Dikotomi dunia perencanaan dan dunia politik merupakan isu yang telah lama diperdebatkan oleh para hali perencana. Perdebatan itu terjadi seputar dua paradigma yang menyatakan bahwa perencanaan adalah proses non-politis dan non-partisan. Sedangkan paradigma yang lain menyatakan bahwa perencanaan amat erat kaitannya dengan kepentingan, aktor, dan proses politik yang terjadi didalam lembaga publik. Pendekatan politis dalam dunia perencanaan sudah saatnya untuk diungkapkan sebagai usaha perencana dalam memahami realita politik dalam proses perencanaan yang terjadi di masyarakat.
John Friedman (1989) menyatakan sebuah permasalahan dalam memahami relasi perencanaan dan politik dan menaruhnya dalam konteks teori adalah ambivalensi perencanaan terhadap power.
Pendekatan yang konvensional terhadap proses perencanaan yang mengutamakan proses penyusunan dokumen semata akan memberikan keleluasaan kepada para politisi dengan membekali mereka sebuah buku ajaib guna merasuk dalam pertemuan politik atau konsultasi dengan para donor. Argumen yang dibangun oleh para perencana akan menjadi asumsi bagi para politisi sebagai alat kepentingan yang mereka miliki, yang notabene identik dengan kepentingan pragmatis. Perencana tidak jarang menyerahkan “nasib” hasil perencanaan yang dihasilkan kepada politisi. Sehingga, bias antara tujuan perencanaan dengan produk perencanaan setelah melewati proses politik bisa sangat berbeda.
Dalam memahami power sebagai sebuah bagian dari perencanaan, maka kita harus dapat menaruh sebuah titik tolak, yaitu peran power dalam sebuah proses perencanaan ialah proses dalam mempengaruhi keputusan publik yang dibuat dan produk perencanaan yang dihasilkan. Proses perencanaan akan selalu menjadi sebuah proses dalam mempengaruhi alternatif-alternatif yang mungkin diambil dalam penataan ruang sebuah kota atau wilayah.
Luke (1974) mengungkapkan konsepsi kekuasaan sebagai sebuah kepentingan dalam berusaha memenuhi kepentingan rakyat dengan menguasai atau menghindari oposisinya. Dahl (1986) mengungkapkan kekuasaan sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi seseorang untuk mengerjakan sesuatu yang bilamana tanpa itu maka ia takkan mengerjakannya. Flyvbjerg (2002) memberikan definisi power sebagai “the ability or capacity to perform or act effectivelly, including the situation where not to act is most effective”
Diding (2001), menjelaskan peran masyarakat yang berbeda-beda untuk tiap bentuk tradisi perencanaan. Peran tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh peran negara sebagai wadah entitas dalam tradisi perencanaan tersebut.
Demokrasi yang terjadi di Indonesia membawa sebuah perubahan besar dalam paradigma perencanaan pembangunan. Perencanaan yang pada awalnya sebuah proses teknis ekonomis yang berasal dari rezim penguasa bergeser menjadi sebuah proses partisiapasi yang menuntut pelibatan serta akses yang sama dalam melakukan intervensi untuk memutuskan sebuah kebijakan yang terkait dengan kepentingan publik.
Maka demikian paradigama perencanaan tersebut sudah membuka ruang publik untuk kelompok-kelompok kepentingan dalam menyalurkan aspirasi dengan tingkat political power yang diperhitungkan dan bukan sekedar penggembira semata. Kelompok-kelompok kepentingan mulai memutuskan keterlibatannya dalam usaha-usaha yang menyangkut kepentingan publik. Pengawasan, pemberian usulan konsep, sampai pada demonstrasi telah menjadi praktek yang umum dari sebuah proses politik dalam perumusan kebijakan pembangunan. Hal ini dilakukan dalam usaha untuk memperbesar pengaruh dan kekuatan politik, sehingga dapat mempengaruhi secara signifikan kebijakan pembangunan yang dibuat.
Ketika perencanaan dipandang sebagai sebuah alat dan metode dalam pengambilan keputusan dan tindakan publik, maka sudah sewajarnya dipahami akan adanya dimensi politik dalam perencanaan (Astuti dan Mirmasari, 2002). Dimensi politik dalam perumusan kebijakan pembangunan merupakan sebuah hal yang tidak dapat dipisahkan dari proses perencanaan sebagai sebuah tindakan yang rasional dan ilmiah.
Didalam pelaksanaannya sering sulit menggariskan antara apa yang disebut formulasi kebijaksanaan dan apa yang disebut perencanaan, terutama sekali jika hal ini dipandang dari sudut para perencana. Kenyataannya pengambilan kebijaksanaan lebih banyak dibuat oleh para politisi dari pada oleh para perencana. Meskipun keputusan tersebut akan didasarkan pada informasi dan alternatif yang diajukan oleh staf perencana (Conyers, 1991 : 33).
Few (2001) menyatakan bahwa karakteristik kekuasaan dalam melakukan intervensi dibentuk oleh motif, sumberdaya, dan taktik. Pernyataan ini menjelaskan sebuah arena politik dan keterkaitan antar sebuah hasil perencanaan dengan proses politik yang terjadi dalam sebuah arena politik.
Kebijaksanaan pembangunan membutuhkan pemahaman mengenai istilah dan konsep-konsep yang digunakan dan bagaimana kesemua ini dapat berubah menurut waktu dengan berbagai penafsiran yang berbeda oleh para pemegang kekuasaan dan kelompok kepentingan di tingkat nasional dan wilayah. Sebenarnya kebijaksanaan mewakili ideologi untuk membuat pertanyaan-pertanyaan politik selain menjadi alat pemerintah pada saat ini mencoba menyelesaikan masalah-masalah sosial ekonomi. Bagaimanapun adalah penting bagi kita untuk menganalisa cara-cara bagaimana kebijaksanaan dilaksanakan serta pengaruhnya, karena suatu pemahaman mengenai cara pelaksanaan pembangunan biasanya lebih banyak menggambarkan sikap serta kepentingan sosiopolitik dari pemegang kekuasaan dan kelompok-kelompok kepentingan yang dapat memberikan suatu dokumen perencanaan pembangunan. Ini memang menimbulkan masalah yang rumit untuk membedakan antara akibat-akibat yang direncanakan dari kebijaksanaan itu dengan akibat-akibat yang tidak direncanakan (Long, 1987 : 249).
Dalam pengkajian antropologi, pendekatan orientasi pelaku pada perencanaan pembangunan membutuhkan suatu pemahaman mengenai kerangka-kerangka struktur dan ideologi yang membatasi tindakan masyarakat desa. Selain itu juga memusatkan kepada proses yang melaluinya individu-individu dan kelompok-kelompok tertentu mengembangkan cara-cara untuk menghadapi wilayah yang sedang berubah. Hal ini membawa kepada pertimbangan yang lebih mendalam ke atas jaringan-jaringan perhubungan antara yang terlibat, pengkajian atas jaringan-jaringan sosial dan peralihan antara individu dan suatu gambaran mengenai bagaimana katagori para petani dan pengusaha tertentu memcoba memberi pengesahan kepada keputusan-keputusan serta tindakan-tindakan mereka dengan menggunakan nilai-nilai dan ideologi.
Implikasi utama analisa ini ialah bahwa penekanan pada kebutuhan untuk melihat kepentingan pembangunan dan perubahan ekonomi dari perspektif pelaku-pelaku atau penerima-penerimanya, dari “bawah” bukan dari atas. Ini juga memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk menghubungkan proses-proses dan kepentingan-kepentingan ini di tingkat lokal dengan struktur-struktur nasional, karena ia melihat petani dan pengusahan setempat sebagai unsur yang aktif dalam proses yang memungkinkan berlakunya transformasi pedesaan dan memberikan kemungkinan kepada kelompok-kelompok yang berada diwilayah mempengaruhinya baik secara langsung maupun tidak langsung, arah dan hasil pembangunan serta kebijaksanaan nasional.
Ini menunjukkan bahwa pendekatan yang berorientasi kepada pelaku (aktor) kemungkinan mempunyai fungsi yang lebih besar di dalam pengkajian pembangunan pedesaan seandainya pendekatan-pendekatan itu dimanfaatkan kepada kelompok-kelompok sosial yang analisasnya hanya didalam satu wilayah bukan semata-mata berada dalam kontek komunitas lokal. Dengan demikian seorang dapat memisahkan berbagai strategi ekonomi dan politik serta perspektif-perspektif mengenai perubahan dari sudut pandangan para pelaku dalam lingkungan sosial yang berbeda didalam struktur ekonomi atau geografis wilayah itu (Long, 1987 : 259).
Dengan itu, perencanaan pembangunan dapat memusatkan perhatian keatas kelompok-kelompok dan individu-individu tertentu yang mengontrol titik penting hubungan struktur sosio-ekonomi wilayah dan menggambarkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang bersifat diferen ditingkat keluarga, pekerjaan, dan kelompok sosial. Pendekatan seperti itu bertujuan untuk mengkombinasikan tingkat analisa dan mikro selain memberikan perhatian yang sama besarnya ke atas pola-pola kerja sama dan pengontrolan secara vertikal dan horizontal.
Aspek kedua adalah mengenai jenis-jenis organisasi dan agen-agen pembangunan yang diwujudkan untuk melaksanakan program yang khusus dan berkaitan dengan sifat hubungan mereka kepada badan-badan pemerintah pusat dan lokal. Dan rangkaian masalah ketiga adalah yang berkaitan dengan masalah yang menentukan objektivitas secara tepat serta usaha untuk mensukseskan berbagai kebijaksanaan khusus serta mendokumentasikan akibat-akibat yang direncanakan dan yang tidak di rencanakan dari kebijaksanaan pembangunan pedesaan (Long, 1987 : 261).