Tulisan ringkas ini mencoba memahami siapa Wahabi yang dipahami oleh para inisiator parade Aswaja tersebut dengan penuh kehati-hatian agar tidak “dituduh” memperkeruh suasana menjelang Idul Adha 1436 H yang baru saja kita rayakan. Sebenarnya sudah banyak buku dan tulisan lainnya yang membahas tentang Wahabi dan bagaimana kiprahnya. Tentunya berbagai tulisan tersebut tidak luput oleh sanggahan dari kalangan Wahabi sendiri, tidak terkecuali tulisan yang ringkas ini.
Wahabi Salafi adalah suatu aliran yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang dilahirkan pada 1115 H/1701 M. Muhammad bin Abdul Wahab kemudian disebut sebagai pembaharu (mujaddid) dan melakukan pergerakan yang mengklaim sebagai pemurnian akidah. Ia juga menulis puluhan makalah dan kitab yang sebagian mendapat syarahan dari pengikutnya. Dalam satu kitabnya berjudul Kasfu Subhat, Muhammad membagi tauhid menjadi tiga, yaitu tauhid Rububiyah, tauhid Uluhiyah, dan tauhid Asma’ was Shifat. Pembagian ini juga berpedoman kepada Alquran namun ia telah keliru dalam memahaminya.
Pembagian dan membedakan tauhid Rububiyah (Rab) dan Uluhiyah (Ilah) telah menimbulkan pernyataan bahwa semua orang-orang murtad, kafir dan orang-orang musyrik yang mengakui Allah sebagai pencipta dan pengatur alam sama dengan orang-orang mukmin dalam tauhid Rububiyyah. Seorang muslim yang melakukan ziarah kubur, tawwassul, tabarruk, istighasah diklaim tidak bertauhid Uluhiyah karena ibadahnya tidak lagi murni kepada Allah. Implikasinya kemudian adalah mengkafirkan atau memusyrikkan orang-orang Islam yang melakukan beberapa ibadah ini. Meskipun perkara ini sudah ada tuntunan dari Rasulullah, sahabat dan ulama salaf berdasarkan hasil ijtihad. Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan bahwa: “Pengakuan mereka dengan tauhid Rububiyah saja tidak tergolong mereka dalam Islam. Dan bahwa kasad mereka akan Malaikat, Nabi dan aulia Allah yang mereka inginkan syafaat dan dekat kepada Allah dengan demikian telah mengakibatkan halal darah dan harta mereka.” (Kasfu Subhat, hal. 13).
Kalau kita kaji pendapat tokoh pengikut Wahabi, sebagian mereka mengakui bahwa pembagian tersebut merupakan suatu kreasi yang memang tidak ditemukan pada masa Rasulullah, era sahabat dan ulama generasi salaf, tujuannya cuma untuk memudahkah pemahaman. Menurut mereka hal ini sebagaimana pembagian wahdaniah (keesaan) Allah menurut pemahaman pengikut Imam Asy’ari kepada tiga, yaitu wahdaniah pada zat, pada sifat dan pada perbuatan.
Sebagian pengikut Wahabi membantah bahwa pembagian tiga tauhid bukan perkara baru, tapi istilah ini juga sudah dikenal sebelum masa Ibnu Taimiyah. Seorang ulama Wahabi yang juga Guru Besar Aqidah di Universitas Islam Madinah, Syaikh Prof Dr Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin Al Abbad menjelaskan makna ucapan Imam Hanafi dalam bukunya Al-Qoulus Sadid ‘ala Man Ankara Taqsima At-Tauhid: “Tidak ada yang serupa dengan-Nya” ini bagian dari tauhid Asma’ was Shifat. Dan ucapan beliau “Tidak ada yang bisa melemahkan-Nya” ini bagian dari tauhid Rububiyah. Dan makna ucapan beliau “Tidak ada yang berhak disembah selain-Nya” bagian dari tauhid Uluhiyah, adalah suatu penjelasan yang sangat dipaksakan olehnya, karena Imam Hanafi tidak menjelaskan demikian.
Kalaupun para ulama salaf ada menyebutkan istilah Rububiyah dan Uluhiyah seperti yang termuat dalam Kitab At Tauhid karya Imam Al Maturidi, maka ini bukan berarti ingin membedakan kedua istilah Rububiyah dan Uluhiyah, karena cukup banyak ayat dan hadis yang tidak membedakan Rububiyah dengan Uluhiyah seperti dalam surat Al A’raf ayat 172, Al An’am ayat 80 dan asy Syu’ara ayat 26.
Keliru aplikasinya
Wahabi Salafi juga sering menggembor-gemborkan untuk kembali kepada Alquran dan hadis dan mereka juga mengakui sebagai pengikut mazhab dan pengikut ulama salaf. Suatu pernyataan yang benar secara teorinya, tetapi telah keliru pada aplikasinya. Mungkinkah umat yang hidup di akhir zaman dengan keterbatasan ilmu mampu memahami langsung Alquran dan hadis? Bagaimana maksud mengikuti mazhab, apakah dengan mempelajari dan mengamalkan salah satu atau sebagian isi kitab yang ditulis Imam Mujtahid seperti Imam Hanafi, Malik, Syafii dan Hanbali, maka dianggap telah mengikuti mazhab. Ini yang sering keliru dipahami oleh Wahabi yang mengklaim dirinya sebagai pengikut ulama salaf. Bahkan mereka mengutip pendapat imam mazhab dan kemudian membenturkan dengan pendapat pengikutnya.
Padahal kalau kita telusuri dalam berbagai kitab mazhab yang empat maka kita akan menemukan metode ijtihad yang sangat rumit, sehingga ada beberapa level mujtahid dalam melakukan ijtihad, meskipun berbeda penggunaan istilahnya. Secara umum level para mujtahid itu adalah: Mujtahid Muthlaq Mustaqil (memiliki kemampuan untuk merumuskan kaidah-kaidah fiqih berdasarkan kesimpulan dari pengkajian dalil Alquran dan Sunnah); Mujtahid Mutlaq Muntasib (memenuhi persyaratan dalam berijtihad secara mandiri, namun mereka belum merumuskan kaidah sendiri tetapi hanya mengikuti metode imam mazhab dalam berijtihad); Mujatahid Muqayyad (memiliki kemampuan untuk mengqiaskan keterangan-keterangan yang disampaikan oleh imam mazhab, untuk memecahkan permasalahan baru yang tidak terdapat dalam keterangan-keterangan ulama mazhab).
Level mujtahid selanjutnya adalah Mujtahid Takhrij (ulama yang men-takhrij beberapa pendapat dalam mazhab. Kemampuan memahami landasan mazhab telah menjadi bekal bagi mereka untuk menguatkan salah satu pendapat); Mujtahid Tarjih (memiliki kemampuan memilih pendapat yang lebih benar dan lebih kuat, ketika terjadi perbedaan pendapat pada satu hukum antara imam dengan muridnya dalam satu mazhab), dan; Mujtahid Fatwa (para ulama yang memahami pendapat mazhab, serta menguasai segala penjelasan dan permasalahan dalam mazhab, sehingga mereka mampu memenentukan mana pendapat yang paling kuat, agak kuat, dan lemah. Namun, mereka belum memiliki kepiawaian dalam menentukan landasan qias dari mazhab). Level selanjutnya sebagai Muqallid (mengikuti hasil ijtihad yang telah ada).
Level ini memberikan gambaran bagi kita bahwa begitu rumitnya berijtihad langsung dari Alquran dan hadis serta memahami langsung pendapat Imam Mazhab kalau tidak memiliki kapasitas ilmu yang mumpuni sesuai tingkatan. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita menjadi pengikut salah satu mazhab sesuai kapasitas ilmu yang kita miliki. Namun bagi masyarakat Aceh untuk mengingat 21 wasiat pendiri kesultanan Aceh pada pada 12 Rabiul Awal 913 H/23 Juli 1507 M, di antaranya agar terus berpedoman kepada mazhab Ahlu-sunnah wal jamaah dan bermazhab Imam Syafi’i di dalam sekalian hal ihwal hukum syariat.
Maka mazhab yang tiga itu apabila mudharat maka dibolehkan dengan cukup syarat (www.atjehcyber.net, edisi 15 Mei 2011). Sudah seharusnya Aceh kembali memiliki mazhab resmi dalam hal akidah, ibadah dan tasawuf seperti masa silam untuk menghindari perpecahaan umat dan ini juga dipraktikkan beberapa negara Islam saat ini seperti Iran, Arab Saudi dan Brunei Darussalam. Bagi pribadi yang beramal di luar mazhab resmi agar dibuat aturan tersendiri.
Mukhtar Syafari Husin
Serambi Indonesia. Selasa, 29 September 2015