Niccolo Machiavelli dilahirkan di Florence pada tahun 1469. Ia seorang ahli sejarah dan negarawan Italia juga merupakan tokoh pada Zaman Renaisance. Ajarannya yang sangat terkenal tercantum pada buku Discorsi Sopra La Prima Deca di Titus Livius (Discourses on Frist Ten Books of Titus Livius), 1521-1517 dan II Principe (The Prince), 1513.
Machiavelli tumbuh dibawah hukum anggota dinasti Medici yang mendapat gelar Lorenzo the Magnificent dari masyarakat Florentine, dan zaman Lorenzo sering dilukiskan sebagai zaman Agustus dari Renaissance Italia. Lorenzo sendiri adalah humanis terhormat, penyair dan menjadi panutan (patron) seniman maupun kalangan terpelajar.
Pada saat itu Machiavelli adalah sebagai ahli teori dan figur utama dalam realitas teori politik, ia sangat disegani di Eropa pada masa Renaissance. Dua buku Discorsi Sopra La Prima Deca di Tito Livio (Diskursus tentang Livio) dan II Principe (Sang Pangeran) awalnya ditulis sebagai harapan untuk memperbaiki kondisi pemerintahan di Italia Utara. Karya Machiavelli itu membuatnya dikenal sebagai seorang ilmuwan politik Renaissance.
Namun ada beberapa ilmuwan politik yang menentangnya karena menurutnya Machiavelli bukanlah seorang ilmuwan politik karena ia kurang memiliki basis metodelogi dan pemikiran politik yang sistematik. Jadi tujuan kepentingan politik pribadi Machiavelli dengan penulisan buku itu, Machiavelli berharap dengan saran-saran dan nasehat politiknya ia direkrut sebagai pejabat pemerintahan.
Pemikiran-Pemikiran Niccolo Machiavelli
Ajaran Niccolo Machiavelli tentang negara dan hukum ditulis dalam bukunya yang sangat terkenal yang diberi nama II Principle artinya Sang Raja atau Buku Pelajaran untuk Raja. Buku ini dimaksudkan untuk dijadikan tuntutan atau pedoman bagi para raja dalam menjalankan pemerintahanya, agar raja dapat memegang dan menjalankan pemerintahan dengan baik, untuk menyatukan kembali negara Italia yang pada waktu itu mengalami kekacauan dan daerah negara terpecah-belah.
Dalam buku tersebut juga menerangkan pendirian Machiavelli terhadap azas-azas moral dan kesulilaan dalam susunan ketatanegaraan. Ia menunjukkan dengan terang dan tegas pemisahan antara azas-azas kesusilaan dengan azas-azas kenegaraan yang berarti bahwa orang dalam lapangan ilmu kenegaraan tidak perlu menghiraukan atau memperhatian azas-azas kesusilaan. Orang, bahkan negara kepentingannya akan terugikan apabila tidak berbuat demikian.
Ajaran atau pandangan Niccolo Machiavelli tersebut diatas sangat terpengaruh bahkan dapat dikatakan merupakan pencerminan daripada apa yang dikenalnya dalam praktek sebagai seorang ahli negara dan apa yang dijalankannya, karena dianggapnya perlu sekali untuk menyelenggarakan kepentingan-kepentingan negara, diangkatnya menjadi teori umum mengenai praktek ketatanegaraan dengan cara yang gagah dan berani. Disinilah Niccolo Maciavelli kelihatan sangat terpengaruh oleh keadaan di tanah airnya, Italia, karena keadaan di Italia pada waktu itu sedang mengalami kekacauan dan perpecahan, maka ia menginginkan terbentuknya Zentral Gewalt (sistem pemerintah sentral). Maksudnya ialah agar dengan demikian keadaan dapat menjadi tentram kembali.
Sebab itu berkatalah Niccolo Maciavelli dalam bukunya II Principe dalam bab 19 bahwa, “penguasa", yaitu pimpinan negara haruslah mempunyai sifat-sifat seperti kancil dan singa. Ia harus menjadi kancil untuk mencari lubang jaring dan menjadi singa untuk mengejutkan serigala. Jadi jelaslah bahwa raja atau pimpinan negara harus memiliki sifat-sifat cerdik pandai dan licin seibarat seekor kancil, akan tetapi harus pula memiliki sifat-sifat yang kejam dan tangan besi seibarat singa.
Tujuan Niccolo Maciavelli ialah untuk mencapai cita-cita atau tujuan politik demi kebesaran dan kehormatan negara Italia, agar menjadi seperti masa keemasan Romawi. Untuk itu diperlukan kekuatan dan kekuasaan yang dapat mempersatukan daerah-daerah sebagai negara tunggal. "Oleh karena itu tujuan negara lain dengan masa lampau. Tujuan negara masa lampau menurut pendapatnya: kesempurnaan, kemuliaan abadi, untuk kepentingan perseorangan berupa penyempurnaan dari manusia. Sedangkan tujuan negara sekarang menghimpun dan mendapatkan kekuasaan yang sebesar-besarnya".
Berhubung dengan hal itu raja atau pimpinan negara boleh berbuat apa saja asalkan tujuan bisa tercapai maka dengan demikian terjadilah het doel heilight de middeled (tujuan itu menghalalkan/membenarkan semua cara atau usaha). Maka ajarannya disebut ajaran negara harus diutamakan dan apabila perlu negara dapat menindak kepentingan individu. Dari ajaran Niccolo Machiavelli ini menjelma dan timbullah pengertian real politik berdasarkan itu harus diambil sikap yang nyata, karena itu disebut juga machiavellismus.
Negara dan Penguasa menurut Niccolo Machiavelli
Situasi politik dan keadaan negara pada masa itu telah mengubah pola pikir Machiavelli. Hal ini dapat kita lihat dalam gagasan atau pemikirannya tentang negara dan pemimpin atau penguasa. Gagasan atau pemikiran Machiavelli yang tajam dan sangat kontroversial mendapat tanggapan yang berbeda dari orang lain. Ada yang memuji atas gagasan-gagasannya, namun ada juga yang mengutuk atau mencela. Sebab sungguh terasa berbeda dengan apa yang menjadi pandangan publik pada zaman itu.
Italia menghadapi tantangan besar karena tidak berdaya terhadap kekuasaan negara asing misalnya Jerman, Perancis dan Spanyol. Machiavelli hidup dalam perubahan kekuasaan secara cepat, kurang stabil dan mengalami krisis legitimasi. Maka ia mengajukan suatu pola pemikiran yang baru untuk mendobrak tatanan politik dan legitimasi kekuasaan. Ia menginginkan suatu negara yang sehat dan kuat, negara yang memiliki sistem militer yang tangguh. Maka setiap warga negara harus wajib militer demi mempertahankan keutuhan negara.
Ia melihat bagaimana hubungan dalam negara itu sendiri yang mana dalam kekuasaan ada anarki. Dengan tindakan anarki berarti melawan hukum atau aturan. Karena itu muncul buah-buah pemikirannya bahwa tugas penguasa adalah mempertahankan dan memperluas wilayah kekuasaannya. Maka seorang penguasa dapat berbuat apa saja yang penting kekuasaan itu dapat dipertahankan.
Menurut Machiavelli politik dan moral adalah dua bidang yang tidak memiliki hubungan sama sekali, yang diperhitungkan hanyalah kesuksesan sehingga tidak ada perhatian pada moral di dalam urusan politik. Baginya hanya satu kaidah etika politik: yang baik adalah apa saja yang memperkuat kekuasaan raja.
Dengan sendirinya semua yang melayani tujuan itu harus dibenarkan. Ia juga sangat menentang hubungan antara negara dan agama yang tidak jelas. Sebab kekuasaan agama kerapkali mendominasi kekuasaan negara. Agama hanyalah suatu instrumen sosial untuk menyatukan masyarakat dan agama bermanfaat untuk modal sosial. Sebaiknya agama diatur oleh kekuasaan negara. Hal itu menjadi persoalan sebab pada waktu itu pemimpin negara ditunjuk oleh Paus.
Baginya suatu negara yang kuat karena ada suatu hukum yang kuat untuk mengatur hidup masyarakat. Karena itu hukum harus ditegakkan bersama dengan sistem militer yang kuat. Para penguasa tidak perlu memperhatikan pertimbangan-pertimbangan moral sebab, bisa saja penguasa bertindak sangat moralistis misalnya, kemurahan hati, sikap saleh, manusiawi dan jujur.
Namun itu semua harus berfungsi untuk maksud-maksudnya. Bila keadaan menuntut demi kekuasaannya maka dia perlu mengambil sikap yang sebaliknya. Artinya penguasa bisa bersikap jahat dan menindas rakyat demi kepentingan kekuasaannya. Suatu negara yang baik bila kota-kotanya sudah ditata dengan baik sehingga para musuh akan berhati-hati untuk menyerangnya. Kota yang kokoh (dengan tembok dan benteng) tentu akan mudah untuk dipertahankan. Pasti raja atau penguasa akan dicintai oleh rakyatnya.
Metode Pemerintahan Efektif dalam bentuk Kepenguasaan ala Machiavelli
Untuk mencapai sukses, seorang penguasa harus dikelilingi dengan menteri-menteri yang mampu dan setia, Machiavelli mengingatkan penguasa agar menjauhkan diri dari penjilat dan minta pendapat apa yang layak dilakukan. Seorang penguasa yang cermat tidak harus memegang kepercayaannya jika pekerjaan itu berlawanan dengan kepentingannya.
The Prince (Sang Pangeran) sering dijuluki orang “buku petunjuk untuk para diktator.” Karier Machiavelli dan berbagai tulisannya menunjukkan bahwa secara umum dia cenderung kepada bentuk pemerintahan republik ketimbang pemerintahan diktator.
Machiavelli berpendapat bahwa nilai-nilai yang tinggi, atau yang dianggap tinggi, adalah berhubungan dengan kehidupan dunia, dan ini dipersempit pula hingga kemasyhuran, kemegahan, dan kekuasan belaka. Machiavelli menolak adanya hukum alam, yang seperti telah diketahui adalah hukum yang berlaku untuk manusia sejagat dan sesuai dengan sifat hukum, mengikat serta menguasai manusia.
Machiavelli menolak ini dengan mengemukakan bahwa kepatuhan pada hukum tersebut, malah juga pada hukum apapun pada umumnya bergantung pada soal-soal apakah kepatuhan ini sesuai dengan nilai-nilai kemegahan, kekuasaan, dan kemsyhuran yang baginya merupakan nilai-nilai tinggi. Bahkan menurut pendapatnya inilah kebajikan.
Machiavelli mengatakan bahwa untuk suksesnya seseorang, kalau memang diperlukan, maka gejala seperti penipuan dibenarkan. Misalnya, ia mengakui bahwa agama mendidik manusia menjadi patuh, dan oleh sebab kepatuhan ini perlu untuk suksesnya seorang yang berkuasa, maka perlulah agama tadi. Jadi agama itu diperlukan sebagai alat kepatuhan, bukan karena nilai-nilai yang dikandung agama itu.
Gagasan kekuasaan machiavelli patut dikaji setidaknya karena dua alasan, yaitu :
a. Gagasannya telah menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering bagi banyak penguasa sejak awal gagasan itu dipopulerkan sampai abad XX.
b. Banyak negarawan dan penguasa dunia yang secara sembunyi atau terus terang mengakui telah menjadikan buku Machiavelli itu sebagai hand book (buku pegangan) mereka dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya. Misalnya Hitler dan Mussolini. Gagasan yang sama telah menjadi basis intelektual bagi pelaksanaan diplomasi kaum realis (realisme). Realisme sebagai suatu aliran penting dalam kajian diplomasi internasional, banyak mendasarkan asumsinya pada pemikiran kekuasaan Machiavelli.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan seorang penguasa Machiavelli membahas perebutan kekuasaan (kerajaan). Bila seseorang penguasa berhasil merebut suatu kerajaan maka ada cara memerintahkan negara yang baru saja direbut itu.
Pertama, memusnahkannya sama sekali dengan membumihanguskan negara dan membunuh seluruh keluarga penguasa lama.
Kedua, dengan melakukan kolonisasi mendirikan pemukiman-pemukiman baru dan menempatkan sejumlah besar pasukan infantry di wilayah koloni serta menjalin hubungan baik dengan negara-negara tetangga terdekat.
Nasehat Machiavelli dalam Politik & Kekuasaan
Niccolo Machiavelli termasyhur karena nasihatnya yang blak-blakan bahwa: “Seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman penggunaan kekuatan”.
The Prince dapat dianggap nasehat praktek terpenting buat seorang kepada negara. Pikiran dasar buku ini adalah, untuk suatu keberhasilan, seorang Penguasa harus mengabaikan pertimbangan moral sepenuhnya dan mengandalkan segala, sesuatunya atas kekuatan dan kelicikan. Machiavelli menekankan di atas segala-galanya yang terpenting adalah suatu negara mesti dipersenjatai dengan baik. Dia berpendapat, hanya dengan tentara yang diwajibkan dari warga negara itu sendiri yang bisa dipercaya, negara yang bergantung pada tentara bayaran atau tentara dari negeri lain adalah lemah dan berbahaya.
Machiavelli menasehatkan sang Pangeran agar dapat dukungan penduduk, karena kalau tidak, dia tidak punya sumber menghadapi kesulitan. Tentu, Machiavelli maklum bahwa kadangkala seorang penguasa baru, untuk memperkokoh kekuasaannya harus berbuat sesuatu untuk mengamankan kekuasaannya, terpaksa berbuat yang tidak menyenangkan warganya. Dia usul, meski begitu untuk merebut sesuatu negara, si penakluk mesti mengatur langkah kekejaman sekaligus sehingga tidak perlu mereka alami tiap hari kelonggaran harus diberikan sedikit demi sedikit sehingga mereka bisa merasa senang.
Untuk mencapai sukses, seorang Pangeran harus dikelilingi dengan menteri-menteri yang mampu dan setia. Machiavelli memperingatkan Pangeran agar menjauhkan diri dari penjilat dan minta pendapat apa yang layak dilakukan. Menurut Asvi Warman Adam bahwa “Sejarah mengajarkan kepada kita apa yang tidak dapat kita lihat, untuk memperkenalkan kita kepada penglihatan yang kabur sejak kita lahir”. Wineburg (2006: vii).
Namun menurut kami tujuan dari sejarah mengajarkan kita sebuah cara menentukan pilihan untuk memptertimbangkan berbagai pendapat untuk membawakan berbagai kisah dan meragukan sendiri bila perlu kisah-kisah yang kita bawakan.
Filosofi politik dari Machiavelli adalah nilai-nilai yang tinggi atau yang dianggap tinggi dan penting berhubungan dengan kehidupan dunia, khususnya menyangkut kemasyhuran, kemegahan serta kekuasaan belaka, karena sangat menolak adanya hukum alam yang berlaku secara universal bagi seluruh manusia dan umat manusia di jagat ini. Ia menolak pandangan tersebut dengan mengemukakan bahwa kepatuhan kepada hukum tersebut bahkan hukum apapun sangat tergantung apakah semua itu sesuai dengan kekuasaan, kemasyhuran, dan kemegahan sebagai nilai-nilai tertinggi.
Persoalan dasar filsafat Machiavelli adalah bagaimanakah cara seorang pemimpin itu dapat membela kekuasaannya, menjaga stabilitas keamanan negaranya dan juga kesejahteraan rakyatnya. Machiavelli adalah seorang yang realistis dan tampil berhadapan dengan realitas konkret dunia politik, dunia kekuasaan dan dunia penataan negara. Menghindari keterpecahan, mencegah invasi pihak-pihak luar, mengalahkan musuh yang mengancam kekuasaan dan wibawa pemerintahan serta mempertahankan keutuhan negara dan sejenisnya adalah persoalan konkret yang dihadapi oleh Machiavelli.
Niccolo Machiavelli merupakan seorang pemikir politik dan sosial yang memberikan kontribusi besar bagi perkembangan perpolitikan di Eropa pada abad ke 15-16 M. Kontribusinya yang masih dikenal hingga saat ini adalah bukunya yang berjudul “The Prince” dimana tulisan ini hadir karena pada masanya Machiavelli melihat bobroknya sistem pemerintahan yang ada disebabkan karena lemahnya penguasa pada saat sehingga tulisannya ini merupakan jawaban bagaimana seorang penguasa seharusnya bertindak agar tetap mempertahankan kekuatannya sebagai seorang penguasa.
Menurut Machiavelli seorang pemimpin bertindak berdasarkan kondisi lingkungan sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa pemimpin tersebut akan melakukan hal-hal negatif. Selain itu, menurut Machiavelli seorang penguasa harus memiliki sifat-sifat positif dan negatif hanya jika itu dibutuhkan sehingga ini akan menjadi seorang penguasa yang kuat dan dapat membawa negaranya menjadi negara yang unggul, maju dan besar.
Dengan demikian dapat kita ambil benang merah dari pemikiran Machiavelli bahwa selayaknya seorang pemimpin harus dapat bersikap fleksibel sehingga dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan sekitar sehingga ia dapat terus bertahan dan selain itu ia juga memiliki sifat-sifat positif maupun negatif yang diperlukan untuk memajukan negaranya.
Abad pertengahan merupakan zaman dimana negara berada di bawah dominasi kekuasaan rohani gereja Katolik. Segala bentuk kekuasaan, hukum, undang-undang, serta pranata-pranata sosial masyarakat dikaitkan dengan Tuhan. Tuhan menjadi sumber dan pusat segala kegiatan manusia. Model kekuasaan ini mulai mengalami krisis ketika manusia mulai menyadari dirinya sebagai makhluk yang bebas. Awal kesadaran manusia inilah yang disebut sebagai pencerahan atau zaman Renaissance. Zaman Renaisaance memunculkan para tokoh dan filsuf besar yang berjuang melawan dominasi agama.
Salah satu tokoh Renaissance yang terkenal adalah Machiavelli. Ia mempersoalkan tentang kekuasaan gereja yang sangat mendominasi negara. Ide pokok pemikirannya adalah negara jangan sampai dikuasai oleh agama, sebaliknya negara harus mendominasi agama. Menurutnya, agama dapat mendukung patriotisme dan memperkuat pranata-pranata kebudayaan. Konsep ini dibuatnya berdasarkan pemahamannya tentang agama Romawi kuno, bukan berdasarkan realitas kekristenan pada masanya. Menurutnya, agama Romawi kuno lebih bersifat integratif dibandingkan agama Kristen. Agama Romawi kuno berhasil mempersatukan negara, membina loyalitas, dan kepatuhan rakyat terhadap otoritas penguasa Romawi.
Gagasan pragmatis Machiavelli tidak hendak mengatakan bahwa ia seorang ateis. Hal yang ia persoalkan dalam agama bukanlah ada tidaknya Tuhan, tetapi fungsi agama dalam kehidupan masyarakat dan politik. Dengan adanya gagasan yang demikian, sebetulnya Machiavelli berhasil memperlihatkan bahwa agama tidak sekeramat yang disangka orang. Agama hanyalah salah satu pranata dalam kehidupan bermasyarakat yang bisa difungsikan. Menurutnya, penguasa yang cakap adalah dia yang mampu melihat agama sebagai suatu kekuatan yang bisa digunakan untuk memperkuat negara atau melayani kepentingan negara.
Dalam melihat fungsi dan peran agama, Machiavelli memberikan kritik terhadap cara hidup kaum klerus dan kekristenan. Ia mengkritik kekristenan yang terlalu menyanjung dan memuliakan orang-orang yang sederhana dan yang senang berkontemplasi dari pada orang yang suka bertindak. Kekristenan terlalu mengidealkan kelembutan dan kerendahan hati dan amat meremehkan hal-hal duniawi. Kekristenan juga ikut membentuk sikap egois masyarakat, sehingga masyarakat mengabaikan negara sebagai persekutuan politik dan lebih mementingkan kepuasan rohani secara pribadi. Gereja dan pemimpin agama yang seharusnya mengajarkan nilai kebaikan dan moralitas, justru menjadi penyebab kemerosotan moral dan iman yang pada akhirnya menghancurkan Italia.
Dalam situasi kekacauan serta kemerosotan moral masyarakat, Machiavelli menganjurkan kepada kekristenan dan kaum klerus untuk kembali menghidupkan prinsip dan nilai awali, sehingga kekristenan dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Para pemimpin Gereja yang telah menyimpang dari prinsip dasar kekristenan dihimbau untuk menghidupkan kembali prinsip-prinsip yang telah diletakkan oleh pendiri. Jika kekristenan dan kaum klerus dapat hidup sesuai dengan semangat awali, maka dengan sendirinya negara dan masyarakat akan menjadi beradab.
Agama dikatakan memiliki kekuatan, karena dalam agama terdapat nilai politis yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan negara. Nilai politis agama yang dimaksudkan Machiavelli antara lain adalah: agama dapat membentuk moralitas masyarakat, agama mampu mempersatukan masyarakat, agama dapat dijadikan sebagai alat bagi penguasa untuk mencapai kekuasaan, serta memudahkan suatu Negara. Berdasarkan sejarah Romawi kuno, agama dapat membangkitkan keberanian tentara.
Sebagai seorang tokoh humanis sejati, Machiavelli mempelajari dan mengagumi sejarah serta karya manusia, termasuk agama pada zaman purba. Bagi Machiavelli, agama merupakan salah satu karya manusia yang patut mendapat pujian tertinggi.
Dalam Discoursus, Machiavelli menulis: "Di antara orang-orang yang pantas dipuji, yang paling pantas dipuji adalah para pemimpin dan pendiri agama-agama”.
Dalam menguraikan pendapatnya tentang politik agama, Machiavelli terispirasi oleh sejarah kerajaan Romawi kuno serta oleh berbagai situasi yang terjadi di sekitarnya. Berikut ini faktor-faktor yang melatar belakangi pemikiran Machiavelli tentang nilai politis agama:
Machiavelli juga mempersoalkan interpretasi agama tentang semangat dan penghayatan kekristenan. Menurutnya, semangat dan penghayatan yang diajarkan oleh kekristenan adalah keliru. Ketika itu agama Kristen ditafsirkan sebagai agama bagi manusia yang lembut dan rendah hati serta yang cinta akan pengorbanan. Machiavelli menghendaki reformasi di bidang keagamaan yang menunjang perkembangan patriotisme. Reformasi yang dikehendakinya adalah usaha reinterpretasi tentang semangat kekristenan secara baru, yakni agama yang aktif dan peka terhadap realitas, agar dari sana terhembus suatu kekuatan, sehingga membangkitkan semangat masyarakat dan menyelamatkan mereka dari dekadensi moral.
Intisari
Ide atau pemikiran Machiavelli sangat cemerlang. Ketajaman gagasannya sangat bermanfaat sebab selain cocok dengan keadaan Italia pada waktu itu juga menjadi inspirator bagi negara-negara yang lain. Perhatiannya terhadap negara dan penguasa menjadi bukti cinta dan perhatiannya terhadap negaranya yang sedang kacau pada zaman itu. Itulah wujud suatu kerinduan akan suatu keadaan negara yang baik dan kuat. Keinginan untuk memperbaiki pola-pola struktur tradisional yang mapan terungkap di dalam ide atau gagasannya.
Menurutnya negara yang baik adalah negara yang memiliki sistem militer yang kuat dan penguasa yang berjiwa besar untuk mempertahankan kekuasaannya. Penguasa dapat bertindak bebas menurutnya yang dapat bermanfaat demi kekuasaan. Negara yang baik harus membangun tatanan kota yang kuat agar seluruh rakyat dapat hidup aman dan tentram. Selain itu perlu ada pemisahan yang jelas antara kekuasaan agama dan kekuasaan negara, dalam hal ini agama tidak boleh mencampuri urusan negara. Agama harus berada di bawah negara. Dengan demikian jelas bahwa negara dan penguasa menjadi kokoh, kuat dan tegar dalam menghadapi tantangan dan serangan dari luar. Penguasa dapat mempertahankan kekuasaannya dengan baik.
Teori kekuasaan negara yang dikemukakan Niccolo Machiavelli dalam bukunya II principle dalam bab 19 bahwa, “Penguasa, yaitu pimpinan negara haruslah mempunyai sifat-sifat seperti kancil dan singa. Ia harus menjadi kancil untuk mencari lubang jaring dan menjadi singa untuk mengejutkan serigala.”