Home » , » MANAJEMEN KONFLIK: Definisi, Penyebab, dan Pengelolaan Konflik

MANAJEMEN KONFLIK: Definisi, Penyebab, dan Pengelolaan Konflik

Konflik Masyarakat, Konflik Suku, Konflik Pemuda, KonflikKonflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan. Bahkan sepanjang kehidupan, manusia senantiasa dihadapkan dan bergelut dengan konflik. Demikian halnya dengan kehidupan organisasi. Anggota organisasi senantiasa dihadapkan pada konflik. Perubahan atau inovasi baru sangat rentan menimbulkan konflik (destruktif), apalagi jika tidak disertai pemahaman yang memadai terhadap ide-ide yang berkembang.

Menurut Webster (1966) dalam Dean G. Pruitt dan Feffrey Z. Rubin, istilah “conflict” dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Arti kata itu kemudian berkembang  menjadi “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan”.

Dean G. Pruitt dan Feffrey Z. Rubin memaknai konflik sebagai persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Konflik dapat terjadi pada berbagai macam keadaan dan pada berbagai tingkat kompleksitas. Konflik merupakan sebuah duo yang dinamis.

Manajemen konflik sangat berpengaruh bagi anggota organisasi. Pemimpin organisasi dituntut menguasai manajemen konflik agar konflik yang muncul dapat berdampak positif untuk meningkatkan mutu organisasi. 

Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.

Menurut Ross (1993), manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.

Sementara Minnery (1980:220) menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan kota merupakan proses. Minnery (1980:220) juga berpendapat bahwa proses manajemen konflik perencanaan kota merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif, artinya bahwa pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota secara terus menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang representatif dan ideal.

Sama halnya dengan proses manajemen konflik yang telah dijelaskan diatas, bahwa manajemen konflik meliputi beberapa langkah yaitu: penerimaan terhadap keberadaan konflik (dihindari atau ditekan/didiamkan), klarifikasi karakteristik dan struktur konflik, evaluasi konflik (jika bermanfaat maka dilanjutkan dengan proses selanjutnya), menentukan aksi yang dipersyaratkan untuk mengelola konflik, serta menentukan peran perencana sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam mengelola konflik.

Transformasi Konflik
Fisher dkk (2001:7) menggunakan istilah transformasi konflik secara lebih umum dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan, yaitu:
  1. Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras
  2. Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan damai.
  3. Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat.
  4. Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.
  5. Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.
Tahapan-tahapan diatas merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan dalam mengelola konflik. Sehingga masing-masing tahap akan melibatkan tahap sebelumnya misalnya pengelolaan konflik akan mencakup pencegahan dan penyelesaian konflik.

Proses Manajemen Konflik
Sementara Minnery (1980:220) menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan merupakan proses. Minnery (1980:220) juga berpendapat bahwa proses manajemen konflik perencanaan merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif, artinya bahwa pendekatan model manajemen konflik perencanaan secara terus menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang representatif dan ideal.

Sama halnya dengan proses manajemen konflik yang telah dijelaskan diatas, bahwa manajemen konflik perencanaan meliputi beberapa langkah yaitu: penerimaan terhadap keberadaan konflik (dihindari atau ditekan/didiamkan), klarifikasi karakteristik dan struktur konflik, evaluasi konflik (jika bermanfaat maka dilanjutkan dengan proses selanjutnya), menentukan aksi yang dipersyaratkan untuk mengelola konflik, serta menentukan peran perencana sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam mengelola konflik.

Keseluruhan proses tersebut berlangsung dalam konteks perencanaan dan melibatkan perencana sebagai aktor yang mengelola konflik baik sebagai partisipan atau pihak ketiga.

Teori-Teori Utama Mengenai Sebab-sebab Konflik
  1. Teori Hubungan Masyarakat. Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran: meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok yang mengalami konflik, serta mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada didalamnya.
  2. Teori Kebutuhan Manusia. Menganggap bahwa konflik yang berakar disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Hal yang sering menjadi inti pembicaraan adalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi. Sasaran: mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan itu.
  3. Teori Negosiasi Prinsip. Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Sasaran: membantu pihak yang berkonflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap. Kemudian melancarkan proses kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
  4. Teori Identitas. Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Sasaran: melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik, sehingga dapat mengidentifikasi ancaman dan ketakutan di antara pihak tersebut dan membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka.
  5. Teori Kesalahpahaman Antarbudaya. Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran: menambah pengetahuan kepada pihak yang berkonflik mengenai budaya pihak lain, mengurangi streotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain, meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.
  6. Teori Transformasi Konflik. Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Penyebab Konflik
Konflik dapat terjadi hanya karena salah satu pihak memiliki aspirasi tinggi karena alternatif yang bersifat integrative dinilai sulit didapat. Ketika konflik semacam ini terjadi, maka ia akan semakin mendalam bila aspirasi sendiri atau aspirasi pihak lain bersifat kaku dan menetap.

Aspirasi dapat mengakibatkan konflik karena salah satu dari dua alasan, yaitu masing-masing pihak memiliki alasan untuk percaya bahwa mereka mampu mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri mereka sendiri atau mereka percaya bahwa berhak memeiliki objek tersebut. Pertimbangan pertama bersifat realistis, sedangkan pertimbangan kedua bersifat idealis.
  1. Faktor Manusia: Ditimbulkan oleh atasan, terutama karena gaya kepemimpinannya, Personil yang mempertahankan peraturan-peraturan secara kaku, dan timbul karena ciri-ciri kepriba-dian individual, antara lain sikap egoistis, temperamental, sikap fanatik, dan sikap otoriter.
  2. Faktor Organisasi
  • Persaingan dalam menggunakan sumberdaya. Apabila sumberdaya baik berupa uang, material, atau sarana lainnya terbatas atau dibatasi, maka dapat timbul persaingan dalam penggunaannya. Ini merupakan potensi terjadinya konflik antar unit/departemen dalam suatu organisasi.
  • Perbedaan tujuan antar unit-unit organisasi. Tiap-tiap unit dalam organisasi mempunyai spesialisasi dalam fungsi, tugas, dan bidangnya. Perbedaan ini sering mengarah pada konflik minat antar unit tersebut. Misalnya, unit penjualan menginginkan harga yang relatif rendah dengan tujuan untuk lebih menarik konsumen, sementara unit produksi menginginkan harga yang tinggi dengan tujuan untuk memajukan perusahaan.
  • Interdependensi Tugas. Konflik terjadi karena adanya saling ketergantungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Kelompok yang satu tidak dapat bekerja karena menunggu hasil kerja dari kelompok lainnya.
  • Perbedaan Nilai dan Persepsi. Suatu kelompok tertentu mempunyai persepsi yang negatif, karena merasa mendapat perlakuan yang tidak “adil”. Para manajer yang relatif muda memiliki presepsi bahwa mereka mendapat tugas-tugas yang cukup berat, rutin dan rumit, sedangkan para manajer senior mendapat tugas yang ringan dan sederhana.
  • Kekaburan Yurisdiksional. Konflik terjadi karena batas-batas aturan tidak jelas, yaitu adanya tanggung jawab yang tumpang tindih.
  • Masalah “status”. Konflik dapat terjadi karena suatu unit/departemen mencoba memperbaiki dan meningkatkan status, sedangkan unit/departemen yang lain menganggap sebagai sesuatu yang mengancam posisinya dalam status hirarki organisasi.
  • Hambatan Komunikasi. Hambatan komunikasi, baik dalam perencanaan, pengawasan, koordinasi bahkan kepemimpinan dapat menimbulkan konflik antar unit/ departemen.
Akibat Konflik
  • Dampak Negatif: Menghambat komunikasi, Mengganggu kohesi (keeratan hubungan), Mengganggu kerjasama atau “team work”, Mengganggu proses produksi, bahkan dapat menurunkan produksi. Menumbuhkan ketidakpuasan terhadap pekerjaan. Individu atau personil menga-lami tekanan (stress), mengganggu konsentrasi, menimbulkan kecemasan, mangkir, menarik diri, frustrasi, dan apatisme. Apabila konflik mengarah pada kondisi destruktif, maka hal ini dapat berdampak pada penurunan efektivitas kerja dalam organisasi baik secara perorangan maupun kelompok, berupa penolakan, resistensi terhadap perubahan, apatis, acuh tak acuh, bahkan mungkin muncul luapan emosi destruktif, berupa demonstrasi.
  • Dampak Positif: Membuat organisasi tetap hidup dan harmonis, Berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan, Melakukan adaptasi, sehingga dapat terjadi perubahan dan per-baikan dalam sistem dan prosedur, mekanisme, program, bahkan tujuan organisasi, Memunculkan keputusan-keputusan yang bersifat inovatif. Memunculkan persepsi yang lebih kritis terhadap perbedaan pendapat. Konflik bisa jadi merupakan sumber energi dan kreativitas yang positif apabila dikelola dengan baik. Misalnya, konflik dapat menggerakan suatu perubahan: Membantu setiap orang untuk saling memahami tentang perbedaan pekerjaan dan tanggung jawab mereka, Memberikan saluran baru untuk komunikasi, Menumbuhkan semangat baru pada staf, Memberikan kesempatan untuk menyalurkan emosi, Menghasilkan distribusi sumber tenaga yang lebih merata dalam organisasi.
Strategi Mengatasi Konflik
Munculnya konflik tidak selalu bermakna negatif, artinya jika konflik dapat dikelola dengan baik, maka konflik dapat memberi kontribusi positif terhadap kemajuan sebuah organisasi.

Beberapa strategi mengatasi konflik antara lain adalah:
  1. Contending (bertanding) yaitu mencoba menerapkan solusi yang lebih disukai salah satu pihak atau pihak lain;
  2. Yielding (mengalah) yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang dari apa yang sebetulnya diinginkan;
  3. Problem Solving (pemecahan masalah) yaitu mencari alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak;
  4. With Drawing (menarik diri) yaitu memilih meninggalkan situasi konflik baik secara fisik maupun psikologis. With drawing melibatkan pengabaian terhadap kontroversi.
  5. Inaction (diam) tidak melakukan apapun, dimana masing-masing pihak saling menunggu langkah berikut dari pihak lain, entah sampai kapan.
Konflik Sebagai Suatu Oposisi
Konflik dapat dikatakan sebagai suatu oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi, yang disebabkan oleh adanya berbagai macam perkembangan dan perubahan dalam bidang manajemen serta menimbulkan perbedaan pendapat, keyakinan, dan ide.

Dalam pada itu, ketika individu bekerja sama satu sama lain dalam rangka mewujudkan tujuannya, maka wajar seandainya dalam waktu yang cukup lama terjadi perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka. Ibarat piring, banyak yang pecah atau retak, hanya karena bersentuhan dengan piring lainnya.

Tahap-Tahap Berlangsungnya Konflik
Menurut Mulyasa pada umumnya konflik berlangsung dalam lima tahap, yaitu tahap potensial, konflk terasakan, pertenangan, konflik terbuka, dan akibat konflik.
  1. Tahap Potensial, yaitu munculnya perbedaan di antara individu, organisasi, dan lingkunan merupakan potensi terjadinya konflik;
  2. Konflik Terasakan, yaitu kondisi ketika perbedaan yang muncul dirasakan oleh individu, dan mereka mulai memikirkannya;
  3. Pertentangan, yaitu ketika konflik berkembang menjadi perbedaan pendapat di anatara individu atau kelompok yang saling bertentangan;
  4. Konflik Terbuka, yaitu tahapan ketika pertentangan berkembang menjadi permusuhan secara terbuka;
  5. Akibat Konflik, yaitu tahapan ketika konflik menimbulkan dampak terhadap kehidupan dan kinerja organisasi. Jika konflik terkelola dengan baik, maka akan menimbulkan keuntungan, seperti tukar pikiran, ide dan menimbulkan kreativitas. Tetapi jika tidak dikelola dengan baik, dan melampaui batas, maka akan menimbulkan kerugian seperti saling permusuhan.
Latar Belakang Konflik
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.

Konflik adalah sesuatu yang wajar terjadi di masyarakat, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

Faktor-faktor Penyebab Konflik
  1. Perbedaan Individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan;
  2. Perbedaan latar belakang Kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda pula. seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya;
  3. Perbedaan Kepentingan antara individu atau kelompok, diantaranya menyangkut bidang ekonomi, politik, dan sosial; dan
  4. Perubahan-Perubahan Nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Tingkatan Konflik
  1. Konflik Intrapersonal,  yaitu konflik internal yang terjadi dalam diri seseorang. Konflik intrapersonal akan terjadi ketika individu  harus memilih dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan, dan bimbang mana yang harus dipilih untuk dilakukan.
  2. Konflik Interpersonal, yaitu konflik yang terjadi antar individu. Konflik yang terjadi ketika adanya perbedaan tentang isu tertentu, tindakan dan tujuan dimana hasil bersama sangat menentuan.
  3. Konflik Intragrup, yaitu konflik antara angota dalam satu kelompok. Setiap kelompok dapat mengalami konflik substantif atau efektif.  Konflik substantif terjadi karena adanya latar belakang keahlian yang berbeda, ketika anggota dari suatu komite menghasilkan kesimpulan yang berbeda atas data yang sama. Sedangkan konflik efektif terjadi karena tangapan emosional terhadap suatu situasi tertentu.
  4. Konflik Intergrup, yaitu konflik yang terjadi antar kelompok. Konflik intergrup terjadi karena adanya saling ketergantungan, perbedaan persepsi, perbedaan tujuan, da meningkatkatnya tuntutan akan keahlian.
  5. Konflik Interorganisasi,  yang terjadi antar organisasi. Konflik inter organisasi  terjadi karena mereka memiliki saling ketergantungan satu sama lain, konflik terjadi bergantung pada tindakan suatu organisasi yang menyebabkan dampak negatif terhadap organisasi lain. Misalnya konflik yang terjadi antara lembaga pendidikan dengan salah satu organisasi masyarakat.
  6. Konflik Intraorganisasi, yaitu konflik yang terjadi antar bagian dalam suatu organisasi, meliputi:
  • Konflik Vertikal, yang terjadi antara pimpinan dan bawahan yang tidak sependapat tentang cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu. Misalnya konflik antara Rektor dengan tenaga kependidikan;
  • Konflik Horizontal, yang terjadi antar karyawan atau departemen yang memiliki hierarkhi yang sama dalam organisasi Misalnya antara tenaga kependidikan;
  • Konflik Lini-Staf, yang sering terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang keterlibatan staf dalam proses pengambilan keputusan oleh manajer lini. Misalnya konflik antara Rektor dengan tenaga administrasi.
  • Konflik Peran, yang terjadi karena seserang memiliki lebih dari satu peran. Misalnya Rektor menjabat sebagai ketua dewan pendidikan;
Pengelolaan Konflik
Konflik dapat dicegah atau dikelola dengan:
  • Disiplin
Mempertahankan disiplin dapat digunakan untuk mengelola dan mencegah konflik. Manajer perawat harus mengetahui dan memahami peraturan-peraturan yang ada dalam organisasi. Jika belum jelas, mereka harus mencari bantuan untuk memahaminya.
  • Pertimbangan Pengalaman dalam Tahapan Kehidupan
Konflik dapat dikelola dengan mendukung perawat untuk mencapai tujuan sesuai dengan pengalaman dan tahapan hidupnya. Misalnya; Perawat junior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk mengikuti pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, sedangkan bagi perawat senior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi.
  • Komunikasi
Suatu Komunikasi yang baik akan menciptakan lingkungan yang terapetik dan kondusif. Suatu upaya yang dapat dilakukan manajer untuk menghindari konflik adalah dengan menerapkan komunikasi yang efektif dalam kegitan sehari-hari yang akhirnya dapat dijadikan sebagai satu cara hidup.
  • Mendengarkan secara aktif
Mendengarkan secara aktif merupakan hal penting untuk mengelola konflik. Untuk memastikan bahwa penerimaan para manajer perawat telah memiliki pemahaman yang benar, mereka dapat merumuskan kembali permasalahan para pegawai sebagai tanda bahwa mereka telah mendengarkan.
  • Teknik atau Keahlian untuk Mengelola Konflik
Pendekatan dalam resolusi konflik tergantung pada: Konflik itu sendiri, Karakteristik orang-orang yang terlibat di dalamnya, Keahlian individu yang terlibat dalam penyelesaian konflik, Pentingnya isu yang menimbulkan konflik, dan Ketersediaan waktu dan tenaga

Tipe Pengelolaan Konflik
Manajemen harus mampu meredam persaingan yang sifatnya berlebihan (yang melahirkan konflik yang bersifat disfungsional) yang justru merusak spirit sinergisme organisasi tanpa melupakan continous re-empowerment.

Ada 6 tipe pengelolaan konflik yang dapat dipilih dalam menangani konflik yang muncul (Dawn M. Baskerville, 1993:65), yaitu:
  • Avoiding: gaya seseorang atau organisasi yang cenderung untuk menghindari terjadinya konflik. Hal-hal yang sensitif dan potensial menimbulkan konflik sedapat mungkin dihindari sehingga tidak menimbulkan konflik terbuka.
  • Accomodating: gaya ini mengumpulkan dan mengakomodasikan pendapat-pendapat dan kepentingan pihak-pihak yang terlibat konflik, selanjutnya dicari jalan keluarnya dengan tetap mengutamakan kepentingan pihak lain atas dasar masukan-masukan yang diperoleh.
  • Compromising: merupakan gaya menyelesaikan konflik dengan cara melakukan negosiasi terhadap pihak-pihak yang berkonflik, sehingga kemudian menghasilkan solusi (jalan tengah) atas konflik yang sama-sama memuaskan (lose-lose solution).
  • Competing: artinya pihak-pihak yang berkonflik saling bersaing untuk memenangkan konflik, dan pada akhirnya harus ada pihak yang dikorbankan (dikalahkan) kepentingannya demi tercapainya kepentingan pihak lain yang lebih kuat atau yang lebih berkuasa (win-lose solution).
  • Collaborating: dengan cara ini pihak-pihak yang saling bertentangan akan sama-sama memperoleh hasil yang memuaskan, karena mereka justru bekerja sama secara sinergis dalam menyelesaikan persoalan, dengan tetap menghargai kepentingan pihak lain. Singkatnya, kepentingan kedua pihak tercapai (menghasilkan win-win solution).
  • Conglomeration (mixtured type): cara ini menggunakan kelima style bersama-sama dalam penyelesaian konflik.
Metode Menangani Konflik
Metode yang sering digunakan untuk menangani konflik adalah pertama dengan mengurangi konflik, dan kedua dengan menyelesaikan konflik. Untuk metode pengurangan konflik salah satu cara yang sering efektif adalah dengan mendinginkan persoalan terlebih dahulu (cooling thing down).

Meskipun demikian cara semacam ini sebenarnya belum menyentuh persoalan yang sebenarnya. Cara lain adalah dengan membuat “musuh bersama”, sehingga para anggota di dalam kelompok tersebut bersatu untuk menghadapi “musuh” tersebut. Cara semacam ini sebenarnya juga hanya mengalihkan perhatian para anggota kelompok yang sedang mengalami konflik.

1. Metode Dominasi atau Supresi
Metode dominasi dan supresi biasanya memiliki dua macam persamaan, yaitu: 
  • Mereka menekan konflik, dan bahkan menyelesaikannya dengan jalan memaksakan konflik tersebut menghilang “di bawah tanah”,
  • Mereka menimbulkan suatu situasi menang-kalah, di mana pihak yang kalah terpaksa mengalah kaena otoritas lebih tinggi, atau pihak yang lebih besar kekuasaanya, dan mereka biasanya menjadi tidak puas, dan sikap bermusuhan muncul.
Tindakan metode supresi dan dominasi dalam menangani konflik yaitu:
  • Memaksa (Forcing)
Apabila orang yang berkuasa pada pokoknya menyatakan “Sudah, jangan banyak bicara, saya berkuasa di sini, dan saudara harus melaksanakan perintah saya”, maka semua argumen habis sudah. Supresi otokratis demikian memang dapat menyebabkan timbulnya ekspresi-ekspresi konflik yang tidak langsung, tetapi destruktif seperti misalnya ketaatan dengan sikap permusuhan (Malicious Obedience). Gejala tersebut merupakan salah satu di antara banyak macam bentuk konflik, yang dapat menyebar, apabila supresi (peneanan) konflik terus-menerusa diterapkan.
  • Membujuk (Smoothing)
Dalam kasus membujuk, yang merupakan sebuah cara  untuk menekan (mensupresi) konflik dengan cara yang lebih diplomatic, sang manager mencoba mengurangi luas dan pentingnya ketidaksetujuan yang ada, dan ia mencoba secara sepihak membujuk phak lain, untuk mengkuti keinginannya. Apabila sang manager memiliki lebih banyak informasi dibandingkan dengan pihak lain tersebut, dan sarannya cukup masuk akal, maka metode tersebut dapat bersifat efektif. Tetapi andaikata terdapat perasaan bahwa sang menejer menguntungkan pihak tertentu, atau tidak memahami persoalan yang berlaku, maka pihak lain yang kalah akan menentangnya.
  • Menghindari (Avoidence)
Apabila kelompok-kelompok yang sedang bertengkar dating pada seorang manajer untuk meminta keputusannya, tetapi ternyata bahwa sang manajer menolak untuk turut campur dalam persoalan tersebut, maka setiap pihak akan mengalami perasaan tidak puas. Memang perlu diakui bahwa sikap pura-pura bahwa tidak ada konflik, merupakan seuah bentuk tindakan menghindari. Bentuk lain adalah penolakan (refusal) untuk menghadapi konflik, dengan jalan mengulur-ulur waktu, dan berulangkali menangguhkan tindakan, “sampai diperoleh lebih banyak informasi”.
  • Keinginan Mayoritas (Majority Rule)
Upaya untuk menyelesaikan konflik kelompok melalui pemungutan suara, dimana suara terbanyak menang (majority vote) dapat merupakan sebuah cara efektif, apabla para angota menganggap prosedur yang bersangkutan sebagai prosedur yang “fair” Tetapi, apabila salah satu blok yang memberi suara terus-menerus mencapai kemenangan, maka pihak yang kalah akan merasa diri lemah dan mereka akan mengalami frustrasi.

2. Metode Kompromi
Melalui kompromi mencoba menyelesaikan konflik dengan menemukan dasar yang di tengah dari dua pihak yang berkonflik. Cara ini lebih memperkecil kemungkinan untuk munculnya permusuhan yang terpendam dari dua belah pihak yang berkonflik, karena tidak ada yang merasa menang maupun kalah. Meskipun demikian, dipandang dari pertimbangan organisasi pemecahan ini bukanlah cara yang terbaik, karena tidak membuat penyelesaian yang terbaik pula bagi organisasi, hanya untuk menyenangkan kedua belah pihak yang saling bertentangan atau berkonflik.

Yang termasuk kompromi diantaranya adalah:
  • Akomodasi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan cermin yang memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak lain tanpa ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses tersebut adalah taktik perdamaian.
  • Sharing
Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara dominasi kelompok dan kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lain menerima sesuatu. Kedua kelompok berpikiran moderat, tidak lengkap, tetapi memuaskan.

Melalui tindakan kompromi, para manajer mencoba menyelesaikan konflik dengan jalan menghimbau pihak yang berkonflik untuk mengorbankan sasaran-sasaran tertentu, guna mencapai sasaran-sasaran lain. Keputusan-keputusan yang dicapai melalui jalan kompromi, agaknya tidak akan menyebabkan pihak-pihak yangberkonflik untuk merasa frustasi atau mengambil sikap bermusuhan.

Tetapi dipandang dari sudut pandanga organisatoris, kompromis merupakan cara penyelesaian konflik yang lemah, karena biasanya tidak menyebabkan timbulnya suatu pemecahan, yang paling baik membantu organisasi yang bersangkutan mencapai tujuan-tujuannya. Justru, pemecahan yang dicapai adalah bahwa ke dua belah pihak yang berkonflik dapat “hidup” dengannya.

Bentuk-bentuk Kompromi:
  • Separasi (Separation), pihak yang berkonflik dipisahkan sampai mereka mencapai suatu pemecahan
  • Aritrasi (Arbitration), pihak-pihak yang berkonflik tunduk terhadap keputusan pihak keiga (yang biasanya tidak lain dari pihak manejer mereka sendiri)
  • Settling by Chance (Mengambil keputusan berdasarkan factor kebetulan), keputusan tergantung misalnya dari uang logam yang dilempar ke atas, mentaati peratuan-peraturan yang berlaku (resort to rules), dimana para pihak yang bersaingan setuju untuk menyelesaikan konflik dengan berpedoman pada peraturan-peraturan yang berlaku;
  • Menyogok (Bribing), Salah satu pihak menerima imbalan tertentu untuk mengakhiri konflik terjadi.
3. Metode Pemecahan Problem Integrative
Dengan menyelesaikan konflik secara integratif, konflik antar kelompok diubah menjadi situasi pemecahan persoalan bersama yang bisa dipecahkan dengan bantuan tehnik-tehnik pemecahan masalah (problem solving).

Pihak-pihak yang bertentangan bersama-sama mencoba memecahkan masalahnya,dan bukan hanya mencoba menekan konflik atau berkompromi. Meskipun hal ini merupakan cara yang terbaik bagi organisasi, dalam prakteknya sering sulit tercapai secara memuaskan karena kurang adanya kemauan yang sunguh-sungguh dan jujur untuk memecahkan persoalan yang menimbulkan persoalan.

Ada tiga macam tipe metode penyelesaian konflik secara integrative yaitu: (Winardi, 1994:84- 89)
  • Consensus (Concencus)
  • Konfrontasi (Confrontation); dan
  • Penggunaan tujuan-tujuan superordinat (Superordinate goals)
4. Metode Kompetisi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak mengalahkan atau mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal dengan istilah win-lose orientation.

Win-Lose Orientation Terdiri dari lima orientasi sebagai berikut:
  • Win-Lose (Menang-Kalah)
Paradigma ini mengatakan jika “saya menang, anda kalah “. Dalam gaya ini seseorang cenderung menggunakan kekuasaan, jabatan, mandat, barang milik, atau kepribadian untuk mendapatkan apa yang diinginkan dengan mengorbankan orang lain. Dengan paradigma ini seseorang akan merasa berarti jika ia bisa menang dan orang lain kalah. Ia akan merasa terancam dan iri jika orang lain menang sebab ia berpikir jika orang lain menang pasti dirinya kalah. Jika menang pun sebenarnya ia diliputi rasa bersalah karena ia menganggap kemenangannya pasti mengorbankan orang lain. Pihak yang kalah pun akan menyimpan rasa kecewa, sakit hati, dan merasa diabaikan.

Sikap Menang-Kalah dapat muncul dalam bentuk:
  1. Menggunakan orang lain, baik secara emosional atau pun fisik, untuk kepentingan diri.
  2. Mencoba untuk berada di atas orang lain.
  3. Menjelek-jelekkan orang lain supaya diri sendiri nampak baik.
  4. Selalu mencoba memaksakan kehendak tanpa memperhatikan perasaan orang lain.
  5. Iri dan dengki ketika orang lain berhasil
  • Lose-Win (Kalah-Menang)
Dalam gaya ini seseorang tidak mempunyai tuntutan, visi, dan harapan. Ia cenderung cepat menyenangkan atau memenuhi tuntutan orang lain. Mereka mencari kekuatan dari popularitas atau penerimaan. Karena paradigma ini lebih mementingkan popularitas dan penerimaan maka menang bukanlah yang utama. Akibatnya banyak perasaan yang terpendam dan tidak terungkapkan sehingga akan menyebabkan penyakit psikosomatik seperti sesak napas, saraf, gangguan sistem peredaran darah yang merupakan perwujudan dari kekecewaan dan kemarahan yang mendalam.
  • Lose-Lose (Kalah-Kalah)
Biasanya terjadi jika orang yang bertemu sama-sama punya paradigma Menang-Kalah. Karena keduanya tidak bisa bernegosiasi secara sehat, maka mereka berprinsip jika tidak ada yang menang , lebih baik semuanya kalah. Mereka berpusat pada musuh, yang ada hanya perasaan dendam tanpa menyadari jika orang lain kalah dan dirinya kalah sama saja dengan bunuh diri.
  • Win (Menang)
Orang bermentalitas menang tidak harus menginginkan orang lain kalah. Yang penting adalah mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orang bermentalitas menang menjadi egois dan akan mencapai tujuannya sendiri. Jika hal ini menjadi pola hidupnya maka ia tidak akan bisa akrab dengan orang lain, merasa kesepian, dan sulit kerja sama dalam tim.
  • Win-Win (Menang-Menang)
Menang-Menang adalah kerangka pikiran dan hati yang terus menerus mencari keuntungan bersama dalam semua interaksi. Menang-Menang berarti mengusahakan semua pihak merasa senang dan puas dengan pemecahan masalah atau keputusan yang diambil. Paradigma ini memandang kehidupan sebagai arena kerja sama bukan persaingan. Paradigma ini akan menimbulkan kepuasan pada kedua belah pihak dan akan meningkatkan kerja sama kreatif.

Gaya Dalam Penyelesaian Konflik
Perlu kita ingat bahwa dalam memilih style yang akan dipakai oleh seseorang atau organisasi di dalam pengelolaan konflik akan sangat bergantung dan dipengaruhi oleh persepsi, kepribadian/karakter (personality), motivasi, kemampuan (abilities) atau pun kelompok acuan yang dianut oleh seseorang atau organisasi.

Dapat dikatakan bahwa pilihan seseorang atas gaya mengelola konflik merupakan fungsi dari kondisi khusus tertentu dan orientasi dasar seseorang atau perilakunya dalam menghadapai konflik tersebut yang juga berkaitan dengan nilai (value) seseorang tersebut.

Pada level subkultur (subculture), shared values dapat dipergunakan untuk memprediksi pilihan seseorang pada gaya dalam menyelesaikan konflik yang dihadapinya. Subkultur seseorang diharapkan dapat mempengaruhi perilakunya sehingga akan terbentuk perilaku yang sama dengan budayanya. (M. Kamil Kozan, 2002:93-96)

Teknik Penyelesaian Konflik
  • Rujuk, merupakan suatu usaha pendekatan dan hasrat untuk kerja-sama dan menjalani hubungan yang lebih baik, demi kepentingan bersama.
  • Persuasi, yaitu usaha mengubah po-sisi pihak lain, dengan menunjukkan kerugian yang mungkin timbul, dengan bukti faktual serta dengan menunjukkan bahwa usul kita menguntungkan dan konsisten dengan norma dan standar keadilan yang berlaku.
  • Tawar-menawar, suatu penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak, dengan saling mempertukarkan konsesi yang dapat diterima. Dalam cara ini dapat digunakan komunikasi tidak langsung, tanpa mengemukakan janji secara eksplisit.
  • Pemecahan masalah terpadu, usaha menyelesaikan masalah dengan memadukan kebutuhan kedua pihak. Proses pertukaran informasi, fakta, perasaan, dan kebutuhan berlangsung secara terbuka dan jujur. Menimbulkan rasa saling percaya dengan merumuskan alternatif pemecahan secara bersama dengan keuntungan yang berimbang bagi kedua pihak.
  • Penarikan diri, suatu penyelesaian masalah, yaitu salah satu atau kedua pihak menarik diri dari hubungan. Cara ini efektif apabila dalam tugas kedua pihak tidak perlu berinteraksi dan tidak efektif apabila tugas saling bergantung satu sama lain.
  • Pemaksaan dan penekanan, cara ini memaksa dan menekan pihak lain agar menyerah; akan lebih efektif bila salah satu pihak mempunyai wewenang formal atas pihak lain. Apabila tidak terdapat perbedaan wewenang, dapat dipergunakan ancaman atau bentuk-bentuk intimidasi lainnya. Cara ini sering kurang efektif karena salah satu pihak hams mengalah dan menyerah secara terpaksa.
  • Intervensi (campur tangan) pihak ketiga, Apabila fihak yang bersengketa tidak bersedia berunding atau usaha kedua pihak menemui jalan buntu, maka pihak ketiga dapat dilibatkan dalam penyelesaian konflik.
Penyelesaian Konflik dengan Pihak Ketiga
  • Arbitrase (arbitration): Pihak ketiga mendengarkan keluhan kedua pihak dan berfungsi sebagai “hakim” yang mencari pemecahan mengikat. Cara ini mungkin tidak menguntungkan kedua pihak secara sama, tetapi dianggap lebih baik daripada terjadi muncul perilaku saling agresi atau tindakan destruktif.
  • Penengahan (mediation): Menggunakan mediator yang diundang untuk menengahi sengketa. Mediator dapat membantu mengumpulkan fakta, menjalin komunikasi yang terputus, menjernihkan dan memperjelas masalah serta mela-pangkan jalan untuk pemecahan masalah secara terpadu. Efektivitas penengahan tergantung juga pada bakat dan ciri perilaku mediator.
  • Konsultasi: Tujuannya untuk memperbaiki hubungan antar kedua pihak serta mengembangkan kemampuan mereka sendiri untuk menyelesaikan konflik. Konsultan tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan dan tidak berusaha untuk menengahi. la menggunakan berbagai teknik untuk meningkatkan persepsi dan kesadaran bahwa tingkah laku kedua pihak terganggu dan tidak berfungsi, sehingga menghambat proses penyelesaian masalah yang menjadi pokok sengketa.
Pendekatan Dalam Penanganan & Penyelesaian Konflik

1. Pendekatan KAPOW (Knowledge, Authority, Power, Other, Winning)
  • KNOWLEDGE (Pengetahuan)Sejauh mana anda mengetahui isu pihak lain?, Sejauh mana pihak lain mengetahui isu anda?. dan Sejauh mana anda mengetahui masalahnya?
  • AUTHORITY (Wewenang): Apakah anda punya wewenang untuk mengambil keputusan?, Apakah pihak lain punya wewenang untuk mengambil keputusan?
  • POWER (Kekuatan): Sejauh mana anda dapat memberi pengaruh terhadap situasi, Seberapa besar kekuatan yang dimiliki pihak lain atas diri anda?
  • OTHER (Relasi): Seberapa tinggi pentingnya relasi bagi anda?, Seberapa tinggi pentingnya relasi bagi pihak lain?
  • WINNING (Kemenangan): Seberapa pentingnya unsur kemenangan?, Apakah anda harus menang?, Apakah pihak lain harus menang?, Apakah kompromi dapat diterima?, Apakah kekalahan dapat diterima?
2. Pendekatan ACES (Asses, Clarify, Evaluated, Solve)

  • Asses the Situation (Mengenali Situasi)
  • Clarify the Issues (Memperjelas Permasalahan)
  • Evaluate Alternative Approaches (Menilai Pendekatan-pendekatan Alternatif)
  • Solve the Problem (Mengurai Permasalahan)

Petunjuk pendekatan pada situasi konflik diawali melalui penilaian diri sendiri, Analisa isu-isu seputar konflik, Tinjau kembali dan sesuaikan dengan hasil eksplorasi diri sendiri, Atur dan rencanakan pertemuan antara individu-individu yang terlibat konflik, Memantau sudut pandang dari semua individu yang terlibat, Mengembangkan dan menguraikan solusi, Memilih solusi dan melakukan tindakan, dan Merencanakan pelaksanaannya.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengatasi konflik yaitu Ciptakan sistem dan pelaksanaan komunikasi yang efektif, cegahlah konflik yang destruktif sebelum terjadi, tetapkan peraturan dan prosedur yang baku terutama yang menyangkut hak karyawan, atasan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan konflik yang muncul, ciptakanlah iklim dan suasana kerja yang harmonis, bentuklah team work dan kerja-sama yang baik antar kelompok/ unit kerja, semua pihak hendaknya sadar bahwa semua unit/eselon merupakan mata rantai organisasi yang saling mendukung, jangan ada yang merasa paling hebat, dan bina dan kembangkan rasa solidaritas, toleransi, dan saling pengertian antar unit/departemen/eselon.

Lencana Facebook