Home » , , , » Antara GBHN & RPJPN

Antara GBHN & RPJPN

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu. GBHN ditetapkan oleh MPR untuk jangka waktu 5 tahun. Dengan adanya Amandemen UUD 1945 dimana terjadi perubahan peran MPR dan presiden, GBHN tidak berlaku lagi. Sebagai gantinya, UU no. 25/2004 mengatur tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang menyatakan bahwa penjabaran dari tujuan dibentuknya Republik Indonesia seperti dimuat dalam Pembukaan UUD 1945, dituangkan dalam bentuk RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang). Skala waktu RPJP adalah 20 tahun, yang kemudian dijabarkan dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah), yaitu perencanaan dengan skala waktu 5 tahun, yang memuat visi, misi dan program pembangunan dari presiden terpilih, dengan berpedoman pada RPJP. Di tingkat daerah, Pemda harus menyusun sendiri RPJP dan RPJM Daerah, dengan merujuk kepada RPJP Nasional.

Pada era baru kita mengenal Garis Besar haluan Negara atau GBHN yang ditetapkan oleh MPR sebagai patokan untuk pembangunan Negara ini. sekarang sudah tidak ada lagi GBHN dan dijaman reformasi ini diganti dengan Undang-Undang 25/2004 yang mengatur Rencana Pembangunan jangka panjang Nasional. Biasa disebut sebagai RJPP atau RJPPN. Sesungguhnya GBHN dan RPJP ini sama fungsinya yaitu sebagai patokan arah pembangunan Indonesia baik pusat dan daerah. RPJP ini akan dibuat turunannya per lima tahun dengan sebutan RPJM  atau rencana Pembangunan Jangka Menengah. Lima tahun diambil dari masa kerja seorang Presiden RI. Demikian juga dengan daerah yang harus membuat RPJP dan RPJM masing-masing mengaju kepada RPJPN tersebut diatas. 

Terkesan semua tertata dengan baik dan benar dan hanya tinggal dijalankan saja.
Sejak 2005 negara ini sudah punya RPJPN 2005-2025. Artinya rencana pembangunan jangka panjang 20 tahun kedepan sejak 2005 sampai 2025. Isinya sangat indah sekali. Misalnya punya Visi : Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. Juga ada sederet Misinya antara lain : mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia dan bermoral, mewujudkan bangsa yang berdaya saing, memujudkan masyarakat yang demokrastis dan berlandaskan hukum, mewujudkan Indonesia yang aman, damai dan bersatu. Masih ada beberapa lagi misi RPJPN ini. kalau dilihat dari isinya maka pada tahun 2025 Indonesia sudah damai, sejahtera, adil dan makmur. Semoga tetapi apa iya?

Sepertinya sangat jarang sekali pembicaraan yang menyangkut RPJP dan RPJM pusat dan daerah ini. artinya segenap masyarakat tidak tahu apa yang mau dikerjakan, apa yang sedang dibangun, kapan selesainya. Makanya tidak heran jika masyarakat merasa Negara ini tidak punya agenda pembangunan. Sepertinya semua berjalan sesuai maunya pemimpin saja. sedikit sekali penjelasan tentang RPJP ini. sangat berbeda sekali dengan era orba dengan GBHN nya. sangat sering dibahas dan bahkan selalu menjadi soal ujian disekolah dan universitas. Jadi segenap masyarakat mengetahui apa dan kemana arah pembangunan Negara ini. sementara sekarang ini yang katanya jaman reformasi kok malah lemah dalam hal penerangan kepada masyarakatnya. Sepertinya juga tidak ada control dari DPR bahwa pemerintah menjalankan RPJP dengan baik dan benar. Ditegur  jika terlambat apalagi menyimpang. RPJP adalah amanat undang-undang.

Sudah berjalan 7 tahun RPJPN tersebut dan apakah ada tanda-tanda masih sesuai target atau justru menyimpang jauh. Coba kita cek dari misi yang ditulis diatas. Indonesia yang mandiri, maju dan makmur, apakah ada kemajuannya? Beras malah import, bawang dan cabai juga import, garam juga import, ikan laut juga import, masyarakat masih banyak yang miskin dan sebagainya. 7 tahun berlalu kok bukan malah swasembada ini kok malah semakin banyak importnya. Artinya yang berkembang justru jiwa dagang ketimbang jiwa entrepreneurnya. Yang penting untung walaupun dari import. Harusnyakan produksi sendiri dan kurangi sebanyak mungkin ketergantungan pada import.

Yang kedua, bangsa yang berdaya saing, akan sulit dicapai selama masih sangat mencintai neo liberalism. Yang kuat adalah pemenang dan yang lemah adalah pecundang. Makanya tidak heran kita selalu import dan juga sulit melaksanakan pembangunan infrastruktur ekonomi yang dapat mendukung pembangunan. Karena tidak jelas langkahnya maka banyak hambatan yang terjadi dalam pelaksanaannya. Demikian juga dengan dunia pendidikan yang masih saja rebut. Lalu bagaimana bisa berdaya saing jika kita tidak punya agenda jelas pondasi mana yang akan dibangun untuk sebagai dasar langkah kedepannya.

Akhlak mulia dan bermoral? Kok makin jauh ya. Demokratis dan berdasar hukum? Juga makin jauh saja. korupsi semakin meraja lela. Tawuran dan anarkisme semakin luas. Mafia hukum dan pajak masih mantap eksis dinegara ini. kebebasan sek, narkoba, minuman keras tidak pernah berkurang. Peranan pemuka agama dan masyarakat semakin dipinggirkan. Pelaku zinah tetap dijadikan idola. Koruptor masih tersenyum dan melambaikan tangan seperti orang mulia saja. ngaku demokratis tetapi berbeda sedikit rusuh ujungnya. Mau menang pada nggak mau kalah. Jadi tidak bergerak kemajuan pelaksanaan misi ini. itu jelas dan fakta.

Kembali ke GBHN...??

Salah satu perubahan sistem politik Indonesia yang berlangung sejak reformasi adalah perubahan sistim kelembagaan Negara dari sistim MPR sebagai lembaga tertinggi negara, berwenang menentukan arah pembangunan bangsa melalui GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) menjadi MPR sebagai lembaga tinggi negara, sejajar dengan lembaga eksekutif,legislative dan yudikatif. MPR sebagai lembaga permusyawaratan, tempat bertemu dua lembaga legislatif DPR RI dan DPD RI, memiliki dua wewenang. Pertama, wewenang terhadap UUD (mengubah dan menetapkan UUD). Kedua wewenang terhadap Presiden (melantik dan memberhentikan Presiden). Sementara wewenang MPR untuk menentukan arah pembangunan nasional dihapus. Tujuan dari perubahan sistim ini adalah untuk membangun demokrasi kelembagaan agar tidak ada hirarchi kelembagaan.

Ketika MPR sebagai lembaga permusyawaratan, tidak memiliki wewenang lagi untuk menafsir dan menjabarkan pasal-pasal UUD 45 dalam bentuk GBHN, maka Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai upaya berkesinambungan untuk merealisasikan tujuan nasional : melindungi, mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat, dirubah sistem dan lembaga perencananya. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional diatur dengan UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 17 Tahun 2007 yang berisi visi, misi, arah pembangunan nasional, dengan sistimatika Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional ( RPJPN ) per- 20 tahun dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN ) per- 5 tahun. RPJMN disusun oleh Presiden dan ditetapkan dengan Peraturan Presiden RI dengan tujuan meningkatkan taraf hidup, pemenuhan kecerdasan, dan kesejahteraan masyarakat.

Sistem Perencanaan Pembangunan nasional pasca reformasi ini melahirkan berbagai masalah diantaranya :
1. Penyusunan dan pelaksanaan RPJMN dan RPJPN dipandang lemah, karena executive perspective.
2. Terjadi inkonsistensi dan diskontinuitas pelaksanaan RPJMN dengan RPJPN karena pergantian Presiden 5 tahun sekali.
3. RPJM Nasional tidak sinkron dengan Daerah, karena RPJM Daerah disusun menurut perspektif daerah.

Ketika hampir 15 tahun sistem ini berjalan, banyak pihak menilai bahwa tanpa GBHN sebagai otoritas tertinggi yang mengarahkan pembangunan bangsa, membuat negara ini bukan lagi Negara kesatuan, tetapi Negara dengan multy government. Kekuasaan ada dimana-mana ( Pusat dan Daerah) yang dengan mudah dapat diselewengkan untuk kepentingan diri dan kelompok dalam bentuk tindak pidana korupsi dan lain-lain. RPJM yang disusun dan dilaksanakan selama ini tidak menjawab secara komprehensif persoalan nasional yang dihadapi Indonesia, apalagi jika dikaitkan dengan konteks persaingan dan kemajuan negara-negara tetangga lainnya. Kita banyak mengalami kemunduran dalam pembangunan bangsa.

Atas dasar itu, maka berbagai pihak mulai berpikir untuk menghidupkan kembali GBHN sebagai panduan untuk kepala negara (Presiden ) dalam menjalankan roda pemerintahan. Presiden tidak perlu membuat program baru, karena tugas presiden hanya melaksanakan GBHN yang telah disusun. Berbagai pihak banyak yang menyesalkan penghapusan tugas MPR dalam menentukan GBHN, karena tanpa GBHN pembangunan Indonesia sulit diharapkan dapat berkesinambungan dan Indonesia tidak akan mampu menghadapi berbagai ancaman di masa depan. GBHN sebagai aset bangsa kembali diperhitungkan dalam perannya sebagai pagar kehidupan bangsa. Hilangnya pagar kehidupan telah membuat bangsa ini dengan mudah dijamah tangan-tangan asing, dimana visi pembangunan cenderung hanyut dalam hiruk pikuk kepentingan asing sehingga kesejahteraan rakyat terabaikan. Maka itu, berbagai pihak meminta ruh dan jati diri pembangunan bangsa tetap berpijak pada aspirasi seluruh rakyat Indonesia yang dituangkan dalam GBHN.

Indonesia Kembali ke sistem GBHN ?. Untuk maksud di atas, banyak hal yang harus dikaji, baik secara yuridis, sosiologis dan metodologis. Yang harus pula diperhitungkan adalah perubahan paradigma berpikir yang ikut merubah arena, wajah dan struktur politik. Dalam era Reformasi, demokrasi mulai terkondisi di berbagai lini kehidupan,sekalipun demokrasi yang dilahirkan di Indonesia abortus sehingga menjadi industri politik. Semua identitas yang muncul dan berkembang di dalam masyarakat mendapat ruang. Semua kelompok dari berbagai kalangan mendapat tempat untuk menyalurkan aspirasi dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. Tidak ada diskriminasi terhadap kelompok tertentu, hak untuk berperan serta dalam pemerintahan atau kegiatan politik terbuka selebar-lebarnya bagi semua kelompok yang ada.

Muncul pertanyaan, Sistem GBHN bisa kah diterapkan dalam arena baru politik ini? Apakah representasi, partisipasi dan penataan ruang publik yang telah diatur dengan undang-undang harus dikoreksi lagi?. Bagaimana mencari solusi kalau terjadi konflik kepentingan dalam menyusun GBHN ? Kita sekarang berada dalam medan wacana. Politik adalah medan wacana dan GBHN bisa menjadi pertempuran wacana. Dengan majunya media, kita sekarang menjadi masyarakat tontonan, apakah akan kita mempertontonkan perebutan dan konflik kepentingan dari para penguasa di negeri ini ?.

Indonesia negara yang sangat multikultural sebab negeri ini terdiri atas etnis, bahasa, agama, budaya yang berbeda-beda. Kondisi ini bagaikan dua sisi mata pedang, jika dapat dikelola dengan baik maka akan menjadi hal yang positif, tetapi jika tidak dapat dikelola dengan baik maka akan muncul “malapetaka”. Orde Baru dengan sistem GBHN tidak sepi dari berbagai “malapetaka”, sehingga harus diakhiri dengan Reformasi yang mengambil korban.

Dalam sistim GBHN di era Orde Baru, tripolarisasi ekonomi ( BUMN, Koperasi dan Swasta) tidak tegak sama-sama kukuh, sehingga terjadi kepincangan sosial dalam berbagai aspeknya. Padahal tujuan pembangunan nasional dirumuskan dalam Trilogi Pembangunan : Pertumbuhan, Pemerataan dan Stabilitas. Kebijakan yang menempatkan pemerintah sebagai pemegang peran penting dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi juga diselewengkan dengan memberikan fasilitas,proteksi dan subsidi ekonomi pada kelompok-kelompok tertentu, sehingga keadilan sosial yang diamanatkan UUD 45 tidak pernah terwujud. Tumbuh konglomerat swasta yang berbau kekuasaan yang menindas pelaku-pelaku ekonomi lemah.

Penerapan kembali sistim GBHN memang sudah menjadi aspirasi, tapi perlu kajian yang seksama. Arena ,wajah dan struktur politik telah berubah. Sekarang ini perbedaan penafsiran terhadap konsep-konsep negara tidak mudah diatasi, karena paradigma berpikir terarah kepada kebebasan.

Lencana Facebook