Orang Kuat (Strong Man) Dalam Politik Lokal

fenomena strong man, elit lokal, desentralisasi, politik daerahJoel S. Migdal merujuk kemunculan local strongman, salah satu sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki diantaranya adalah dari kekayaan yang dimiliki oleh pimpinannya sebagai tuan tanah atau orang kaya. Migdal mencoba menerangkan tentang orang kuat lokal yang berhasil melakukan kontrol sosial. Dalam konteks ini, Migdal mengatakan:

”... Mereka berhasil menempatkan diri atau menaruh anggota keluarga mereka pada sejumlah jabatan penting demi menjamin alokasi sumber-sumber daya berjalan sesuai dengan aturan mereka sendiri ketimbang menurut aturan-aturan yang dilontarkan dalam retorika resmi, pernyataan kebijakan, dan peraturan perundang-undangan yang dibuat di ibu kota atau dikeluarkan oleh pelaksana peraturan yang kuat”.

Mengenai fenomena orang kuat lokal tersebut, Migdal memiliki tiga argumentasi yang saling berkaitan, yaitu:

Pertama, Orang kuat lokal tumbuh subur di dalam masyarakat ”mirip jaringan” yang digambarkan sebagai ”sekumpulan campuran (melange) organisasi-organisasi sosial nyaris mandiri” dengan kontrol sosial yang efektif ”terpecah-pecah”. Pola kontrol sosial khusus terpecah-pecah ini, menurut dugaan, acapkali diakui melebur dalam pemerintahan kolonial dan penyatuannya di dalam perkuburan kelas-kelas pemilik tanah besar. Singkat kata, berkat struktur masyarakat mirip jaringan, orang kuat lokal memperoleh pengaruh signifikan jauh melampaui pengaruh para pemimpin negara dan para birokrat lokal yang digambarkan Migdal sebagai ”segitiga penyesuaian”.

Kedua, Orang kuat lokal melakukan kontrol sosial dengan menyertakan beberapa komponen penting yang dinamakan ”strategi bertahan hidup” penduduk setempat. Dengan kondisi seperti itu, orang kuat bukan saja memiliki legitimasi dan memperoleh banyak dukungan di antara penduduk lokal, tetapi juga hadir untuk memenuhi kebutuhan pokok dan tuntutan para pemilih atas jasa yang diberikan. Para penulis yang diilhami Migdal cenderung membingkai diskusi mereka dengan istilah ”personalisme”, ”klientisme”, dan ”hubungan patron-klien”. Pola ini kemudian juga terjadi karena orang kuat lokal ditempatkan sebagai patron yang memberi kebaikan personal bagi klien yang melarat dan para pengikut di daerah kekuasaan mereka.

Ketiga, berhasilnya orang kuat lokal ”menangkap” lembaga-lembaga dan sumber daya negara merintangi atau menyetujui upaya pemimpin negara dalam melaksanakan berbagai kebijakan. Orang kuat lokal membatasi otonomi dan kapasitas negara, penyebab kelemahan negara ”dalam menjalankan tujuan berorientasi perubahan sosial, serta memperbesar ketakterkendalian dan kekacauan. Sepanjang keberhasilan strategi industrialisasi dan pertumbuhan amat tergantung pada penyusunan dan pelaksanaan kebijakan negara yang saling bertautan efektif.

Dalam posisinya sebagai pelaku, elit politik lokal sangat mungkin memperoleh pembatasan (constraining) atau pemberdayaan (enabling) dari struktur (structure). Struktur yang ada terbuka kemungkinan untuk dimaknai secara berbeda oleh elit politik lokal yang berasal dari berbagai kalangan. Elit politik lokal dari kalangan tertentu dapat memberi makna struktur yang ada sebagai pembatasan; namun bagi elit politik lokal dari kalangan berbeda struktur tersebut dimaknai sebagai pemberdayaan.

Adapun elit politik lokal yang dimaksud adalah mereka yang menduduki posisi jabatan politik di ranah lokal. Perjalanan sejarah mencatat bahwa posisi mereka sebagai elit politik lokal mengalami ‘pasang naik’ dan ‘pasang surut’ paralel dengan perubahan yang terjadi. Mereka yang pada rentang waktu tertentu mengalami pembatasan dari struktur yang ada, berubah nasibnya menjadi mengalami pemberdayaan pada kurun waktu yang lain. Demikian pula ada di antara mereka yang semula mengalami pemberdayaan berubah menjadi mengalami pembatasan dari struktur.

Proses desentralisasi di negara berkembang seperti yang terjadi di Indonesia kerapkali disamakan dengan proses demokratisasi dan tumbuhnya civil society. Padahal ketiga proses tersebut merupakan proses yang berbeda. Pergeseran dari pemerintahan yang menerapkan sentralisasi kekuasaan ke pemerintahan yang menerapkan desentralisasi kekuasaan tidaklah sama artinya dengan peralihan dari pemerintahan yang otoriter ke pemerintahan yang demokratis. Pergeseran dari pemerintahan yang menerapkan sentralisasi kekuasaan ke pemerintahan yang menerapkan desentralisasi kekuasaan juga tidak secara otomatis menyiratkan terjadinya pergeseran dari negara yang kuat beralih menjadi civil society yang kuat. Melemahnya negara di tingkat pusat tidak secara otomatis menghasilkan demokrasi yang bertambah di tingkat lokal. Desentralisasi dalam kondisi tertentu justru bisa diikuti oleh pemerintahan yang otoriter.

Joel S. Migdal (2004) melihat fenomena diatas sebagai akibat bertahannya pengaruh “orang kuat lokal” di arena politik lokal. Kekuatan pengaruh dari “orang kuat lokal” bersumber dari terbentuknya segitiga akomodasi yang dibangun oleh aliansi “orang kuat lokal” bersama aparat birokrasi negara di tingkat lokal dan politisi di tingkat lokal. “Orang kuat lokal” berhasil menempatkan diri berada diantara rakyat dengan sumber daya yang vital seperti tanah, kredit dan pekerjaan. “Orang kuat lokal” memiliki kemampuan memberikan jaminan kestabilan politik di tingkat lokal dan melakukan kontrol sosial atas rakyat setempat. “Orang kuat lokal” juga memiliki kemampuan dalam memobilisasi rakyat.

Vedi R. Hadiz (2010) juga melakukan analisa mengenai fenomena “orang kuat lokal”, mesin politik lokal yang korup dan daya tahan beberapa kelompok otoritarian di kawasan Asia Tenggara yang sedang mengalami reformasi politik seperti Filipina, Thailand dan Indonesia. Justru melalui slogan tata pemerintahan yang baik, desentralisasi memberikan jalan bagi kebangkitan dan konsolidasi “orang kuat lokal”. Secata nyata desentralisasi telah dibajak oleh kepentingan predatoris atau penghisap lokal.

Dalam menganalisis interaksi kekuasaan antar elit politik di tingkat lokal terutama di perkotaan ada beberapa kesamaan pandangan tentang kekuasaan dianggap relevan. Setidaknya ada dua hal yang harus dianalisis. Pertama, aktivitas politik setiap elit atau kelompok elit dalam memperebutkan sumber-sumber, posisi, dan jabatan yang langka dalam masyarakat. Kedua, dalam memperebutkan kekuasaan politik, elit atau kelompok elit akan menghadapi dua kondisi, yakni konflik atau konsensus. Di satu sisi, elit akan menghadapi perbedaan, persaingan, dan pertentangan dengan elit politik lainnya. Namun, di sisi lain juga memungkinkan terjadinya kerjasama atau konsensus di antara elit politik. Terjadi tawar-menawar antar elit politik yang saling menguntungkan, sehingga kebutuhan dan kepentingan setiap elit politik terakomodasi.

Aspek fisik karena para pimpinan organisasi pemuda itu sering sekali menggunakan senjata
sebagai kekuatan ancaman terhadap orang lain (premanisme). Dari sisi ekonomi, kekuasaan diperoleh dengan memberikan pekerjaan kepada para pemuda yang tidak memiliki pekerjaan sebagai penjaga keamanan, petugas parkir atau sebagai penjual lotre (perjudian) seperti KIM, togel dan lain sebagainya. Fenomena tersebut hampir mirip dengan teori local strongmen yang dikemukakan oleh Migdal serta teori John T. Sidel tentang Bossism.

Konsep Local Bossism, John T. Sidel
Berbeda dengan Migdal, Sidel melihat bahwa fenomena yang disebutnya sebagai Bosisme merefleksikan strong state dibandingkan strong society. Ia melihat bosisme menunjukkan peran elit lokal sebagai predatory broker politik yang memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan koersif (tekanan) dan sumber daya ekonomi dalam wilayah teritorial mereka. Bosisme beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman.

Berkembangnya bossism lokal tersebut di sisi lain menunjukkan ketiadaan salah satu nilai-nilai demokrasi yang hendak dicapai dengan penerapan kebijakan desentralisasi, yaitu political equality. Konsep ini menyangkut tiga macam hubungan yaitu antarpemerintah (intergovernmental relation), antara negara dan masyarakat (state society relation); dan antara masyarakat dan masyarakat (society-society relation). Hubungan antarpemerintah meliputi kesetaraan antarlevel pemerintahan, baik secara vertikal maupun horizontal, dalam kewenangan mengatur dan mengurus. Penyelenggaraan pemerintahan daerah akan semakin kuat jika ada kesetaraan antara kewenangan dengan sumber keuangan yang dimiliki, kejelasan kewenangan antarberbagai tingkat pemerintahan, dan sebagainya. Hubungan antarnegara dan masyarakat merupakan refleksi dari daya tawar masyarakat terhadap berbagai keputusan yang diambil lembaga pemerintahan.

Fenomena Strong Man di Thailand dan Filipina
Fenomena dominasi “orang kuat lokal” berlangsung di Thailand era desentralisasi. “Orang kuat lokal” di Thailand berbentuk para “bapak pelindung” (Godfathers). Para godfathers atau dalam bahasa Thai disebut sebagai chao pho dikenal sebagai sosok yang kejam dan bengis terhadap musuhnya dan penyayang dan dermawan bagi pengikutnya. Di setiap provinsi di Thailand memiliki masing-masing chao pho. Salah satu chao po yang terkenal adalah Banharm Silpaarcha, penguasa Provinsi Suphanburi. 

Banharm Silpaarcha menjadi anggota parlemen berkali-kali sejak tahun 1967 dengan perolehan suara 60-90 % suara pemilih. Banharm Silpaarcha juga pernah tiga kali menjadi menteri dan sekali menjadi Perdana Menteri di Thailand. Berasal dari keluarga pedagang kecil, Banharm Silpaarcha berhasil membangun jejaring politik dan jejaring ekonominya di Provinsi Suphanburi. Keberhasilannya terutama ditopang oleh aktvitasnya dalam mengatur dan mendapat komisi dari berbagai macam proyek pemerintah. Banharm Silpaarcha kerap melakukan mobilisasi Pegawai Negeri Sipil dan melakukan politik uang dalam pemilihan umum. Bahkan chao pho lainnya menggabungkan strategi penguasaan melalui politik uang dengan penggunaan kekerasan dan bisnis yang ilegal.

Fenomena “orang kuat lokal” juga menguat di arena politik lokal di Filipina, meski terjadi perubahan dari sentralisasi rezim yang otoriter ke desentralisasi rezim yang demokratis. Secara formal jatuhnya rezim Ferdinan Marcos membawa negara Filipina sejak tahun 1986 kembali menggunakan demokrasi sebagai satu-satunya aturan main. 

Demokratisasi dan desentralisasi yang dilakukan pemerintahan Corazon Aquino dan Fidel Ramos sebagai pengganti Ferdinan Marcos ternyata tidak mengganggu dominasi para “bos lokal” dan keluarganya dalam penguasaan politik di tingkat lokal. Mereka tetap berkuasa dalam sistem yang lebih demokratis. Indikasinya diperlihatkan melalui kemenangan kembali keluarga politik Durano di Provinsi Cebu dan keluarga politik Ali Dimaporo di Provinsi Lanao.

Konfigurasi politik nasional Filipina pasca Ferdinan Marcos tetap dibangun dari jejaring “orang kuat lokal” yakni para “bos lokal”. Demikianpula para aktor politik utama di pentas nasional merupakan aliansi para “bos lokal”. Mayoritas aktor politik nasional merupakan mantan penguasa lokal. Keluarga Macapagal, Keluarga Aquino (Conjuanco) dan keluarga mantan Presiden Filipina lain merupakan nama-nama keluarga yang sebelumnya menjadi “bos lokal” di Filipina.

Orang Kuat di Era Desentralisasi 
Sejatinya studi yang berkaitan dengan elit lokal telah dilakukan oleh beberapa kalangan, antara lain dilakukan oleh Abdur Rozaki (2004) dan Abdul Hamid (2006) . Studi tersebut memfokuskan pada peran yang dilakukan oleh elit lokal di tengah masyarakat, dan hubungan ‘patronage’ yang tercipta dalam kaitannya antara elit dengan massa. Studi tersebut juga menunjukkan hadirnya kekuasaan oligarkhis yang terbangun pada diri elit lokal yang sedemikian kokoh sehingga sulit untuk dikontrol oleh massa. 

Menyusul tumbangnya rezim Orde Baru pada bulan Mei 1998, sistem politik mengalami perubahan dan era reformasi memberi peluang bagi berlangsungnya demokratisasi di Indonesia. Proses demokratisasi yang salah satunya terjewantahkan penerapan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah membawa dampak yang mengguncang keberadaan dan peran elit politik lokal yang telah mapan sepanjang rezim Orde Baru berkuasa. 

Di era demokratisasi dan desentralisasi untuk memperebutkan dan mempertahankan posisi sebagai elit politik lokal harus dilakukan melalui proses kompetisi yang relatif ketat di antara individu-individu yang mengincar posisi tersebut. Hal ini tidak terjadi pada saat rezim Orde Baru berkuasa, di mana peran negara sedemikian dominan, kemunculan dan peran elit politik lokal tidak bebas dari campur tangan pemerintah. 

Pada era otoritarian Orde Baru elit politik lokal lebih sering memainkan peran untuk mewujudkan kepentingan pemerintah pusat ketimbang merealisasikan kepentingan dan kebutuhan daerah. Elit politik lokal cenderung melakukan peran sebagai perpanjangan tangan negara, dalam hal ini pemerintah pusat, untuk mengkooptasi masyarakat sangat berkepentingan dalam hal memilih dan menentukan peran yang diemban oleh elit politik lokal. Keadaan tersebut di atas mengindikasikan bahwa sepanjang rezim Orde Baru mengendalikan roda pemerintahan, keberadaan dan peran elit politik lokal lebih banyak ditopang dan tergantung pada negara.

Hal ini dapat berlangsung karena negara yang direpresentasikan oleh pemerintah pusat mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Besarnya kekuasaan tersebut, salah satunya ditandai dengan kuat dan dominannya peran Kantor Kepresidenan, menjadikan segala urusan penyelenggaraan pemerintah sangat tergantung pada pemerintah pusat (Gaffar, 1999:150-152).

Runtuhnya rezim otoritarian Orde Baru pada tahun 1998 menandai mulainya perubahan peta politik Indonesia, dan dapat dibaca sebagai titik awal pelemahan peran negara di satu sisi dan menguatnya kontrol masyarakat pada sisi yang lain. Seiring berlangsungnya perubahan peta politik tersebut, keberadaan dan peran elit politik lokal tidak lagi sepenuhnya ditopang dan tergantung negara. Di era demokratisasi mereka mempunyai kesempatan untuk tidak lagi berperan sebagai perpanjangan tangan negara (pemerintah pusat).

Desentralisasi tidak otomatis meningkatkan politik ke arah yang lebih demokratis. Seringkali desentralisasi menjadi kontraproduktif bagi demokrasi. Dibutuhkan banyak usaha agar sistem politik yang telah terdesentralisasi benar-benar mendedikasikan diri untuk kepentingan rakyat dan mencegah kekuatan kelompok dominan dengan kemampuan fisiknya memanipulasi proses pemilihan umum di tingkat lokal. Tidak mengherankan apabila muncul fenomena “mafia-mafia” dalam pemerintahan lokal yang semakin menjauhkan rakyat dari proses politik.

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, menarik untuk mencermati keberadaan dan peran elit politik lokal. Tumbangnya rezim Orde Baru menghadirkan ruang yang lebih luas bagi elit politik lokal untuk mengekspresikan keberadaan dan perannya yang sebelumnya terkungkung dominasi pemerintah. Melemahnya peran negara yang diikuti dengan berkembangnya situasi kondusif bagi demokratisasi, menjadikan elit politik lokal berupaya secara mandiri untuk tetap dapat ‘survive’. Elit politik lokal harus mampu membangun pijakan baru sebagai basis kekuasaannya untuk menopang posisinya, hal ini karena mereka tidak mungkin lagi menyandarkan diri pada negara yang semakin lemah kontrolnya.

Desentralisasi di negara berkembang dalam prakteknya terkadang dipenuhi dengan konflik ekonomi, problem kinerja dan masalah korupsi. Elit di tingkat lokal lebih berhasil memanfaatkan desentralisasi dengan menguasai berbagai kelompok kepentingan ketimbang aktor-aktor lainnya. Arena elektoral yang kecil di tingkat lokal dijadikan ajang konsolidasi dan bertahannya kelompok otoritarian.

Beberapa peneliti Institute of Asian Studies yang berbasis di Hamburg, Jerman melakukan penelitian mengenai demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia pasca Orde Baru. Hasilnya menurut mereka ada beberapa kecenderungan yang terjadi di dalam desentralisasi di Indonesia. 

Desentralisasi memberikan efek samping meningkatnya korupsi di daerah, meningkatnya politik uang, meningkatnya konsolidasi oligarki lokal, meningkatnya penggunaan sektarianisme dan kebangkitan primordialisme. Melalui intimidasi, diskriminasi dan kekerasan politik, desentralisasi berhasil dimanfaatkan oleh oligarki elit lokal. Oligarki elit lokal tersusun dari birokrat karir, pengusaha kaya, politisi partai dan anggota DPRD. 

Fenomena kemunculan “orang kuat lokal” di era desentralisasi juga berlangsung di Indonesia. Hampir semua pengamat dan pemerhati Indonesiasepakat bahwa desentralisasi telah melahirkan “orang kuat lokal” yang memiliki akar di daerah. Politik uang dan kekerasan kian mewarnai pertarungan politik lokal. “Orang kuat lokal” mengandalkan agen-agen kekerasan yang secara kultural sudah ada sebelumnya seperti jawara di Banten atau dengan membentuk milisi-milisi baru. Selain memperalat partai politik, “orang kuat lokal” di beberapa daerah juga melakukan mobilisasi dengan mengeksploitasi politik etnis dan agama. Kekuatan politik etnis jauh lebih relevan di tingkat daerah ketimbang di tingkat nasional. Demikian juga hubungan darah, klan dan keluarga.

Politik lokal di Indonesia era desentralisasi menjadi ajang elit lokal memanfaatkan demokrasi elektoral untuk mengamankan jabatan eksekutif dan legislatif tingkat lokal kepada keluarga, kroni dan loyalis mereka. Beberapa “klan politik” berhasil menjadikan Provinsi ataupun Kabupaten/Kota sebagai daerah kekuasaannya dan menjauhkan desentralisasi dari demokrasi “akar rumput”. Kemampuan elit lokal tersebut ditunjang oleh kekayaan dan kemampuan politiknya untuk melakukan pembelian suara ataupun memanipulasi kesetian relijius dan etnik masyarakat setempat.

Maka demikian, perubahan sistem politik dari corak otoritarian menjadi demokratis membawa konsekwensi perubahan pada struktur yang ada. Jika semula, pada era otoritarian Orde Baru, struktur yang ada dimaknai sebagai pembatas atau pengekang bagi elit politik lokal tertentu, maka pada era reformasi yang kuat nuansa demokrasi, struktur yang ada tidak lagi dimaknai sebagai pembatas atau pengekang bagi elit politik lokal tersebut. Struktur baru yang ada pada sistem politik yang demokratis sekarang ini dapat dinyatakan memberi peluang yang sedikit banyak ‘memanjakan’ elit politik lokal yang akan memainkan perannya di dalam kancah perpolitikan era desentralisasi.

Kebijakan Dan Hukum Media

Kebijakan, Hukum, Media Massa, Etika MediaSuatu kebijakan memperlihatkan bentuk perhatian dari pemerintah dan juga masyarakat tentang bagaimana membentuk dan mengatur aktivitas sosial, politik, budaya, dan ekonomi, termasuk aktivitas media agar dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan umum.

Sedangkan hukum, secara legal dan formal mengikat peraturan yang telah disahkan oleh badan pembuat Undang-undang, dilaksanakan oleh kekuatan eksekutif, dan proses hukumnya diatur oleh pengadilan. Kebijakan seringkali berubah menjadi hukum, agar kebijakan tersebut dapat menjadi sesuatu yang legal dalam mengikat seseorang dan perusahaan. Hukum dalam jurnalistik adalah aturan tertulis yang melindungi hak dan kewajiban jurnalistik yang bersumber dari nilai-nilai sosial, norma budaya dan kebutuhan kolektivitas dalam suatu negara dan kelompok masyarakat.

Di Amerika, kebijakan pemerintah diperoleh dari wakil rakyat yang dipilih dalam kongres atau badan pembuat undang-undang, yang ditetapkan hakim kepada berbagai pengadilan. Badan hukum juga membuat kebijakan berdasar pada keputusan mereka sendiri, seperti jenis jasa apa yang yang ditawarkan dan berapa harganya.  Beberapa institusi yang penting dalam proses pembuatan kebijakan, antara lain: The Federal Communications Commission (FCC) yaitu komisi yang mengatur sebagian besar aspek komunikasi, The National Telecommunication and Information Administration (NITA) yaitu badan yang melindungi beberapa aspek dari kebijakan penelitian dan kebijakan Internasional, dan The Federal Trade Commission (FTC) yaitu komisi yang memonitor kegiatan perdagangan dan bisnis.
Kongres mengesahkan hukum tentang komunikasi. Departemen Kehakiman dan Sistem Peradilan, terutama Pengadilan wilayah Federal melaksanakan dan mengartikan hukum yang ada.

Terdapat dua pengertian hukum. Yakni Hukum dalam arti materiil dan hukum dalam arti formil. Dalam arti materiil, hukum adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat umum dan mengikat secara umum. Dalam arti formil, hukum adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat umum dan mengikat secara umum.

Perundangan memiliki dua pengertian. Pertama, merupakan proses pembentukan peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kedua, merupakan segala peraturan negara yang dihasilkan dari pembentukan peraturan-peraturan baik ditingkat pusat maupun daerah (Masduki, 2006).

Tiga prinsip dasar pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu:

Prinsip Yuridis: UU dapat muncul karena atribusi maupun delegasi dari aturan yang lebih tinggi misalnya konstitusi atau TAP MPR. Contoh: UU Penyiaran pengganti UU No. 24 tahun 1997 telah mendapat mandat untuk dibuat dari UUD 1945 yang diamandemen, TAP MPR yang memuat jaminan tehadap kebebasan informasi dan adanya kekurangan pengaturan pada UU Pers No. 40 tahun 1999 maupun UU No. 24/1997. Baik UUD 1945 maupun TAP MPR No. XVII/1999 belum secara rinci mengatur kehidupan penyiaran karena sifat keduanya yang begitu makro dan abstrak.

Prinsip Sosiologis: Kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Prinsip ini dimaknai secara komprehensif dengan melihat aktor-aktor yang terlibat dan kepentingan yang diakomodasi, bukan hanya menyangkut perluasan representative democracy melalui DPR/DPRD tetapi juga partisipatory democracy, sejauh mana partisipasi publik itu terserap sesuai dengan tuntutan dan juga harapannya.

Prinsip Filosofis: Setiap pembentukan peraturan perundangan mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan apa yang dapat mereka harapkan dari hukum yang akan dibentuk, misalnya sebagai sarana mencari keadilan, ketertiban dan kesejahteraan. 

Meski demikian, menurut Masduki (2006), hukum adalah produk atau kristalisasi normatif dari kehendak-kehendak publik yang saling bersaing sehingga produk hukum memiliki karakter yang sesuai konfigurasi publik yang melahirkannya. UU sebagai produk hukum tidak berada di “ruang hampa”. Ia merupakan hasil dari proses politik dan ekonomi sehingga karakternya diwarnai konfigurasi kekuatan politik dan ekonomi yang melahirkannya.

Hak Sumber Berita Menurut Hukum Media
Sumber berita pada dasarnya merupakan bagian masyarakat yang berada di luar pers (bukan pengelola pers), yang informasi atau tidakannya sering dijadikan obyek pemberitaan. Mereka bisa berupa kalangan elite politik, birokrat pemerintah, pengusaha, manajer manajer suasta, pimpinan ormas, aktivis LSM, aktivis mahasiswa, pengamat, aktivis buruh, maupun kelompok masyarakat lainnya.

Ada beberapa hak yang dimiliki sumber berita, berdasar UU no 40 tahun 1999:
1. Hak Jawab (pasal 5, ayat 2)
Yaitu, hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

2. Hak Koreksi (pasal 5, ayat 3)
Yaitu hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

3. Hak mengadu kepada Dewan Pers
Apabila  orang atau sekelompok orang tersebut merasa diberitakan secara tidak benar, dan tidak mendapatkan tanggapan yang layak. Dan Dewan Pers akan memberikan pertimbangan dan upaya menyelesaikan pengaduan itu (pasal 15, ayat 2d).

4. Hak untuk  melaporkan kepada penyidik atau polisi
Apabila hak jawab tidak dilayani oleh pers yang bersangkutan. Berdasarkan ketentuan hukum pidana sebagaimana termuat pada pasal 18 ayat 2 UU no 40 tahun 1999, pers tersebut dapat didenda sebesar 500 juta rupiah.

5. Hak menuntut pers secara Hukum Perdata
Yaitu berupa somasi hingga penuntutan membayar ganti rugi, apabila pemberitaan pers benar-benar dirasakan merugikan sumber berita, karena kesalahan atau ketidakprofesionalan mereka  dalam memberitakan.

Sedangkan konsumen pers adalah semua orang atau masyarakat yang menggunakan jasa pers untuk pemenuhan kebutuhan komunikasinya. Mereka ini bisa berupa masyarakat umum, atau siapapun, yang penting dia merupakan orang yang biasa menggunakan  pers. Karena itu sumber berita-pun sebenarnya juga termasuk konsumen pers.

Menurut Undang-undang no 40 tahun 1999, konsumen pers mempunyai hak-hak sebagai berikut:
1. Hak masyarakat untuk tahu (pasal 6 ayat a)
Hak ini biasanya dikaitkan dengan hak masyarakat untuk mendapatkan berbagai informasi dari pers yang merdeka, pers yang tidak dikenakan penyensoran, pembreidelan atau pelarangan penyiaran. Hal demikian dapat dirunut pada pasal 4 ayat 2.

2. Hak memperoleh informasi yang tepat, akurat dan benar (pasal 9 ayat c) 
Mengenai hak ini, memang tidak secara eksplisit disebutkan sebagai hak masyarakat (konsumen pers), namun pada pasal 9 tersebut secara tegas pers nasional disebutkan melaksanakan peran untuk mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat dan benar.

3. Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan
Yaitu memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika dan kekeliruan  teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers (pasal 17 ayat 2). Menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers, dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional (pasal 2 ayat b).

Kemudian apabila konsumen pers ini, kebetulan menjadi obyek pemberitaan, atau diberitakan, atau mempunyai kepentingan dengan pemberitaan, merekapun memiliki hak sebagaimana yang dimiliki sumber berita.  Yaitu hak jawab, hak koreksi, hak mengadu pada Dewan Pers, hak melapor pada penyidik, ataupun juga memperkarakan secara perdata.

Hak Pers atas Sumber Berita
Selain hak, bagi sumber berita ataupun konsumen pers, menurut UU 40 tahun 1999 tersebut, pers juga mempunyai hak yang berkaitan dengan sumber berita dan masyarakat.

Adapun  beberapa pasal yang mengatur hak pers tersebut antara lain:
Pasal 4 ayat 2:
Menyebutkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembreidelan atau pelarangan penyiaran.

Pasal 4 ayat 3:
Menyebutkan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak  untuk mencari,  memperoleh,  dan  menyebarluaskan   gagasan  dan   informasi.

Pasal 6 bagian a:
Pers nasional berhak memenuhi hak masyarakat untuk tahu.

Pasal 6 bagian d:
Menyebutkan pers nasional berhak  untuk melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Pasal 4 ayat 4:
Menyebutkan, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum wartawan mempunyai Hak tolak, yaitu hak wartawan, untuk menolak mengungkapkan nama atau identitas sumber berita yang harus dirahasiakan.

Pasal 8:
Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.

Hak-Hak yang dimiliki oleh pers atau kalangan wartawan tersebut, khususnya untuk pasal 4 ayat 2 dan  3, apabila dilanggar oleh sumber berita, masyarakat, aparat ataupun subyek hukum yang lain, si pelanggar dapat dikenakan sanksi pidana. Sebagaimana hal itu dikemukakan dalam pasal 18 ayat 1, yaitu: Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksaanaan pasal 4 ayat 2 dan ayat 3, dipidana paling lama 2 tahun, atau denda paling banyak 500 juta.

Sedangkan pada pasal 8, kendati wartawan mendapatkan perlindungan hukum, namun apa yang tertera pada pasal 4 ayat 2 dan 3 yang diatur haknya itu adalah pers sebagai institusi, bukan wartawan sebagai perseorangan. Jadi jika terjadi pencekalan atau pengusiran terhadap seorang wartawan, sementara wartawan lain dari media yang sama diperbolehkan meliput, pasal 4 tersebut kesulitan untuk diberlakukan. Atau minimal membutuhkan interpretasi yuridis yang berani dari kalangan hakim hingga terbentuknya yurisprudensi.

Peraturan-peraturan sebagaimana diungkapkan di muka, amat perlu dipahami oleh semua pihak, baik para nara sumber, masayarakat sebagai konsumen pers, maupun kalangan wartawan sendiri. Bukan saja ini untuk meningkatkan profesionalisme wartawan agar dapat melaksanakan tugasnya dengan lebih baik, tapi juga menghindari kemungkinan terkena “ranjau hukum” atau the penalties the law impases upon him when he violetes the rights. Ranjau hukum ini harus dihindari termasuk juga oleh masyarakat dan para nara sumber.

Pasal  Yang Biasa Dipakai Menutut Pers

Pencemaran Nama Baik
Pada pasal 310 ayat 1 disebutkan “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda…”

Dalam ayat 2 ditambahkan “jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempel di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan penjara pidana paling lama satu tahun empat bulan…

Pencemaran nama baik, merupakan salah satu perbuatan pidana yang banyak terjadi. Delik ini berkaitan dengan pihak lain yang  merasa dirugikan oleh media massa makanya merupakan delik aduan. Biasanya media yang dituntut secara pidana telah melakukan pencemaran nama baik, juga digugat secara perdata untuk membayar kerugian materiil dan spiritual dengan nilai tertentu.  

Penyebaran Kabar Bohong
Undang-Udang no. 1 tahun 1946, menyebutkan bahwa barang siapa menyiarkan suatu berita atau pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan masyarakat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara selama-lamanya tiga tahun. Di sini ada kata dapat, berarti delik ini dapat diterapkan tanpa harus membuktikan betul-betul sudah terjadi keonaran.

Melanggar  asas praduga tak bersalah, serta tidak melayani Hak Jawab  
Pasal 18 ayat 2 UU no. 40 1999, perusahaan pers yang melanggar pasal 5  ayat 1 dan ayat  2 (kewajiban melayani hak jawab) dikenakan denda sampai 500 juta rupiah.

Pers Melakukan Pelanggaran Hukum
Pers dianggap melakukan tindakan melanggar hukum atau onrechtmatigedaad, yang diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Etika Media Massa

etika, media, massaKemerdekaan pers merupakan indikator demokrasi yang paling signifikan dari suatu sistem politik. Dengan kemerdekaan pers, kontrol terhadap  sistem politik, dan sistem sosial, dapat terjadi secara terus menerus, setiap hari, setiap saat. Secara teoretik kontrol dan kritik melalui pers tersebut akan menciptakan pemerintahan yang cerdas, bersih dan bijaksana. 

Kemerdekaan pers juga memunculkan keterbukaan atas berbagai peristiwa. Menjadikan masyarakat memperoleh berbagai informasi yang semakin transparan, termasuk yang dulu sulit diketahui melalui pers seakan sekarang tidak ada lagi hal yang sensitif untuk diberitakan, semua menjadi lumrah diketahui masyarakat. Kemerdekaan pers juga mempunyai konsekuensi menjadikan pers sebagai agen informasi yang semakin besar perannya dalam pembentukan opini publik.

Disadari atau tidak, diakui atau tidak, dalam alam yang memberikan jaminan pada kebebasan pers seperti sekarang, peran pengelola media atau wartawan menjadi  semakin signifikan. Para gate keeper informasi ini, tidak lagi harus “bersaing” dengan kekuatan struktur kekuasaan atau negara, dalam hal memutuskan informasi mana yang dipilih menjadi berita. Kebijakan pemberitaan, dan cara penyampaiannya menjadi semakin “independen” berada di ”pundak” para “pengelola media”. Kalaupun masih ada kekuatan luar yang kemungkinan menekan, arahnya lebih banyak berasal dari kekuatan pemilik modal, penyokong finasial atau kepentingan bisnis  mereka dan kelompok-kelompok masyarakat yang fanatis.

Sayangnya dalam kondisi bebas seperti sekarang, malah banyak media massa justru kehilangan pedoman dan prinsip paling dasar dari etika jurnalisme. Padahal ketika kebebasan itu tinggi, sebenarnya tuntutan akan penerapan etika juga akan semakin besar. Akibatnya, kebebesan pers sering dinilai kebablasan dan banyak memunculkan masalah di masyarakat.

Pentingnya Etika
Etika pada dasarnya merupakan aliran filsafat yang memfokuskan pada  ajaran moral. Secara etimologi etika berasal dari kata “ethos”  yang berarti watak kesusilaan atau adat. Identik dengan perkataan moral yang berasal dari bahasa latin yaitu “mos”, yang dalam bentuk jamaknya disebut “mores”.   Etika memberikan penekanan pada tindakan manusia, agar ada kesadaran moral, bersusila, dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Sekalipun tidak ada yang melihat, dengan etika,  tindakan yang bermoral selalu akan dilakukan. Sebab tindakannya didasarkan pada kesadaran, bukan karena keterpaksaan, atau pengaruh kekuasaan tertentu.

Pengertian etika menurut Altschull adalah bentuk dari nilai-nilai moral dan prinsip tentang benar dan salah (Shoemaker, 1996 : 95). Seperti apa itu nilai-nilai moral serta apa yang disebut dengan benar dan apa yang dikatakan dengan salah dapat dikatakan dipahami secara objektif maupun secara subjectif termasuk etika media.

Etika media dapat dipahami secara objectif karena dalam prakteknya media memiliki kode etik jurnalistik (dimana di dalamnya mengandung standard mengenai nilai-nilai moral serta prinsip benar dan salah dalam dunia jurnalistik) yang telah dibentuk oleh sebuah lembaga pers melalui kesepakatan dari anggota lembaga pers yang terdiri perwakilan dari para pekerja media. Kode etik jurnalistik diberlakukan dan diterima oleh semua pekerja media dimanapun dan kapanpun serta menjadi acuan bagi mereka ketika melakukan kegiatan jurnalistik.

Sebagai ajaran moral, etika berlaku bagi semua tindakan manusia, yang berimplikasi pada manusia lain. Atau dengan kata lain sepanjang suatu tindakan itu bisa berimplikasi pada orang lain, maka berlakulah ajaran moral yang namanya etika.  Salah satu pekerjaan yang berimplikasi pada orang lain adalah komunikasi. Komunikasi mempunyai implikasi kepada orang yang terlibat dalam proses transaksi pesan. Pesan yang salah atau tidak berdasarkan fakta, akan berimplikasi pada pemahaman yang salah pada orang lain yang diajak berkomunikasi. Terlebih lagi, jika pesan tersebut disampaikan melalui media massa, implikasinyapun akan ada pada orang yang semakin banyak. Bahkan bisa berpengaruh terhadap konteks yang lebih luas, baik itu menyangkut persoalan politik, ekonomi, maupun budaya. Nah disinilah mengapa suatu ajaran etika menjadi penting dalam dunia komunikasi massa.

Persoalannya, kapan suatu tindakan yang berimplikasi pada orang lain dikatakan tidak etis atau melanggar etika? Suatu tindakan dikatakan tidak etis itu tak lain apabila tindakan seseorang tersebut tidak sesuai dengan harapan (expectation) pihak lain.  Dalam konteks komunikasi melalui media massa, pihak lain ini adalah lingkungan sosialnya, yaitu khalayak yang menggunakan media tersebut.  Bukan lingkungan komunitas fisik di mana ia berasal, melainkan lingkungan sosial yang luas yang berhubungan dengan posisi sosialnya, yaitu sebagai pengelola media (wartawan). Dengan kata lain, seseorang yang bekerja di media massa dapat membedakan secara jelas antara kepentingan yang bertolak dari tuntutan pribadi atau komunitas fisiknya, dengan posisi sosial yang bertolak dari tututan lingkungan sosial yang luas (audience-nya), yang  menjadi dasar kehadiran atau eksistensi peran sosialnya.

Etika dapat dipahami secara subjektif karena apa yang dianggap baik dan buruk serta benar dan salah ditentukan oleh mencerminkan kebiasaan, tradisi dan kebudayaan masyarakat tertentu. Masyarakat di dunia ini merupakan masyarakat yang heterogen, dimana mereka memiliki budaya dan latar belakang yang berbeda. Adanya perbedaan dalam segi budaya, tradisi dan kebiasaan membuat apa yang diangap benar dan salah, baik dan buruk berbeda-beda antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain.
Praktik media bersinggungan dengan persoalan lying (kebohongan) dan deception (kecurangan). Kebohongan dan kecurangan merupakan wujud dari penindasan terhadap kebenaran. “Realitas” yang disampaikan media bisa menjadi rujukan publik dalam memahami peristiwa yang terjadi. Pesan yang “salah” berpotensi untuk menghasilkan tanggapan yang juga “salah”.

Dalam menyampaikan peristiwa kepada publik, media akan selalu bersinggungan dengan persoalan-persoalan:

Accuracy (Kecermatan)
Informasi yang disampaikan oleh media kepada publik merupakan informasi yang pasti dan tepat, baik dari segi isi (5W + 1H) maupun teknis. Teknis di sini misalnya adalah penulisan nama nara sumber, penulisan kutipan-kutipan pernyataan dari narasumber. Kita mengenal istilah cover both side atau lebih jauh cover all sidedimana semua elemen yang relevan dengan peristiwa yang diliput diberi porsi pemberitaan untuk tampil di media.

Keakuratan informasi mutlak harus dipenuhi oleh media karena berdampak pada kredibilitas media di mata publik. Media yang tidak akurat dapat kehilangan kredibilitas karena dianggap memberikan informasi yang salah kepada publik dan akhirnya akan kehilangan prestise. Untuk menghasilkan keakuratan informasi dibutuhkan verifikasi yang sesungguhnya oleh media. Adalah tidak etis jika media tidak akurat dalam menyampaikan berita karena berarti ia telah mengabaikan prinsip keadilan dan kesamaan kesempatan. Ketika media hanya memberitakan satu sisi dari sebuah peristiwa maka secara sengaja maupun tidak telah melebihkan satu pihak daripada yang lain.

Truthfulness (Kebenaran)
Informasi yang disampaikan kepada publik merupakan informasi yang sebenarnya atau sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Informasi yang disampaikan haruslah objectif. Menurut Kovach dan Rosentiel (dalam Santana, 2005:6) kebenaran adalah elemen pertama dari kinerja media. 

Kebenaran yang disampaikan bersifat fungsional bukanlah kebenaran religius, ideologis, atau konsep kebenaran dalam pandangan ahli filsafat. Kebenaran fungsional adalah kebenaran yang terus menerus dicari. Kegiatan media melaporkan kebenaran yang dapat dipercaya dan dimanfaatkan masyarakat. Sebagai contoh, menyampaikan kebenaran info harga barang, nilai mata uang dan hasil sebuah pertandingan.

Fairness (Kejujuran)
Jurnalisme yang pantas dan layak adalah jurnalisme yang jujur terhadap publik (Shoemaker, 1996 : 96). Jujur dalam mengungkapkan fakta, tanpa adanya manipulasi informasi dari wartawan atau lembaga berita.

Privacy (Keleluasaan Pribadi)
Pemberitaan yang dilakukan oleh media terkadang dengan privacy seseorang, terutama bila memberitakan seorang tokoh, artis, pejabat negara, atau masyarakat sipil lainnya yang menjadi objek berita. Oleh karena itu penting adanya kode etik untuk menghormati hak-hak pribadi seseorang.

Konsekuensi etis lainnya adalah patokan yang didasarkan pada nilai bertanggung jawab atau tidak bertanggung jawab atas “keberpihakan” yang dilakukan oleh media. Profesional media setiap hari menghadapi dilema etis di bawah tekanan pemilik, pesaing, pemasang iklan dan publik. Mereka memerlukan suatu cara berpikir tentang isu-isu etika yang akan membantu mereka membuat keputusan yang baik.

Seorang wartawan senior Atmakusumah menyatakan bahwa tuntutan terhadap pekerja media bukan hanya ketekunan bekerja atau ketrampilan teknis yang memadai. Lebih dari itu pekerja media dituntut untuk mencapai standar integritas sesuai dengan tanggungjawab dan kepercayaan yang diberikan sebagai wujud kebebasan pers (dalam Santana,2005:208).

Secara etis loyalitas media harus diberikan kepada siapa ketika mereka berhadapan dengan begitu banyak kepentingan di sekitarnya. Menurut Kovach dan Rosentiel (dalam Santana, 2005:7) untuk menjaga independensi media, maka loyalitas seyogyanya diberikan kepada masyarakat. Disini memaknakan pentingnya kemandirian awak media ketika menghasilkan produk komunikasi. Pada tataran idela seorang pekerja media harusnya bekerja diatas komitmen, keberanian, nilai yang diyakini, sikap, kewenangan dan profesionalisme yang muara mengarah pada tanggungjawab dan loyalitas terhadap masyarakat.

Sayangnya, batas-batas kapan suatu tindakan itu etis atau tidak itu amatlah abstrak. Artinya, ajaran etika itu bersifat samar, dan amat luas, sehingga harus dipahami melalui kajian yang kritis dan rasional. Nah, untuk memudahkan menangkap ajaran etika ini, kalangan profesi tertentu mencoba untuk merumuskan ajaran etika yang khas profesinya ke dalam ajaran yang konkrit, dalam bentuk aturan-aturan yang acapkali disebut sebagai kode etik.  Jadi kode etik jurnalistik merupakan rumusan etika yang tertulis yang berlaku bagi organisasi profesi kewartawanan yang merumuskan kode etik tersebut. Sementara etika komunikasi, merupakan ajaran moral yang aturan-aturannya masih merupakan kajian abstrak, dan luas, yang mengatur mengenai bagaimana komunikasi seharusnya dilakukan.

Kode Etik Wartawan Indonesia
Seperti halnya negara-negara lain, masyarakat pers Indonesia juga telah menyusun kode
etik jurnalistik. Kode etik jurnalistik di Indonesia sempat berkali-kali berganti, dan muncul dalam berbagai versi. Pada awalnya hingga pada masa Orde Baru, kode etik jurnalistik yang dikenal hanyalah kode etik yang dirumuskan oleh PWI, yang sudah beberapa kali diperbaiki.

Namun setelah reformasi, berbarengan dengan munculnya banyak organisasi kewartawanan, berkembang pula rumusan kode etik jurnalistik tersebut sesuai dengan ragam organisasi yang ada. Ada kode etik wartawan PWI, ada kode etik AJI, ada IJTI, dan sebagainya. Selanjutnya pada bulan Agustus 1999, sebanyak 22 organisasi kewartawanan sepakat merumuskan suatu kode etik jurnalistik “bersama”, yang  diberi nama Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI).

Kode Etik Wartawan Indonesia terdiri dari 7 pasal yang tujuannya untuk meningkatkan profesionalisme kerja wartawan Indonesia, sehingga dengan profesionalisme kerja tersebut tercipta fungsi media yang optimal bagi masyarakat, terhindar dari tindakan yang merugikan masyarakat, dan sekaligus melindungi profesi wartawan.

Adapun beberapa pasal kode etik tersebut adalah berbunyi sebagai berikut:

1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar. 
2. Wartawan Indonesia menempuh cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
3. Wartawan Indonesia menghormati azas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta
dan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat. 
4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi. 
6. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.
7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak Jawab.

Dengan mengikuti pedoman etika maupun yang sudah dirumuskan dalam kode etik. Media massa Indonesia akan semakin kredibel dalam liputannya.  Karena melalui penerapan kode etik tersebut indepedensi, akurasi dan fairness media massa akan lebih terjaga. Ini amat penting mengingat khalayak pada dasarnya memiliki daya ingat yang panjang sejauh menyangkut kesalahan fakta informasi dan pemihakan. Jika masyarakat tahu akan kesalahan dan pemihakan media, mereka akan mengingat hal itu selama bertahun-tahun. Jika kesalahan tersebut dilakukan berkali-kali, khalayak akan mempertanyakan setiap informasi yang disuguhkan, meskipun informasi itu sudah akurat dan benar.

Namun terkadang kode etik di atas perlu diterjemahkan dengan lebih luas untuk kebaikan jurnalisme. Misalnya kendati tidak disebutkan secara eksplisit dalam hal menjaga obyektivitas dan netralitas, tapi melalui prinsip-prinsip di atas, bisa pula diartikan bahwa, secara etis dituntut agar dalam setiap pemberitaannya,   suatu berita hendaknya berasal dari banyak sumber, bukan satu sumber untuk banyak berita. Wartawan harus menghindari sumber berita yang tidak mau disebutkan namanya tapi menyampaikan pesan yang rawan. Apalagi yang sudah tidak kredibel, karena pernah terbukti berbohong. Wartawan profesional tidak akan memilih pihak-pihak yang mereka sukai, ataupun menulis berita dengan tujuan balas dendam, atau hanya sekedar sensasi.

Kemudian dari 7 kode etik itu juga dapat ditarik kesimpulan bahwa, kecepatan bukan merupakan ukuran utama. Tidak ada gunanya memperoleh berita dengan cepat tapi tidak benar. Walau media harus bersaing dengan yang lain, hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar lebih penting dari pada sekedar mengejar kecepatan berita. Maka wartawan harus mengecek fakta yang akan diberitakan. Harus mendasarkan informasi dari orang yang  kompeten. Jika ada dua pihak yang harus dipertimbangkan, kedua belah pihak harus diberi kesempatan. Wartawan hendaknya tidak malas memeriksa ejaan, pengucapan nama,  jabatan, lokasi, ucapan kutipan, istilah-istilah yang dipakai. Kalau ada kesalahan segera dikoreksi. Sayangnya  prinsip akurasi dan ketelitian ini justru merupakan unsur utama yang banyak menjadi kendala atau kelemahan wartawan dan media massa kita.

Jembatan Gantung Taman Hutan Lindung Kota Langsa Ambruk

Jembatan Hutan Lindung, Kota Langsa, Ambruk,Saat Suasana Sukacita menjadi Bencana - Ratusan warga yang mengunjungi Hutan Bale Jurong Kota Langsa kecebur ke dalam sungai di hutan kota. Peristiwa itu terjadi akibat lepasnya tali seling jembatan gantung di tengah sungai buatan itu.

Informasi yang dihimpun di lokasi hutan wisata itu, banyak warga mengunjungi hutan Bale Jurong Kota Langsa untuk berekreasi. Menjelang sore hari pengunjung semakin banyak, mereka membawa anak-anak. Mereka berfoto selfie di atas jembatan karena suasananya indah untuk berfoto-foto.

Jembatan Ambruk, Hutan Lindung, LangsaBahkan, pengunjung tidak mempedulikan imbauan yang ditempel di tiang jembatan gantung di mana kapasitas di atas jembatan sebanyak 40 orang.

Kejadian terjadi sekira pukul 17.30 Wib, di mana tali seling jembatan gantung lepas, sedangkan pada saat kejadian itu ada sekitar ratusan orang berada di atas jembatan.
Saat tali sebelah kanan jembatan lepas, pengunjung di atas jembatan langsung kecebur dalam sungai buatan itu. "Krek, krek bumm, bunyi suara jembatan itu.

Warga yang kecebur langsung minta tolong dan pertolongan diberikan oleh pengunjung lainnya. Kedalaman sungai buatan itu mencapai 3,5 meter.

Tidak ada korban jiwa dalam musibah itu, hanya terkilir, dan patah. Hingga malam hari warga masih mengunjungi hutan kota melihat jembatan yang putus itu.

Jembatan Hutan Lindung, Langsa, Ambruk
Polisi Panggil Kontraktor Jembatan Gantung yang Ambruk

Polres Langsa akan memanggil pihak rekanan, konsultan perencana serta konsultan pengawas yang mengerjakan proyek jembatan gantung di hutan Bale Jurong Kota Langsa terkait rubuhnya jembatan itu.

Kapolres Kota Langsa, AKBP Sunarya SIK saat meninjau kondisi jembatan gantung yang ambruk di hutan kota, kepada Serambinews.com mengatakan, pihaknya mengecek kondisi jembatan yang rubuh dan kita police line agar warga tidak mendekati jembatan tersebut untuk kebutuhan penyelidikan.

Selain itu, pihaknya juga akan memanggil kontraktor, konsultan perencanaan dan pengawasan, apakah mereka punya kualifikasi atau tidak dalam membangun jembatan itu.

"Masyarakat sebelumnya sudah mengingatkan agar pengikat tali seling jembatan gantung digunakan yang bergerigi namun tidak di indahkan," ujarnya.

Ratusan warga yang mengujungi hutan Bale Jurong Kota Langsa tercebur dalam sungai buatan di tengah hutan kota akibat lepasnya tali seling jembatan gantung di tengah sungai buatan itu. Tidak ada korban jiwa dalam musibah ini, sebagian warga terkilir dan patah kakinya.

Serambi Indonesia, 26 Desember 2015

MODEL DAN JENIS-JENIS EVALUASI KEBIJAKAN

Dalam hal ini William Dunn (House, 1978 : 45), mengemukakan beberapa Model Evaluasi Kebijakan Publik yang terdiri dari :

1. The Adversary Model 
Para evaluator dikelompokkan menjadi dua, yang pertama bertugas menyajikan hasil evaluasi program yang positif, hasil dampak kebijakan yang efektif dan baik, tim kedua berperan untuk menemukan hasil evaluasi program negatif, tidak efektif, gagal dan yang tidak tepat sasaran. Kedua kelompok ini dimaksudkan untuk menjamin adanya netralitas serta obyektivitas proses evaluasi. Temuannya kemudian dinilai sebagai hasil evaluasi. Menurut model dari evaluasi ini tidak ada efisiensi data yang dihimpun.

2. The Transaction Model
Model ini memperhatikan penggunaan metode studi kasus, bersifat naturalistik dan terdiri dua jenis, yaitu : evaluasi responsif I yang dilakukan melalui kegiatan – kegiatan secara informal, ber ulang-ulang agar program yang telah direncanakan dapat digambarkan dengan akurat; dan evaluasi iluminativ (illuminativ evaluation) bertujuan untuk mengkaji program inovativ dalam rangka mendeskripsikan dan menginterpretasikan pelaksanaan suatu program atau kebijakan. Jadi evaluasi model ini akan berusaha mengungkapkan serta mendokumenter pihak-pihak yang berpartisipasi dalam program.

3. Good Free Model 
Model evaluasi ini ber tujuan untuk mencari dampak aktual dari suatu kebijakan, dan bukan hanya sekedar untuk menentukan dampak yang diharapkan sesuai dengan ditetapkan dalam program. Dalam upaya mencari dampak aktual, evaluator tidak perlu mengkaji secara luas dan mendalam tentang tujuan dari program yang direncanakan. Sehingga evaluator (peneliti) dalam posisi yang bebas menilai dan ada obyektivitas.

JENIS-JENIS EVALUASI KEBIJAKAN
Evaluasi implementasi kebijakan dibagi tiga menurut timing evaluasi, yaitu sebelum dilaksanakan, pada waktu dilaksanakan, dan setelah dilaksanakan. Secara spesifik Dunn (2003: 612-613) mengembangkan tiga pendekatan evaluasi implementasi kebijakan, yang tujuan, asumsi, dan bentuk-bentuk utamanya.

Sebagai pembanding, James P. Lester dan Joseph Steward, Jr. (2000) mengelompokkan evaluasi implementasi kebijakan menjadi:
1. Evaluasi Proses, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan proses implementasi;
2. Evaluasi Impak, yaitu evaluasi berkenaan dengan hasil dan / atau pengaruh dari implementasi kebijakan; 
3. Evaluasi Kebijakan, yaitu apakah benar hasil yang dicapai mencerminkan tujuan yang dikehendaki, dan 
4. Evaluasi Meta-evaluasi yang berkenaan dengan evaluasi berbagai implementasi kebijakan yang ada untuk menemukan kesamaan- kesamaan tertentu.

Ada pula penilaian evaluasi sesuai dengan teknik evaluasinya, yaitu:
1. Evaluasi komparatif, yaitu membandingkan implementasi kebijakan (proses dan hasilnya) dengan implementasi kebijakan yang sama atau berlainan, di satu tempat yang sama atau berlainan.
2. Evaluasi Historikal, yaitu membuat evaluasi kebijakan berdasarkan rentang sejarah munculnya kebijakan-kebijakan tersebut.
3. Evaluasi Laboratorium atau eksperimental, yaitu evaluasi namun menggunakan eksperimen yang diletakkan dalam sejenis laboratorium.
4. Evaluasi Ad Hock, yaitu evaluasi yang dilakukan secara mendadak dalam waktu segera untuk mendapatkan gambar pada saat itu (snap shot).

James Anderson membagi evaluasi (implementasi) kebijakan publik menjadi tiga tipe, yaitu:
1. Evaluasi kebijakan publik yang dipahami sebagai kegiatan fungsional. 
2. Evaluasi yang memfokuskan pada bekerjanya kebijakan.
3. Evaluasi kebijakan sistematis yang melihat secara objektif program-program kebijakan yang ditujukan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan sejauh mana tujuan-tujuan yang ada telah dinyatakan telah dicapai (dikutip Winarno, 2002, 168).

Sementara itu, Bingham dan Felbinger (dalam Lester & Steward, 2000) Membagi evaluasi kebijakan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:
1. Evaluasi Proses, yang focus pada bagaimana proses implementasi suatu kebijakan.
2. Evaluasi Impak, yang fokus pada hasil akhir suatu kebijakan.
3. Evaluasi Kebijakan, yang menilai hasil kebijakan dengan tujuan yang direncanakan dalam kebijakan pada saat dirumuskan.
4. Meta-Evaluasi, yang merupakan evaluasi terhadap berbagai hasil atau temuan evaluasi dari berbagai kebijakan yang terkait.

Howlet dan Ramesh (1995) dalam William Dunn, ada 3 macam Evaluasi Kebijakan, yaitu:
1. Evaluasi Administratif
Yang berkenaan dengan evaluasi sisi administratif – anggaran, efisiensi, biaya – dari proses kebijakan di dalam pemerintah yang berkenaann dengan:
a. Effort evaluation, yang menilai dari sisi input program yang dikembangkan oleh kebijakan.
b. Performance evaluation, yang menilai keluaran (output) dari program yang dikembangkan oleh kebijakan.
c. Adequacy of performance evaluation atau effectiveness evaluation, yang menilai apakah program dijalankan sebagaimana yang sudah ditetapkan.
d. Efficiency Evaluation, yang menilai biaya program dan memberikan penilaian tentang keefektifan biaya tersebut.
e. Process Evaluation, yang menilai metode yang dipergunakan oleh organisasi untuk melaksanakan program.

2. Evaluasi Judisial
yaitu evaluasi yang berkenaan dengan isu keabsahan hukum tempat kebijakan diimplementasikan, termasuk kemungkinan pelanggaran terhadap konstitusi, sistem hukum, etika, aturan administrasi negara, hingga hak asasi manusia.

3. Evaluasi Politik
yaitu menilai sejauh mana penerimaan konstitusi politik terhadap kebijakan publik yang diimplementasikan.

TAHAPAN & INDIKATOR EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK

Dalam bukunya Budi Winarno, Kebijakan Publik Teori dan Proses (2008) mengutip pernyataan Edward A. Sucman yaitu di sisi lain lebih masuk ke sisi praktis dengan mengemukakan enam langkah dalam evaluasi kebijakan, yaitu:

a. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi.
b. Analisis terhadap masalah.
c. Deskripsi dan standarisasi kegiatan.
d. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi.
e. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab lain.
f. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak.

Hasil evaluasi akan dianalisa sebagai pertimbangan bagi pembuat kebijakan untuk melakukan penyesuaian atau perubahan demi penyempurnaan kebijakan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa suatu kebijakan publik tidaklah permanen tetapi membutuhkan penyesuaian, karena kebijakan sangat dipengaruhi oleh faktor politik, sosial, ekonomi, budaya, teknologi dan informasi yang senantiasa dinamis.

INDIKATOR EVALUASI
Dalam pelaksanaan evaluasi kebijakan digunakan kriteria-kriteria umum yang dimaksudkan untuk member arahan bagi evaluator. Kriteria-kriteria yang dirumuskan akan dapat dijadikan sebagai salah satu patokan dalam menentukan apakah suatu kebijkan berhasil atau gagal.

Dunn menggambarkan kriteria-kriteria evaluasi kebijakan yang meliputi 6 (enam) tipe sebagai berikut:
1. Efektifitas (Effectiveness)
Berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Efektifitas yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya.

2. Efisiensi (Efficiency)
Berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk meningkatkan tingkat efektifitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dengan rasionalitas ekonomi, adalah merupakan hubungan antara efektifitas dan usaha yang terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter.

3. Kecukupan (Adequacy)
Berkenaan dengan seberapa jauh suati tingkat efektifitas memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. Kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan.

4. Pemerataan/Kesamaan (Equity) 
Indikator ini erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya (misalnya, unit pelayanan atau manfaat moneter) atau usaha (misalnya biaya moneter) secara adil didistribusikan. Kebijakan yang dirancang untuk mendistibusikan pendapatan, kesempatan pendidikan atau pelayanan publik kadang-kadang direkomendasikan atas dasar criteria kesamaan. Kriteria kesamaan erat kaitannya dengan konsepsi yang saling bersaing, yaitu keadilan atau kewajaran dan terhadap konflik etis sekitar dasar yang memadai untuk mendistribusikan risorsis dalam masyarakat.

5. Responsivitas (Responsiveness)
Berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, prefensi, atau nilai kelompok- kelompok masyarakat tertentu. Kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya – efektifitas, efisensi, kecukupan, kesamaan – masih gagal jika belum menanggapi kebutuhan actual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya suatu kebijakan.

6. Ketepatan (Appropriateness)
Adalah kriteria ketepatan secara dekat yang berhubungan dengan rasionalitas substantive, karena pertanyaan tentang ketepatan kebijakan tidak berkenaan dengan satuan kriteria individu tetapi dua atau lebih criteria secara bersama-sama. Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan-tujuan program dan kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan tersebut.

KONSEP EVALUASI KEBIJAKAN

Mengikuti William N. Dunn (2003: 608-610), istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating), dan penilaian (assessment). Evaluasi berkenan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik; evaluasi member sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Jadi, meskipun berkenaan dengan keseluruhan proses kebijakan, evaluasi kebijakan lebih berkenaan pada kinerja dari kebijakan, khususnya pada implementasi kebijakan publik. Evaluasi pada “perumusan” dilakukan pada sisi post-tindakan, yaitu lebih pada “proses” perumusan daripada muatan kebijakan yang biasanya “hanya” menilai apakah proesnya sudah sesuai dengan prosedur yang sudah disepakati.

Menurut pendapat sebagian ahli kebijakan, evaluasi dimasukkan dalam tahap akhir siklus (proses) kebijakan. Namun, beberapa ahli berpendapat bahwa evaluasi bukan merupakan tahap akhir namun masih ada tahap selanjutnya dari hasil evaluasi tersebut. Sejatinya, kebijakan publik lahir mempunyai tujuan untuk menyelesaikan permasalahan, namun seringkali terjadi kebijakan tidak berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk mengetahui sejauh mana pencapaian suatu kebijakan dan sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan dilakukan evaluasi. Dalam bahasa yang lebih singkat evaluasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk menilai “manfaat” suatu kebijakan ( Winarno, 2012).

Menurut Harris (2010) yang mengutip pendapat Rossi et al (2004) bahwa evaluasi adalah penggunaan metode pengujian atau penelitian sosial untuk mengetahui efektifitas suatu program. Sementara menurut Tuckman (1985) yang dikutip oleh Sopha Julia (2010), evaluasi adalah suatu proses untuk mengetahui / menguji apakah suatu kegiatan,proses kegiatan, keluaran suatu program telah sesuai dengan tujuan atau kegiatan yang telah ditentukan. Suatu program tidak hanya sekedar dirancang dan dilaksanakan melainkan harus diukur pula sejauh mana efektifitas dan efisiensinya.

Evaluasi kebijakan mempunyai sejumlah karakteristik yang membedakannya dari metode-metode analisis kebijakan lainnya. Menurut Dun, 2003:608-609, evaluasi mempunyai sejumlah karakteristik yang membedakannya dari metode- metode analisis kebijakan lainnya:

1. Fokus Nilai 
Evaluasi dipusatkan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari suatu kebijakan dan program. Evaluasi terutama merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program, dan bukan sekedar usaha mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi dan tidak terantisipasi. Kerena ketepatan tujuan dan sasaran kebijakan dapat selalu dipertanyakan, evaluasi mencakup prosedur untuk mengevaluasi tujuan-tujuan dan sasaran itu sendiri.

2. Interdependensi Fakta-Nilai
Tuntutan evaluasi tergantung baik “fakta” maupun “nilai”. Untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi (atau rendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau seluruh masyarakat; untuk menyatakan demikian, harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan secara actual merupakan konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu. Oleh karena itu, pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi.

3. Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau
Tuntutan evaluatif, berbeda dengan tuntutan-tuntutan advokatif, diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil di masa depan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksi- aksi dilakukan (ex post). Rekomendasi yang juga mencakup premis-premis nilai, bersifat prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan (ex ante).

4. Dualitas Nilai. 
Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Evaluasi sama dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada (misalnya, kesehatan) dapat dianggap sebagai intristik (diperlukan bagi dirinya) ataupun ekstrinsik (diperlukan karena hal itu mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain). Nilai-nilai sering ditata di dalam suatu hirarki yang merefleksiakan kepentingan relative dan saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran.

Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan. Evaluasi merupakan tahapan penting dalam pelaksanaan suatu program. Manfaat positif akan diperoleh apabila evaluasi dijalankan dengan benar dan memperhatikan segenap aspek yang ada dalam suatu program. Menurut Dunn, 2003:609-611, mempunyai sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan, yakni:

1. Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik.

2. Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target. Nilai juga dikritik dengan menanyakan secara sistematis kepantasan tujuan dan target dalam hubungan dengan masalah yang dituju. Dalam menanyakan kepantasan tujuan dan sasaran, anlis dapat menguji alternatif sumber nilai (misalnya, kelompok kepentingan dan pegawai negeri, kelompok-kelompok klien) maupun landasan mereka dalam berbagai bentuk rasionalitas (teknis, ekonomi, legal, sosial, subtantif).

3. Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Informasi tentang tidak memadainya kinerja kebijakan dapat member sumbanagan pada perumusan ulang masalah kebijakan, sebagai contoh, dengan menunjukan bahwa tujuan dan target perlu didefinisikan ulang. 

Evaluasi dapat pula menyumbang pada definisi alternatif kebijakan yang baru atau revisi kebijakan dengan menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang diunggulkan sebelumnya perlu dihapus dan diganti dengan yang lain.

Selain hal tersebut diatas, mengikuti Samodra Wibawa (1994: 10-11), evaluasi kebijakan publik memiliki 4 (empat) fungsi, yaitu:

1. Eksplanasi
Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antarberbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengidentifikasi maslah, kondisi, dan actor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.

2. Kepatuhan
Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standard dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.

3. Audit
Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.

4. Akunting
Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial-ekonomi dari kebijakan tersebut.

Lencana Facebook