Perubahan sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi berpengaruh terhadap sistem manajemen pembangunan. Otonomi daerah merupakan suatu konsep yang menekankan pada aspek kemandirian daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat c menyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desentralisasi diperlukan sebagai bentuk pengakuan Negara terhadap self-governing community.
Didalam desentralisasi desa atau gampong, dimungkinkan adanya pembagian kewenangan serta keuangan kepada desa / gampong untuk membuaat desa / gampong bermakna sebagai local-self government. Jika desentralisasi ditujukan untuk penataan kelembagaan model baru yang menggabungkan antara desa (local-self government) dan adat (self-governing community) maka hasilnya adalah : (1) penataan kelembagaan desa yang sesuai dengan adat dan kebijakan Negara; (2) model local-self government desa tetap menekankan pada prinsip self-governing community bahkan memiliki basis kulturan dan sosial yang kuat (3) terdapatnya batas-batas wilayah dan hak ulayat desa secara jelas; (4) pemulihan identitas local dan modal sosial; dan (5) pengalihan kewenangan dan keuangan kepada desa baru (Afadlal dkk,2008:35).
Penguatan kapasitas kelembagaan Pemerintah Daerah dapat diartikan sebagai usaha membangun organisasi, sistem-sistem, kemitraan, orang-orang dan proses-proses secara benar untuk menjalankan agenda atau rencana tertentu. Penguatan kapasitas kelembagaan pemerintah Daerah oleh karenanya berkaitan dengan individual capability development, organizational capacity building, dan institutional capacity building. Pengertian penguatan kapasitas tersebut memberikan gambaran bahwasanya terdapat banyak hal yang harus diperhatikan dan dicermati agar penguatan kapasitas dapat membuahkan hasil nyata, bermanfaat dan menimbulkan dampak positif (Haris Faozan : 2006).
Penguatan kelembagaan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka mewujudkan kelembagaan yang tangguh, dinamis dan mandiri. Dengan adanya penguatan kelembagaan diharapkan diharapkan dapat menggerakkan para pihak untuk berperan serta secara aktif dalam penyelenggaraan organisasi pemerintahan. Selain itu, pembagian peran menjadi lebih jelas, masing-masing pihak mengetahui tugas dan wewenang sehingga system manajemen penyelenggaraan pemerintahan dapat dijalankan secara optimal.
Penguatan kelembagaan pembangunan di sektor lembaga publik didefinisikan sebagai seluruh perencanaan, pembuatan struktur dan petunjuk-petunjuk baru dalam penataan kembali haluan organisasi yang meliputi:
a. Membuat, mendukung dan memperkokoh hubungan normative dan pola-pola yang aktif.
b. Pembentukan fungsi-fungsi dan jasa yang dihargai oleh masyarakat.
c. Penciptaan fasilitas yang menghubungkan antara tehnologi baru dengan lingkungan sosial.
Beberapa konsep riset yang dihasilkan oleh Inter-University Riset program tentang pembangunan lembaga, yang menghasilkan 3 (tiga) katagori dasar analisa yaitu:
a. Istilah lembaga merupakan suatu variabel yang menerangkan prilaku lembaganya sendiri. Didalamnya terdapat sub katagori seperti kepemimpinan, doktrin, program, sumber daya dan struktur internal. Istlilah tersebut menerangkan transaksi yang terdapat dalam sub katagori seperti :
b. Kemampuan memperoleh dukungan untuk mengatasi hambatan yang akan datang dan pemindahan norma-norma serta nilai.
c. Analisa lingkaran atau mata rantai kelembagaan yang menunjukkan saling ketergantungan antara lembaga dan bagian-bagian yang relevan dalam masyarakat serta pendayagunaan dan memfungsikan dari segi normative (Freed W. Rigg, 1986 : 132-13).
Lahirnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan kemudian yang paling istimewa Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengandung konsekuensi yang harus dipersiapkan oleh daerah otonom termasuk desa dalam mendukung otonomi; Beberapa konsekuensi yang harus dipersiapkan antara lain : Pertama, kemampuan sumber daya manusia, khususnya sumber daya manusia aparatur yang harus memiliki keterampilan baik secara teknik maupun wawasan intelektual yang luas dan diharapkan dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kedua, kemampuan sumber-sumber keuangan, karena selama ini sektor-sektor pembiayaan pembangunan umumnya masih sangat bergantung pada pemerintah.
Namun dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka pembiayaan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan harus diusahakan oleh pemerintah daerah otonom, dengan tidak hanya bertumpu pada subsidi dari pemerintah, karenanya pemerintah daerah otonom harus mampu menggali berbagai potensi sumber daya yang ada sehingga dapat menopang pembangunan dan penyelenggaraan pada daerah yang bersangkutan. Ketiga, sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk memperlancar kegiatan pemerintahan dan pembangunan, Keempat organisasi dan manajemen, dimana penyelenggaraan pemerintahan sangat ditentukan oleh berjalannya fungsi-fungsi manajemen dalam menjalankan kegiatan pemerintahan.
Gunawan Sumodiningrat (1999:34) mengemukakan tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam proses pembangunan daerah yaitu:
1. Bentuk kontribusi riil dari daerah yang diharapkan oleh pemerintah pusat dalam proses pembangunan dasar.
2. Aspirasi masyarakat daerah itu sendiri terutama yang terefleksi pada prioritas pembangunan daerah.
3. Keterkaitan antara daerah dalam tata perekonomian makro dan politik.
Pada masa Orde Baru penyelenggaraan pemerintahan berlangsung sentralistik, yang diikuti dengan politik hukum univikasi untuk seluruh daerah di wilayah Indonesia. Sehingga, dengan paradigma seperti ini, system pemerintahan di daerah diupayakan berlangsung secara seragam se Indonesia. Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan desa, yang mengatur tentang pemerintahan desa (Pasal 3) termasuk cara pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian Kepala daerah (Pasal 4, 5, dan pasal 9) maka semua keputusan dan instruksi-instruksi yang pernah dikeluarkan sebelumnya oleh pemerintah daerah tentang hal itu, dengan sendirinya harus disesuaikan atau bahkan tidak berlaku lagi. Dan hal yang berhubungan dengan pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian kepala-kepala Desa/Kampung untuk seluruh daerah dalam wilayah Indonesia harus didasarkan pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tersebut.
Seiring dengan berjalannya proses reformasi sistem pemerintahan di Indonesia, pemerintah memberlakukan Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah dan telah diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini memberikan semangat baru untuk menghidupkan kembali system adat dan kelembagaan pada tingkat Gampong di Aceh. Untuk Aceh sendiri yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945.
Dalam rangka penyelesaian konflik, khusus bagi Aceh, Pemerintah memberlakukan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Penyelenggaraan keistimewaan tersebut menurut Pasal 3 Ayat (2) meliputi:
- Penyelenggaraan kehidupan beragama,
- Penyelenggaraan kehidupan adat,
- Penyelenggaraan pendidikan, dan
- Peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah
Dan undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Desa mengenai struktur masyarakat Gampong perlu difungsikan kembali seperti sebelum adanya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979. Pelaksanaan undang-undang baru harus diterapkan sesuai dengan situasi masyarakat Aceh yang memiliki keunikan tersendiri. Dengan demikian, harapan untuk memperbaiki kembali struktur masyarakat Gampong di Aceh dapat tercapai.
Pada tahun 2001 lahir Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dimana kemudian pasca penandatanganan Nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka lahirlah Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA). Salah satu bentuk lembaga pemerintah yang mendapat perhatian khusus yakni pemerintahan terendah yang di Aceh dikenal dengan sebutan Gampong, sehingga semakin memperkuat kekhasan pemerintahan desa (gampong) di Aceh. Saat sebelum adanya ketentuan ketentuan seperti peraturan perundang undangan tentang Pemerintahan Desa diatur dalam undang-undang yang berlaku sama seperti desa-desa lainnya di Indonesia, yang mengatur tentang pelaksanaan pemerintahan desa.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh merupakan Undang-undang yang selain memberikan keuntungan yang cukup luas kepada Pemerintah Aceh dalam hal mengurus dan membangun daerah yang sesuai dengan aspirasi dan sumber daya yang ada. Undang-undang ini juga memberikan kesempatan kepada Pemerintah Aceh untuk menghidupkan dan memajukan lembaga adat yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Menurut Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentah Pemerintahan Aceh Desa di Aceh disebut Gampong atau nama lain, dimana kemudian berdasarkan qanun kabupaten Aceh Tamiang nomor 19 tahun 2009 tentang Pemerintahan Kampung desa di Aceh Tamiang disebut Kampung dimana urusan pemerintahannya dilaksanakan oleh pemerintah kampung dan majelis duduk setikar kampung yang bertugas mengatur dan mengurus masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam Pasal I angka 20 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 disebutkan, “Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah Mukim dan dipimpin oleh Geuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri”
Ketentuan yang mengatur Gampong dan perangkatnya dalam undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 diatur dalam Pasal-pasal 115, 116, dan 117.
Dalam melaksanakan ketentuan Pasal 117 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka diaturlah tentang Pemerintahan Kampung dalam kabupaten Aceh Tamiang yang diwujudkan dalam qanun kabupaten Aceh Tamiang Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pemerintahan Kampung.
Desa di Kabupaten Aceh tamiang disebut Kampung, sedangkan pemerintahannya disebut dengan Pemerintahan Kampung yang dipimpin oleh seorang Datok Penghulu. Pemerintahan kampung diselenggarakan oleh Pemerintah Kampung dan MDSK (Majelis Duduk Setikar Kampung).
Pemerintahan Kampung adalah penyelenggara pemerintahan yang dilaksanakan oleh Datok Penghulu, Tok Imam dan Perangkat Kampung, Perangkat Kampung sendiri terdiri dari Sekretaris Kampung dan Perangkat Kampung lainnya, Perangkat kampung lainnya sebagaimana tersebut terdiri atas:
1. Sekretariat kampung
2. Unsur Pelaksana Teknis; dan
3. Unsur Kewilayahan
Dalam menyelenggarakan pemerintahan kampung sebagaimana yang tertuang pada Qanun Nomor 19 kabupaten Aceh Tamiang, Bab IV Pasal 19 bagian ke (2) Pemerintah Kampung mempunyai kewajiban :
a. Melaksanakan Syari’at Islam
b. Meningkatkan pelayanan dasar kepada masyarakat
c. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum bagi masyarakat
d. Mengembangkan sumber daya produktif dengan mendayagunakan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
e. Melaksanakan qanun Kampung dan peraturan yang lebih tinggi sesuai dengan kewenangannya
f. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya
g. Menjaga kelestarian lingkungan hidup
h. Mengelola administrasi Kampung
i. Melestarikan nilai sosial budaya yang berkembang dimasyarakat
j. Mengembangkan kehidupan ekonomi masyarakat
k. Menampung aspirasi masyarakat
l. Membuat laporan pelaksanaan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku
m. Menjaga dan memelihara adat istiadat
n. Kewajiban lain yang diatur dalam perundang-undangan.
Dalam pelaksanaan otonomi Kampung pasca pemberlakuan UUPA dan turunannya yaitu Qanun Kabupaten Aceh Tamiang Nomor 19 Tahun 2009, pemerintah dan masyarakat Kampung dituntut untuk lebih mandiri dalam mengatur dan mengurus rumah tangga Kampung, termasuk dalam mengatur dan mengelola sumber dana yang berasal dari pemerintah dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Kampung, dan juga Pendapatan Asli Kampung (PAK), sebagai salah satu sumber anggaran penerimaan atau pendapatan Kampung yang memainkan peran penting dalam pembangunan Kampung.
Terlepas dari dana besar yang dikucurkan pemerintah bagi pelaksanaan otonomi Kampung, Pendapatan Asli Kampung merupakan salah satu sumber anggaran yang memainkan peran penting dalam pembangunan Kampung dimana tidak semua pembangunan yang dilakukan dapat diserap dari dana bantuan pemerintah.
Hal tersebut merupakan sebagian dari permasalahan yang dihadapi pemerintah dan masyarakat di Aceh terkait dengan pendapatan asli kampung dalam kerangka otonomi Kampung. Dalam hal ini salah satunya adalah pemerintah dan masyarakat Kampung Tualang Baro, Kecamatan Manyak Payed, Kabupaten Aceh Tamiang. Banyak potensi sumber daya yang dimiliki oleh Kampung Tualang Baro, Kecamatan Manyak Payed, namun potensi-potensi tersebut belum digunakan dan dikembangkan secara maksimal untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Kampung.
Kondisi ini sangat disayangkan mengingat pelaksanaan otonomi Kampung menuntut kreatifitas dan kemandirian Kampung untuk mengatur rumah tangganya sendiri termasuk dalam hal pengaturan keuangan dan kelembagaan Kampung. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat Tualang Baro, Kecamatan Manyak Payed untuk menggali dan mengembangkan potensi-potensi dan sumber keuangan salah satunya adalah dengan membuat strategi bagi penguatan kelembagaan pemerintah Kampung dalam peningkatan pendapatan asli Kampung dalam pelaksanaan otonomi Kampung.