Aceh adalah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945.
Pada masa Kerajaan Aceh, struktur pemerintahan dibagi dalam lima tingkatan, yaitu :
1. Sultan yang memimpin kerajeun dan daerah taklukannya, serta mengkoordinir para Ulee Balang,
2. Panglima Sagoe yang membawahi beberapa daerah Ulee Balang,
3. Ulee Balang mengkoordinir beberapa mukim,
4. Imeum mukim yang membawahi beberapa gampong, dan
5. Geusyiek yang memimpin gampong sebagai unit pemerintahan terendah. Mukim terbentuk bersamaan dengan masuknya Islam ke Aceh.
Keberadaannya memiliki dasar yang kuat baik untuk pengaturan kehidupan sosial (adat) maupun untuk kehidupan beragama (hukom), dan juga kemudian pemerintahan (Said, 1981 :403).
Landasan bagi kepala Daerah Tk. II untuk memilih, mengakui dan memberhentikan seorang kepala gampong di daerahnya mulai sejak akhir tahun 1953-1961 adalah ketetapan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sumatera Utara tanggal 31 November 1953. Karena pada waktu itu Daerah Istimewa Aceh berstatus Keresidenan merupakan bagian dari wilayah Sumatera Utara. Dalam ketetapan itu disebutkan tentang tata cara pemilihan kepala gampong (keuchik/geuchik). Setelah Daerah Istimewa Aceh menjadi Propinsi berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 yang realisasinya tanggal 27 januari 1957, maka dalam perkembangannya pada tahun 1961 hal mengenai peraturan tentang memilih, mengakui dan memberhentikan kepala gampong (keuchik/geuchik) di Daerah Istimewa Aceh ditetapkan suatu keputusan baru yaitu berdasarkan Keputusan Gubernur KDH Istimewa Aceh (urusan pemerintahan umum dan pusat) No.32/GA/1961.
Keputusan ini di antaranya mencabut semua peraturan tentang memilih, mengakui dan memberhentikan kepala-kepala gampong (keuchik/geuchik) yang bertentangan dengan peraturan Gubernur KDH Sumatera Utara No.30/U.U/1953 tanggal 30 Mei tentang memilih, mengakui dan memberhentikan kepala-kepala gampong (keuchik/geuchik) di dalam Daerah Propinsi Sumatera Utara yang dianggap tidak sesuai lagi. Dalam keputusan itu juga ditetapkan mengenai peraturan tentang memilih, mengakui, dan memberhentikan kepala-kepala gampong (keuchik/geuchik) di Daerah Istimewa Aceh saat itu (sekarang Provinsi Aceh). Dengan demikian segala hal yang menyangkut tentang pemilihan, memberhentikan dan mengakui seorang kepala gampong didasarkan atas keputusan No.32/GA/1961.
Aparat-aparat atau unsur-unsur pemerintahan gampong lainnya seperti Teungku Meunasah (Teungku Imeum), Tuha Peut, Waki Keuchik/geuchik, pemilihannya juga dilakukan secara musyawarah. Tentang jabatan Waki Keuchik/geuchik (wakil kepala kampung) meskipun baik dalam peraturan Gubernur Kepala Daerah Sumatera Utara No.30/U.U/1953 maupun keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Nomor 32/GA/1967, menyebutkan bahwa wakil kepala kampung adalah orang yang ditunjuk oleh kepala kampung bersangkutan untuk mewakili dirinya dalam hubungan dengan masyarakat di kampung itu atas jaminan dan tanggung jawab dari kepala kampung itu sendiri, tetapi dalam prakteknya hal ini juga jarang terjadi.
Pada masa Orde Baru, penyelenggaraan pemerintahan berlangsung secara sentralistik, yang diikuti dengan politik hukum univikasi untuk seluruh wilayah Indonesia. Sehingga, dengan paradigma seperti ini, maka sistem pemerintahan di daerah diupayakan berlangsung secara seragam se-Indonesia. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah, dan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang mengatur tentang pemerintahan desa (pasal 3) termasuk cara pemilihan pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah (pasal 4, 5 dan pasal 9), maka semua keputusan dan instruksi-instruksi yang pernah dikeluarkan sebelumnya oleh pemerintah Daerah tentang hal itu, dengan sendirinya harus disesuaikan atau bahkan tidak berlaku lagi. Dan hal yang berhubungan dengan pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian kepala-kepala kampung/desa untuk seluruh daerah di Indonesia termasuk dalam wilayah Aceh seharusnya didasarkan atas Undang-Undang nomor 5 Tahun 1979 itu.
Seiring dengan berjalannya proses reformasi sistem pemerintahan di Indonesia, pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan telah diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini memberikan semangat baru untuk menghidupkan kembali sistem adat dan kelembagaan pada tingkat gampong di Aceh.
Khusus bagi Aceh, dalam rangka penyelesaian konflik, Pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Penyelenggaraan keistimewaan tersebut menurut Pasal 3 ayat (2) meliputi:
- penyelenggaraan kehidupan beragama,
- penyelenggaraan kehidupan adat,
- penyelenggaraan pendidikan, dan
- peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
Dan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan desa masalah struktur masyarakat gampong perlu difungsikan kembali seperti sebelum adanya Undang-Undang No.5 Tahun 1979. Pelaksanaan Undang-Undang baru harus diterapkan sesuai dengan situasi masyarakat Aceh yang memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Dengan demikian, harapan untuk memperbaiki kembali struktur masyarakat gampong di Aceh dapat tercapai. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) di ganti dengan Undang – Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) sehingga semakin memperkuat keberadaan kekhasan pemerintahan desa (gampong) di Aceh.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Pemerintah Aceh merupakan undang-undang yang selain memberikan keuntungan yang cukup luas kepada pemerintah Aceh dalam hal mengurus dan membangun daerah yang sesuai dengan aspirasi dan sumber daya yang ada. Undang-undang ini juga memberikan kesempatan kepada Pemerintah Aceh untuk menghidupkan dan memajukan lembaga adat yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Salah satu bentuk lembaga pemerintah yang mendapat perhatian khusus yakni pemerintahan terendah yang dikenal di Aceh dengan sebutan Gampong.
Dalam Pasal 1 angka 20 UU No. 11 tahun 2006 disebutkan,
”gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim dan dipimpin oleh geuchik atau nama lain yang berhak menyelenggara urusan rumah tangga sendiri”.
Ketentuan yang mengatur gampong dan perangkatnya dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 diatur dalam Pasal-pasal 115, 116 dan 117.
Keberadaan Gampong itu sendiri dipimpin oleh seorang Geuchik atau Kepala Desa yang berkedudukan sebagai Kepala Badan Eksekutif sebagaimana ditegaskan dalam Qanun No. 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong. Dalam pasal 11 Qanun tersebut ditegaskan,
”Geuchik adalah kepala badan eksekutif Gampong dalam penyelenggaraan pemerintahan Gampong. Geuchik dipilih langsung oleh penduduk Gampong melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil".
Kota Langsa tentang Pemerintahan Gampong diatur dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2010, yang merupakan penjabaran dari Qanun Provinsi NAD Nomor 5 Tahun 2003. Qanun ini masih berlaku sampai sekarang sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Desa di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disebut dengan Gampong. Sedangkan pemerintahannya disebut dengan Pemerintahan Gampong yang dipimpin oleh seorang Keuchik/Geucik. Pemerintahan Gampong adalah penyelenggara pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah gampong yaitu Keuchik/Geucik, Teungku Imum Meunasah, beserta Perangkat Gampong dan Badan Permusyawaratan Gampong yang disebut Tuha Peut Gampong. Dalam melaksanakan tugasnya keuchik/geucik dibantu perangkat gampong yang terdiri atas sekretaris gampong yang diangkat dari Pegawai Negeri Sipil dan perangkat gampong lainnya. Pemerintah gampong ini berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan gampong.
Berdasarkan Bab IV pasal 8 Qanun Kota Langsa no. 6 tahun 2010 tentang Pemerintahan Gampong, Geuchik mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan, dan penataan adat gampong berlandaskan Syari’at Islam.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), Geuchik mempunyai wewenang:
a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan gampong berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Tuha Peuet Gampong;
b. Mengajukan Rancangan Qanun Gampong;
c. Menetapkan Qanun Gampong (reusam) yang telah mendapat persetujuan Tuha Peuet Gampong;
d. Menyusun dan mengajukan rancangan Qanun Gampong tentang APBG untuk dibahas dan mendapat persetujuan bersama Tuha Peuet Gampong;
e. Menyusun RPJMG dan RKPG melalui musyawarah perencanaan pembangunan gampong;
f. Melaksanakan RPJMG dan RKPG yang telah ditetapkan;
g. Membina perekonomian gampong dan mengoordinasikan pembangunan gampong secara partisipatif;
h. Pemegang kekuasan pengelolaan keuangan gampong;
i. Mewakili gampongnya diluar dan didalam pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
j. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, dalam pemerintah gampong geuchik mempunyai kewajiban yaitu, melaksanakan Syariat Islam, memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; meningkatkan kesejahteraan masyarakat; memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; melaksanakan kehidupan demokrasi; melaksanakan prinsip tata pemerintahan gampong yang bersih dan bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme; menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan; menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan; menyelenggarakan administrasi pemerintahan gampong yang baik; melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan gampong; melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan gampong; mendamaikan perselisihan masyarakat di gampong; mengembangkan ekonomi masyarakat di gampong; membina, melestarikan dan melaksanakan nilai-nilai sosial, seni budaya, adat, dan adat istiadat berlandaskan Syari’at Islam; memberdayakan masyarakat, lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat di gampong; mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup; dan membuat nota tugas kepada sekretaris gampong apabila Geuchik menjalankan tugas luar atau perjalanan dinas.
Gampong Peukan Langsa merupakan salah satu gampong yang berada di kecamatan Langsa Kota, Kota Langsa. Gampong Peukan Langsa adalah gampong perkotaan yang berada di pusat Kota Langsa. Penataan kehidupan masyarakat gampong maupun pemerintahan gampong dipimpin oleh Keuchik/Geucik selaku pemerintahan gampong untuk menjalankan roda pemerintahan gampong. Dalam penyelengaraan pemerintahan gampong, Geuchik Gampong Peukan Langsa bekerja berdasarkan Qanun Kota Langsa no. 6 tahun 2010 tentang Pemerintahan Gampong. Menyusun, merencanakan, dan melaksanakan kebijakan-kebijakan pembangunan gampong dan kebijakan lainnya adalah tugas utama seorang geuchik dalam memajukan dan memberikan keadaan yang lebih baik di gampong.
Maka perlu partisipatif masyarakat gampong dalam mendiskusikan, merencanakan, dan melaksanakan kebijakan-kebijakan yang ada di gampong dalam rangka menuju kemajuan gampong. Akan tetapi disatu sisi, Gampong Peukan Langsa adalah gampong yang notabenenya adalah gampong perkotaan. Dinamika kehidupan masyarakat gampong lebih didominasi oleh kesibukan-kesibukan pribadi masyarakat gampongnya dalam mengais rezeki. Sehingga tingkat partisipatif masyarakat gampong dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan gampong sangat kurang. Seharusnya dalam merencanakan, merumuskan, dan melaksanakan kebijakan-kebijakan gampong sangat dibutuhkan partisipatif masyarakat gampong menuju kemajuan gampong Peukan Langsa.
Dalam penjelasan Qanun Kota Langsa no. 6 tahun 2010 tersebut, maka seyogyanya geuchik harus mampu berbuat dan menganyomi masyarakat gampong dalam rangka peningkatan partisipatif masyarakat dalam pengembangan dan pembangunan gampong. Peran geuchik untuk kemajuan gampong adalah pangkuan utama masyarakat menuju gampong yang lebih baik. Sehingga di anggap perlu, geuchik semestinya membuka partisipasi masyarakat gampong dalam merumuskan dan merencanakan berbagai hal kepentingan gampong baik program pembangunan gampong dan sebagainya. Dengan demikian diharapkan Geuchik dapat berperan dalam mengajak masyarakat untuk menghasilkan suatu rencana dalam merumuskan dan menentukan kebijakan pembangunan gampong dan kebijakan-kebijakan berbagai hal lainnya untuk kemajuan gampong.