Di masa lalu, pendekatan yang paling dominan dalam pembangunan lebih mengacu pada pertumbuhan ekonomi yang mengacu pada pendapatan per kapita, keamanan pangan dalam kaitannya dengan ketersediaan pangan, dan kemiskinan dalam pengertian jumlah pendapatan yang rendah. Akan tetapi dalam sejarah perkembangannya, umat manusia mendapati kenyataan bahwa “pembangunan”, istilah yang mengemuka pada dekade 1940’an ini tidak dapat hanya disederhanakan dalam bentuk angka-angka pendapatan perkapita, tetapi juga terkait di dalamnya parameter kesejahteraan seperti pendidikan, kebebasan, dan demokrasi. Pembangunan semestinya berkaitan dengan bagaimana memajukan kesejahteraan dan meningkatkan kebebasan manusia. Kalaupun kemudian akan diukur dengan parameter pendapatan (income), hal ini hanyalah salah satu faktor yang menyumbang terhadap kesejahteraan dan kebebasan, tetapi bukan satu-satunya faktor. Itu artinya pertumbuhan ekonomi akan menjadi dasar pengukuran yang lemah untuk melihat kemajuan suatu negara. Karena bagaimana pun pembangunan merupakan upaya perluasan kemampuan rakyat (expansion of people's capability) dan lebih jauh lagi pembangunan merupakan pembebasan (development as freedom).
Dalam konteks tersebut, pemikiran dan gagasan Amartya Sen, nobelis dunia asal India, menjadi relevan dan penting disimak. Professor Sen adalah ilmuwan kelas dunia dengan kepedulian yang kuat terhadap hak asasi manusia. Memenangkan hadiah nobel di bidang ekonomi pada tahun 1998, gagasan Sen mengarah pada signifikansi kesejahteraan dan hak asasi manusia dalam teori dan praktik-praktik pembangunan. Ia memberikan landasan dan kontribusi dalam “welfare economics” dan mengembangkan pemikiran untuk mengembalikan dimensi etis dalam problem-problem ekonomi. Dalam teori-teorinya Amartya Sen menarik perhatian internasional terutama dalam rangka memajukan kesejahteraan, pembangunan manusia dan keamanan ekonomi. Baginya, pengingkaran terhadap hak asasi akan menjadi kendala bagi pembangunan manusia, karena jaminan akan hak asasi manusia dapat mengurangi resiko bencana sosial ekonomi. Hal ini jelas dapat diterapkan apabila anggota-anggota masyarakat memiliki sarana atau akses untuk mengadu, memperoleh kesempatan untuk mendapatkan informasi dan pengajaran yang mampu membuka wawasan dan kesadaran akan hak mereka.
Apa yang dicapai oleh Amartya Sen memang fenomenal. Lahir tahun 1933 di Santiniketan, Bengali Barat, India, Amartya Sen menghabiskan usia pendidikan dasar dengan pengaruh yang sangat kuat dari Rabindranath Tagore. Lebih dari separuh hidupnya dicurahkan pada masalah-masalah yang sehari-hari dihadapi oleh negara Dunia Ketiga, yakni kemiskinan, kelaparan dan pembangunan, dan keseluruhan gagasannya tersebut dikembangkannya dalam dunia pendidikan dan pengajaran di universitas. Beberapa karyanya adalah Development as Freedom (1999), On Ethics and Economics (1987), Poverty and Famines: An Essay on Entitlements and Deprivation (1982). Ilmuwan yang pernah bercita-cita menjadi bikshu ini kini menjadi guru besar ilmu ekonomi dan filsafat pada Trinity College di Cambridge, Inggris, dan beberapa universitas lain di dunia. Sen juga menjabat Presiden Asosiasi Ekonom Amerika. Menariknya, meskipun sebagian besar dari usianya dihabiskan di Amerika dan Inggris, Sen tetaplah seorang warga negara India.
Sebagai ilmuwan yang mengedepankan pentingnya restorasi etis dalam penerapan ilmu ekonomi teori-teori Sen merupakan terobosan penting dalam ekonomi pembangunan. Pada awalnya, obsesi keilmuan Sen memang terdengar klise dan banyak dicemooh, termasuk oleh profesornya di Cambridge, namun hal itu tidak menyurutkan keyakinan dan kesungguhan untuk terus bekerja mengkaji dan merevisi sejumlah parameter ekonomi pembangunan. Masa kecilnya di India yang akrab dengan kemiskinan membuatnya bertekad untuk mengenyahkan kemiskinan melalui ilmu ekonomi, hingga PBB akhirnya mengakui temuan-temuannya sangat signifikan untuk memetakan kemiskinan dan kelaparan di dunia. Hasil kerjanya dipandu oleh keyakinan bahwa ilmu ekonomi tidak hanya berurusan dengan pendapatan dan kekayaan, melainkan seharusnya juga berwajah manusia dengan dimensi moral yang kuat.
Dalam konteks human capital, idealnya manakala manusia mampu mengoptimalkan potensinya, akan maksimal pula kontribusinya untuk kesejahteraan bersama. Itu artinya, kesejahteraan suatu bangsa semestinya dapat dicapai dengan kekuatan rakyat yang berdaya dan menghidupinya. Namun dalam pemikiran Sen, hal tersebut menjadi tidak buntu manakala akses terhadap anggota masyarakat untuk memanfaatkan segala potensinya dan menentukan pilihan untuk mengembangkan hidupnya terbatas dan dibatasi. Bagaimanapun, penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan, salah satunya adalah persoalan aksesibilitas, baik kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial, termasuk pendidikan dan kesehatan, kebebasan mendapatkan informasi dan menyalurkan aspirasi serta kesempatan memperoleh pengamanan sosial. Akibatnya, manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat dilakukan (bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan, baik untuk kepentingan pengembangan kesejahteraan dirinya maupun pengembangan kesejahteraan bersama.
Optimalkan Potensi Manusia
Menurut Amartya Sen, peraih obel ekonomi dari India, pembangunan itu sesuatu yang menyejahterakan dan menyenangkan manusia. Bukan menindas, merampas hak asasi manusia, menumpahkan darah, serta menari-nari di atas penderitaan orang lain. Di dalam bukunya Development as Freedom (1999: 3) Sen mengatakan: ’’Development as a process of expanding the real freedoms that people enjoy. Focusing on human freedoms contrast with narrower views of development, such as identifying development with the growth of gross national product,or with the rise in personal incomes, or with industrialization, or with technological edvance, or with social modernization’’.
Jadi, pembangunan seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia mengembangkan hidup sesuai pilihannya. Asumsi pemikirannya, bila manusia mampu mengoptimalkan potensi, maka akan bisa maksimal pula kontribusinya untuk kesejahteraan bersama.
Dengan demikian, kemakmuran sebuah bangsa dicapai berbasiskan kekuatan rakyat yang berdaya dan menghidupinya. Menurut Sen, penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas. Keterbatasan akses mengakibatkan manusia tak ada pilihan untuk mengembangkan hidupnya. Manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat dilakukan, bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan. Dengan demikian, potensi manusia mengembangkan hidup menjadi terhambat dan kontribusinya pada kesejahteraan bersama menjadi lebih kecil. Aksesibilitas yang dimaksud Sen adalah terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), transparansi, serta adanya jaring pengaman sosial.
Temuan lapangan di Indonesia, tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Amartya Sen. Lesson learned yang diperoleh dari Yayasan Pemulihan Keberdayaan Masyarakat (konsorsium 27 jaringan dan ornop besar yang membantu masyarakat keluar dari krisis), menyimpulkan, penyebab kemiskinan adalah akibat ketiadaan akses yang dapat menunjang pemenuhan kehidupan manusiawi. Pada dimensi ekonomi, akibat distribusi akses sumber daya ekonomi yang tak merata menyebabkan rakyat miskin tak dapat mengembangkan usaha produktifnya. Pada dimensi politik, akibat rakyat miskin sangat sulit mengakses dan terlibat berbagai kebijakan publik, maka kebijakan tersebut tak menguntungkan mereka.
Kebebasan Tolak Ukur Pembangunan
Amartya Sen di dalam bukunya Development as Freedom (1999: 14-15) mengatakan, ’’Development has to be more concerned with enhancing the lives we lead and the freedoms we enjoy’’. Bagi dia, memperluas kebebasan adalah persoalan nilai. Dengan nilai, tidak hanya membuat hidup lebih kaya dan lebih tak terkekang, tetapi juga memberikan kepribadian sebagai masyarakat sosial, menjalankan apa yang diinginkan dan berinteraksi serta mempengaruhi dunia yang menjadi tempat seseorang hidup.
Pendapat Sen inilah untuk pertama kali perspektif kebebasan menjadi tolak ukur pembangunan. Sebelumnya, pembangunan dipahami sebagai usaha meningkatkan pendapatan, ia menjadi tolak ukur apakah pembangunan ada pada jalur yang benar atau tidak. Ada dua alasan mengapa Sen menggunakan perspektif ini, yaitu berhubungan secara berturut-turut pada evaluasi dan keefektivan (evaluation dan effectiveness) (1999: 18).
Pertama, alasan evaluatif. Penilaian atas kemajuan masyarakat harus didasarkan pada sejauh mana kebebasan manusia meningkat. Pada pendekatan normatif yang digunakan di sini, kebebasan individual digunakan secara kritis. Kesuksesan suatu komunitas masyarakat tertentu harus dievaluasi, terutama oleh kebebasan yang dinikmati anggota masyarakat. Posisi evaluasi ini disebar dari pendekatan fokus informasional normatif tradisional yang lebih, yang juga berfokus dengan variabel lain, seperti utilitas atau liberal prosedur (prosedural liberty) atau lewat pendapatan nyata. (Ibid., 18).
Memiliki kebebasan lebih dalam melakukan banyak hal, seseorang memiliki alasan untuk menilai, pertama adalah kebebasan pribadi secara keseluruhan. Kedua, pentingnya membantu mengembangkan kesempatan seseorang untuk mendapatkan hasil barang-barang berharga. Keduanya berhubungan dengan evaluasi dari kesuksesan atau kegagalan, tetapi juga merupakan prinsip menentukan dari inisiatif individu dan keefektivan sosial.
Kedua, alasan efektivitas. Besarnya kebebabasan meningkatkan kemampuan seseorang untuk membantu mereka dan juga untuk mempengaruhi dunia. Dan hal ini, merupakan pusat menuju proses pembangunan. Jadi, pencapaian pembangunan bergantung pada tingkat kualitas kebebasan rakyat.
2. Instrument Freedom Amartya Sen
Pembangunan adalah upaya untuk memperluas kebebasan riil yang dinikmati oleh rakyat, sehingga perluasan kebebasan dipandang sebagai tujuan utama pembangunan.
Bukti empiris menunjukkan bahwa kebebasan ekonomi dan politik saling memperkuat, sehingga peluang sosial di bidang pendidikan dan kesehatan melengkapi peluang seseorang untuk berperan serta dalam ekonomi dan politik serta mendorong inisiatif guna mengatasi berbagai kekurangannya.
Jelaslah pandangan dari Profesor Sen yang luas ini kontras dengan pandangan konvensional, yang melihat pembangunan melulu sebagai pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), peningkatan pendapatan pribadi, industrialisasi dan kemajuan teknologi, atau modernisasi sosial.
Pembangunan sebagai perluasan kebebasan substantif, mengharuskan berbagai sumber utama nonkebebasan disingkirkan, yaitu kemiskinan dan tirani, minimnya peluang ekonomi, penelantaran sarana umum, intoleransi atau campur tangan rezim reperesif yang berlebihan.
Dalam suatu kasus tiadanya kebebasan adalah akibat langsung dari hilangnya hak politik dan sipil karena tindakan pemerintah otoriter. Juga karena pembatasan terhadap kebebasan untuk berperan serta dalam kehidupan social, politik dan ekonomi.
Ada beberapa argumen mengapa sistem demokrasi dan kebebasan politik maupun sosial di negara berkembang :
Pertama: Kebebasan dan hak politik menghambat pembangunan, pandangan ini lazim dinamakan ”Lee Thesis”, pandangan ini tidak didukung oleh bukti empiris yang kuat. Bukti empiris menunjukkan bahwa pesatnya pertumbuhan ekonomi di negara berkembang disebabkan oleh iklim ekonomi yang menguntungkan daripada sistem politik yang keras.
Kedua: Jika kepada orang miskin diberikan pilihan apakah mereka menginginkan kebebasan politik atau pemenuhan kebutuhan ekonomi, maka tentu orang miskin itu memilih yang kedua, argumen inipun tidak mempunyai bukti empiris yang kuat.
Ketiga: Kebebasan politik dan demokrasi adalah konsep ”Barat”, yang tidak sesuai dengan ”nilai-nilai Asia”, yang menurut Lee Kuan Yew, bahwa lebih menekankan pada ketertiban serta disiplin diri dan disiplin sosial daripada kebebasan politik. Ternyata nilai-nilai Asia mempunyai keanekaragaman yang luas, sehingga menyamaratakan nilai2 Asia adalah cenderung keliru.
Pentingnya peranan demokrasi tertutama tampak dalam upaya mencegah terjadinya bencana kelaparan. Bencana ini telah membunuh berjuta-juta orang diberbagai negara otoriter, namun tidak pernah membunuh penguasanya.
Di negara-negara demokrasi, bencana kelaparan dapat menimpa kelompok penguasa dan para pemimpin politik. Ancaman ini mendorong mereka untuk mencegah terjadinya bencana kelaparan. Peran pers dan informasi yang transparan dan berharga akan mempengaruhi berbagai kebijakan, sehingga mencegah terjadinya bencana kelaparan.
Analisa Profesor Sen, bahwa kebebasan individu sebagai pondasi dari pembangunan, oleh karena itu persepektif ini memfokuskan perhatian kepada kemampuan semua orang untuk memilih kehidupan yang menjadi idaman dan memperkaya pilihan-pilihan riil yang ada.
Di dalam buku Development as Freedoms (1999: 38) Sen membagi kebebasan yang bersifat instrumental (instrumental freedoms) menjadi lima:
1. Kebebasan Politik (Political Freedoms)
2. Fasilitas Ekonomi (Economic Facilities)
3. Peluang Sosial (Social Opportunities)
4. Jaminan Transparansi (Transparency Guarantees)
5. Keamanan Protektif (Protective Security)
Sedangkan kebebasan memiliki elemen fundamental, yakni kapabilitas. Semakin besar kapabilitas seseorang, makin besar pula kebebasan yang dia miliki untuk merespons peluang-peluang yang ada. Begitu pula sebaliknya. Tentu saja, yang dimaksudkan Sen adalah peluang-peluang positif.
Kapabilitas berperan langsung menentukan kualitas martabat dan kualitas kebebasan seseorang. Selain itu, kapabilitas juga berperan tidak langsung dengan mempengaruhi perubahan sosial dan produksi ekonomi. Karena itu, tepat apa yang dirumuskan Sen, kemiskinan terjadi akibat perampasan kapabilitas (capability deprivation). Kapabilitas ini dapat ditingkatkan lewat aturan-aturan hukum publik, tetapi juga arah dari hukum publik ini dapat dipengaruhi untuk kegunaan efektif kapabilitas partisipator dari publik itu sendiri. Hubungan dua arah merupakan pusat untuk menganalisis pembangunan ini. (Sen, 1999: 18).
Ini berbeda dengan mereka yang menggunakan perspektif pendapatan yang mengatakan, kemiskinan adalah rendahnya pendapatan. Perampasan kapabilitas mengakibatkan orang mengalami ketidakmampuan (inability) mendapat kebutuhan dasar seperti tidak mampu memperoleh makan dengan gizi cukup, memiliki rumah, termasuk tidak mampu mendapat pendidikan. (On Economic Inequality, 1997).
3. Optimisme Politik Pembangunan Sumatera Utara dalam “Instrumen Freedom” Amartya Sen
Apakah pandangan Instrument Freedom Profesor Sen, bahwa upaya pengembangan dan memperkokoh sistem demokrasi sebagai komponen penting pembangunan, cocok untuk Sumatera Utara?
Karena di Sumatera Utara para pemimpin politik (Guberbur/ Walikota/ Bupati) beserta teknokratnya berpendirian bahwa, satu-satunya jalan untuk meningkatkan taraf hidup penduduk dan membangun daerah yang kuat sehingga setara dengan daerah-daerah maju adalah dengan mencapai pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi yang pesat.
Struktur politik di Sumatera Utara hari ini, yang terkesan normatif tanpa ada grand desain pembangunan masyarakat, sehingga mengakibatkan stagnanisasi pembangunan yang produktif. Hal ini mungkin efek dari problem klasik dan terdahulu, yaitu banyaknya kasus-kasus korupsi para pemimpin politik mulai dari Gubernur, Walikota/Bupati, dan jajaran-jajaran struktural di Sumatera Utara. Dan lagi ditambah dengan kebutuhan anggaran daerah (APBD) yang sangat terbatas mengakibatkan laju pertumbuhan pembangunan di Sumatera Utara akan terhambat.
Persoalan terbatas anggaran belanja daerah (APBD) Sumatera Utara dan perhatian khusus Pemerintah pusat adalah persoalan yang mendapat sorotan yang tajam dari kalangan tokoh-tokoh di Sumut. Issu Sumut Merdeka tak ayal menjadi propaganda ultimatum yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh Sumatera Utara. Alasannya adalah pembangunan Sumut hari ini yang terkesan stagnan alias jalan di tempat bukan hanya pekerjaan rumah pemerintah provinsi, tetapi juga bagaimana perhatian khusus pemerintah pusat dalam melihat Sumut secara sadar. Daerah yang memiliki produktivitas sumber daya alam yang luas dan industrialisasi provit yang besar, tetapi miris provinsi ini hanya mengalami implementasi pembangunan yang tak berbanding setimpal di banding daerah lain.
Dengan kondisi demikian, persoalan pembangunan Sumatera Utara juga disebabkan oleh faktor-faktor politik, termasuk instabilitas politik di jajaran pemprovsu, suksesi politik, meningkatnya kasus korupsi, dan represi terhadap segala lapisan politik.
Jadi, kebebasan politik memang merupakan unsur yang sangat penting dalam seluruh kebebasan yang harus dimiliki oleh bangsa-bangsa untuk menempuh kehidupan sebagaimana yang dikehendaki. Namun kebebasan politik bukan satu-satunya instrument freedom, kebebasan lainnya adalah:
a. Fasilitas Ekonomi: peluang untuk memanfaatkan berbagai sumber ekonomi dengan tujuan konsumsi, produksi dan pertukaran di Sumatera Utara, seperti tersedianya uang dan akses pada uang.
b. Fasilitas sosial: program pendidikan dan kesehatan Sumatera Utara, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat yang menjadikan seseorang memiliki kebebasan substantif agar dapat hidup lebih baik.
c. Jaminan Transparansi: kebutuhan tentang keterbukaan, termasuk pengungkapan fakta guna mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di Sumatera Utara.
d. Jaminan Perlindungan: Pemerintah Sumut memberikan jaring pengaman sosial kepada orang-orang yang menanggung kemiskinan bukan karena kesalahan sendiri.
Oleh sebab itu, optimisisme pembanguan Sumatera Utara jika kita telaah dalam “Imperatif Strategi dan Prioritas Pembanguan Sumatera Utara” menjelaskan bahwa terlalu banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh pemerintahan yang baru, namun sumber daya (waktu, anggaran, dan personil) sangatlah terbatas. Untuk itu, Prioritas adalah hal yang mutlak perlu dirancang dan dikedepankan dalam menjalankan program-program perbaikan (transformasi). Apa yang perlu dilakukan dan bagaimana pemerintah dapat mengimplementasikannya, mengingat sumber daya yang dimiliki sangat terbatas? Adalah pertanyan hari ini yang belum terjawabkan.
Untuk itu terdapat 10 Tantangan Strategis Sumatera Utara setidaknya dalam 5 tahun ke depan. Untuk itu, Pemprov perlu menyusun Imperatif Strategis untuk menjawab Tantangan Strategis tersebut disusun berdasarkan urutan Tantangan Strategis, sebagai berikut:
1. Peningkatan Produktifitas dan Nilai Tambah Produk Andalan Daerah
2. Pengembangan Pola Pendanaan Pembangunan yang Kreatif dan Berisiko Rendah
3. Pemberantasan Korupsi
4. Peningkatan Kinerja Pelayanan Publik
5. Peningkatan Kepastian Hukum
6. Pembangunan Infrastruktur yang Memadai
7. Peningkatan Supply Energi
8. Peningkatan Kejelasan Status Tanah dan Tata Ruang
9. Peningkatan Pariwisata, Pelestarian Budaya dan Perhatian terhadap Lingkungan
10. Pengembangan Kompetensi SDM
Dalam mengimplementasi Imperatif Strategis tersebut, Pemprov Sumut menghadapi keterbatasan sumber daya. Waktu penyelenggaraan pemerintahan yang berdurasi 5 tahun, anggaran yang terbatas (sekitar 8 Triliun), dan personil yang terbatas dalam sisi jumlah dan kemampuan menjadi tantangan terbesar untuk menjawab Tantangan Strategis tersebut. Oleh karenanya, Pemprov mutlak perlu melakukan prioritasisasi terhadap program-program yang akan diimplementasikan dalam 5 tahun ke depan.
Untuk menyusun prioritas, Dua hal utama perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan program pilihan: Manfaat Program yaitu manfaat yang dapat dirasakan oleh warga Sumut, baik secara financial/ kuantitatif maupun non financial/ kualitatif; dan Kemudahan Implementasi Program yaitu kemudahan untuk memperoleh/ mengalokasikan sumber daya yang dibutuhkan (waktu, anggaran, dan personil) maupun kemudahan untuk membuat keputusan/ mengatur stakeholder yang terlibat (terkadang keputusan untuk implementasi program tidak berada di pemprov).
Diharapkan konsep Imperatif Strategi dan Prioritas dengan 10 tantangan strategi pembangunan Sumatera Utara tersebut dapat memberikan nafas optimisme positif dalam mengimplemasikan pembangunan jangka panjang Sumatera Utara dalam menjawab segala keterbatasan pembangunan yang terdapat di Sumatera Utara menurut “Instrument Freedom” Amartya Sen.
Pemikiran mengenai cara pembangunan yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat telah banyak dikemukakan, sehingga konsep pembangunan memiliki kekhasanya tersendiri dan masing-masing memiliki kelemahan serta kelebihan. Amartya sen mengungkapkan pemikiran kebebasan untuk mensiasati pembangunan yang dilakukan oleh negara. Kebebasan ini dapat digunakan sebagai tujuan pembangunan (Constitutive Freedom ) dan sekaligus sebagai cars pembangunan (Instrumental Freedom). Sebagai tujuan pembangunan kebebasan ini dapat berakibat langsung terhadap pengangkatan hak-hak asasi manusia sehingga terhindarnya masyarakat dari berbagai ketertindasan akibat pembangunan.
Sedangkan kebebasan sebagai cara dapat digunakan sebagai penunjang dan mempercepat keberhasilan pembangunan. Terdapat 5 instrumen freedom, pertama kebebasan politik (political freedom), kedua fasilitas ekonomi (economic facilities), ketiga peluang-peluang sosial ( social opportunities ), keempat jaminan keterbukaan (transparency guarantes), dan kelima perlindungan keamanan ( protective security ).
Kedua kebebasan ini dapat berakibat langsung bagi kehidupan masyarakat. Masyarakat dapat berpartisipasi atau berperan aktif serta kereatif dalam alam pembangunan. Aktif serta kreatifnya masyarakat dalam kehidupanya disebabkan adanya kebebasan yang diciptakan oleh pemerintah melalui kebijakan pembangunan. Kebijakan pembangunan yang berdasarkan kebebasan akan berdampak masyarakat mampu mengembangkan dirinya serta dapat memberikan sumbangsih langsung bagi pembangunan. Sehingga pembangunan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah saja akan tetapi melibatkan peran serta masyarakat.
Karena pada akhirnya pembangunan ditujukan guna mengangkat nilai serta kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat yang bebas adalah masyarakat yang mampu menentukan segala yang menjadi pilihannya, pilihan yang dilakukannya untuk kepentingan pemenuhan hidupnya. Adanya kebebasan ini menjadikan masyarakat terhindar dari berbagai kekurangan dan bencana yang berakibat lebih patal. Dengan adanya kebebasan ini pula menjadikan masyarakat dapat memenuhi segala kebutuhan hidup serta memiliki peluang yang lebih besar untuk menentukan segala yang menjadi pilihanya. Dengan demikian kebebasan ini pada akhimya dapat menjadikan masyarakat lebih peduli terhadap pembangunan dan dapat maenjadikan masyarakat lebih mampu untuk menjalankan hidupnya lebih baik .
Rizkie Maulana
Mahasiswa Magister Studi Pembangunan USU