoran-kebocoran informasi diluar panitia. Selain ketua panitia, peran sekretaris panitia juga dituntut besar pada bidang ini. Karena sekretaris panitia merupakan pendamping ketua panitia dalam penyelesaiaan permasalahan dokumen dan kesekretariatan.

Memotivasi Panitia untuk Bekerja
Dalam pelaksanaan kegiatan, panitia pasti dihadapkan dengan berbagai keadaan yang suka maupun duka. Disaat tim panitia mengalami dinamika dimana kepanitiaan mulai menunjukkan ketidakseriusan atau kejenuhan dalam proses kinerja, maka pada situasi ini peran ketua panitia diharapkan besar dalam penyelesaiaannya. Memotivasi panitia untuk bekerja dan merasionalisasikan bahwasanya tujuan dan titik puncak keberhasilan panitia apabila suatu program kegiatan yang dilaksanakan dapat berjalan dengan sukses. Maka dengan demikian, panitia dapat termotivasi dengan spirit profesionalitas tim yang mengedepankan tanggung jawab panitia akan kegiatan.

Mengawasi dan Mengarahkan Pekerjaan
Ketua panitia dalam memimpin tim akan dihadapkan dengan berbagai karakter panitia dalam melaksanakan proses kerjanya. Mulai dari karakter panitia yang mempunyai inisiatif besar dalam bekerja, panitia yang hanya menumpang popularitas, panitia yang bekerja apabila diperintah dan panitia yang bekerja apa bila melihat orang lain bekerja. Maka pada situasi tersebut sosok ketua panitia harus dapat menjawab persoalan itu dengan memaksimalkan pengawasan dan pengarahan pekerjaan agar semua panitia dapat bekerja dan menghasilkan suatu kegiatan yang terlaksana dengan sukses.

Meminta Hasil Kerja dan Evaluasi
Pada asarnya tim OC terdiri dari beberapa bidang yang menanggung jawapi pada setiap bidangnya. Dalam hal ini ketua panitia diharuskan untuk meminta setipa hasil kerja pada setiap bidang tersebut agar dapat dijadikan referensi laporan kerja. Laporan tersebut akan dibahas dan dievaluasi apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dengan tujuan agar kedepan kinerja panitia lebih baik lagi.

Pelaksanaan Kegiatan yang Efektif 
Organizing Committee (OC) bercita-cita agar kegiatan yang dilaksanakan dapat berjalan dengan baik dan sukses. Pelaksanaan kegiatan yang efektif dituntut besar oleh bagaimana kinerja tim OC dalam melaksanakan kegiatan itu. Suatu upaya bagaimana menghasilkan suatu kegiatan yang efektif dalam membentuk tim OC yang baik adalah:

  1. Usahakan kegiatan terlaksana sesuai dengan rencana.
  2. Siapkan rencana cadangan apabila situasi dan kondisi berubah. Cth: pembicara tidak hadir.
  3. Antisipasi segala kemungkinan dengan menyiapkan alternatif pengganti.
  4. Apabila semua usaha telah dicoba maka hasilnya kita serahkan kepada Allah SWT.

Evaluasi Kegiatan
Proses akhir yang dilakukan oleh kepanitiaan sebagai tim OC yang baik adalah pengevaluasian kegiatan. Evaluasi berfungsi sebagai media untuk menilai sejauh mana kinerja tim dalam pelaksanaan kegiatan. Pengevaluasian tidak hanya dilakukan pada saat selesai kegiatan, akan tetapi evaluasi juga penting dilakukan apabila kondisi kepanitiaan dalam keadaan tidak kondusif.

Berikut adalah bagaimana tim OC melakukan pengevaluasian kegiatan atas kinerja panitia:

  1. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah kegiatan sudah dilaksanakan dengan baik, jika ada penyimpangan dapat diperbaiki dan sebagai bahan pertimbangan untuk kegiatan selanjutnya.
  2. Evaluasi tidak hanya dilakukan setelah kegiatan selesai tapi harus diadakan pada masa persiapan dan pada saat pelaksanaan kegiatan.
  3. Buatlah kriteria keberhasilan secara umum dan khusus untuk masing-masing bagian dalam kepanitiaan.
  4. Bandingkan hasil pelaksanaan kegiatan dengan kriteria yang sudah dibuat.
  5. Evaluasi bisa dilakukan dengan meminta pendapat dari peserta kegiatan baik secara lisan maupun tulisan.
  6. Buat laporan hasil kegiatan serta evaluasinya.

Lencana Facebook