Joel S. Migdal merujuk kemunculan local strongman, salah satu sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki diantaranya adalah dari kekayaan yang dimiliki oleh pimpinannya sebagai tuan tanah atau orang kaya. Migdal mencoba menerangkan tentang orang kuat lokal yang berhasil melakukan kontrol sosial. Dalam konteks ini, Migdal mengatakan:
”... Mereka berhasil menempatkan diri atau menaruh anggota keluarga mereka pada sejumlah jabatan penting demi menjamin alokasi sumber-sumber daya berjalan sesuai dengan aturan mereka sendiri ketimbang menurut aturan-aturan yang dilontarkan dalam retorika resmi, pernyataan kebijakan, dan peraturan perundang-undangan yang dibuat di ibu kota atau dikeluarkan oleh pelaksana peraturan yang kuat”.
Mengenai fenomena orang kuat lokal tersebut, Migdal memiliki tiga argumentasi yang saling berkaitan, yaitu:
Pertama, Orang kuat lokal tumbuh subur di dalam masyarakat ”mirip jaringan” yang digambarkan sebagai ”sekumpulan campuran (melange) organisasi-organisasi sosial nyaris mandiri” dengan kontrol sosial yang efektif ”terpecah-pecah”. Pola kontrol sosial khusus terpecah-pecah ini, menurut dugaan, acapkali diakui melebur dalam pemerintahan kolonial dan penyatuannya di dalam perkuburan kelas-kelas pemilik tanah besar. Singkat kata, berkat struktur masyarakat mirip jaringan, orang kuat lokal memperoleh pengaruh signifikan jauh melampaui pengaruh para pemimpin negara dan para birokrat lokal yang digambarkan Migdal sebagai ”segitiga penyesuaian”.
Kedua, Orang kuat lokal melakukan kontrol sosial dengan menyertakan beberapa komponen penting yang dinamakan ”strategi bertahan hidup” penduduk setempat. Dengan kondisi seperti itu, orang kuat bukan saja memiliki legitimasi dan memperoleh banyak dukungan di antara penduduk lokal, tetapi juga hadir untuk memenuhi kebutuhan pokok dan tuntutan para pemilih atas jasa yang diberikan. Para penulis yang diilhami Migdal cenderung membingkai diskusi mereka dengan istilah ”personalisme”, ”klientisme”, dan ”hubungan patron-klien”. Pola ini kemudian juga terjadi karena orang kuat lokal ditempatkan sebagai patron yang memberi kebaikan personal bagi klien yang melarat dan para pengikut di daerah kekuasaan mereka.
Ketiga, berhasilnya orang kuat lokal ”menangkap” lembaga-lembaga dan sumber daya negara merintangi atau menyetujui upaya pemimpin negara dalam melaksanakan berbagai kebijakan. Orang kuat lokal membatasi otonomi dan kapasitas negara, penyebab kelemahan negara ”dalam menjalankan tujuan berorientasi perubahan sosial, serta memperbesar ketakterkendalian dan kekacauan. Sepanjang keberhasilan strategi industrialisasi dan pertumbuhan amat tergantung pada penyusunan dan pelaksanaan kebijakan negara yang saling bertautan efektif.
Dalam posisinya sebagai pelaku, elit politik lokal sangat mungkin memperoleh pembatasan (constraining) atau pemberdayaan (enabling) dari struktur (structure). Struktur yang ada terbuka kemungkinan untuk dimaknai secara berbeda oleh elit politik lokal yang berasal dari berbagai kalangan. Elit politik lokal dari kalangan tertentu dapat memberi makna struktur yang ada sebagai pembatasan; namun bagi elit politik lokal dari kalangan berbeda struktur tersebut dimaknai sebagai pemberdayaan.
Adapun elit politik lokal yang dimaksud adalah mereka yang menduduki posisi jabatan politik di ranah lokal. Perjalanan sejarah mencatat bahwa posisi mereka sebagai elit politik lokal mengalami ‘pasang naik’ dan ‘pasang surut’ paralel dengan perubahan yang terjadi. Mereka yang pada rentang waktu tertentu mengalami pembatasan dari struktur yang ada, berubah nasibnya menjadi mengalami pemberdayaan pada kurun waktu yang lain. Demikian pula ada di antara mereka yang semula mengalami pemberdayaan berubah menjadi mengalami pembatasan dari struktur.
Proses desentralisasi di negara berkembang seperti yang terjadi di Indonesia kerapkali disamakan dengan proses demokratisasi dan tumbuhnya civil society. Padahal ketiga proses tersebut merupakan proses yang berbeda. Pergeseran dari pemerintahan yang menerapkan sentralisasi kekuasaan ke pemerintahan yang menerapkan desentralisasi kekuasaan tidaklah sama artinya dengan peralihan dari pemerintahan yang otoriter ke pemerintahan yang demokratis. Pergeseran dari pemerintahan yang menerapkan sentralisasi kekuasaan ke pemerintahan yang menerapkan desentralisasi kekuasaan juga tidak secara otomatis menyiratkan terjadinya pergeseran dari negara yang kuat beralih menjadi civil society yang kuat. Melemahnya negara di tingkat pusat tidak secara otomatis menghasilkan demokrasi yang bertambah di tingkat lokal. Desentralisasi dalam kondisi tertentu justru bisa diikuti oleh pemerintahan yang otoriter.
Joel S. Migdal (2004) melihat fenomena diatas sebagai akibat bertahannya pengaruh “orang kuat lokal” di arena politik lokal. Kekuatan pengaruh dari “orang kuat lokal” bersumber dari terbentuknya segitiga akomodasi yang dibangun oleh aliansi “orang kuat lokal” bersama aparat birokrasi negara di tingkat lokal dan politisi di tingkat lokal. “Orang kuat lokal” berhasil menempatkan diri berada diantara rakyat dengan sumber daya yang vital seperti tanah, kredit dan pekerjaan. “Orang kuat lokal” memiliki kemampuan memberikan jaminan kestabilan politik di tingkat lokal dan melakukan kontrol sosial atas rakyat setempat. “Orang kuat lokal” juga memiliki kemampuan dalam memobilisasi rakyat.
Vedi R. Hadiz (2010) juga melakukan analisa mengenai fenomena “orang kuat lokal”, mesin politik lokal yang korup dan daya tahan beberapa kelompok otoritarian di kawasan Asia Tenggara yang sedang mengalami reformasi politik seperti Filipina, Thailand dan Indonesia. Justru melalui slogan tata pemerintahan yang baik, desentralisasi memberikan jalan bagi kebangkitan dan konsolidasi “orang kuat lokal”. Secata nyata desentralisasi telah dibajak oleh kepentingan predatoris atau penghisap lokal.
Dalam menganalisis interaksi kekuasaan antar elit politik di tingkat lokal terutama di perkotaan ada beberapa kesamaan pandangan tentang kekuasaan dianggap relevan. Setidaknya ada dua hal yang harus dianalisis. Pertama, aktivitas politik setiap elit atau kelompok elit dalam memperebutkan sumber-sumber, posisi, dan jabatan yang langka dalam masyarakat. Kedua, dalam memperebutkan kekuasaan politik, elit atau kelompok elit akan menghadapi dua kondisi, yakni konflik atau konsensus. Di satu sisi, elit akan menghadapi perbedaan, persaingan, dan pertentangan dengan elit politik lainnya. Namun, di sisi lain juga memungkinkan terjadinya kerjasama atau konsensus di antara elit politik. Terjadi tawar-menawar antar elit politik yang saling menguntungkan, sehingga kebutuhan dan kepentingan setiap elit politik terakomodasi.
Aspek fisik karena para pimpinan organisasi pemuda itu sering sekali menggunakan senjata
sebagai kekuatan ancaman terhadap orang lain (premanisme). Dari sisi ekonomi, kekuasaan diperoleh dengan memberikan pekerjaan kepada para pemuda yang tidak memiliki pekerjaan sebagai penjaga keamanan, petugas parkir atau sebagai penjual lotre (perjudian) seperti KIM, togel dan lain sebagainya. Fenomena tersebut hampir mirip dengan teori local strongmen yang dikemukakan oleh Migdal serta teori John T. Sidel tentang Bossism.
Konsep Local Bossism, John T. Sidel
Berbeda dengan Migdal, Sidel melihat bahwa fenomena yang disebutnya sebagai Bosisme merefleksikan strong state dibandingkan strong society. Ia melihat bosisme menunjukkan peran elit lokal sebagai predatory broker politik yang memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan koersif (tekanan) dan sumber daya ekonomi dalam wilayah teritorial mereka. Bosisme beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman.
Berkembangnya bossism lokal tersebut di sisi lain menunjukkan ketiadaan salah satu nilai-nilai demokrasi yang hendak dicapai dengan penerapan kebijakan desentralisasi, yaitu political equality. Konsep ini menyangkut tiga macam hubungan yaitu antarpemerintah (intergovernmental relation), antara negara dan masyarakat (state society relation); dan antara masyarakat dan masyarakat (society-society relation). Hubungan antarpemerintah meliputi kesetaraan antarlevel pemerintahan, baik secara vertikal maupun horizontal, dalam kewenangan mengatur dan mengurus. Penyelenggaraan pemerintahan daerah akan semakin kuat jika ada kesetaraan antara kewenangan dengan sumber keuangan yang dimiliki, kejelasan kewenangan antarberbagai tingkat pemerintahan, dan sebagainya. Hubungan antarnegara dan masyarakat merupakan refleksi dari daya tawar masyarakat terhadap berbagai keputusan yang diambil lembaga pemerintahan.
Fenomena Strong Man di Thailand dan Filipina
Fenomena dominasi “orang kuat lokal” berlangsung di Thailand era desentralisasi. “Orang kuat lokal” di Thailand berbentuk para “bapak pelindung” (Godfathers). Para godfathers atau dalam bahasa Thai disebut sebagai chao pho dikenal sebagai sosok yang kejam dan bengis terhadap musuhnya dan penyayang dan dermawan bagi pengikutnya. Di setiap provinsi di Thailand memiliki masing-masing chao pho. Salah satu chao po yang terkenal adalah Banharm Silpaarcha, penguasa Provinsi Suphanburi.
Banharm Silpaarcha menjadi anggota parlemen berkali-kali sejak tahun 1967 dengan perolehan suara 60-90 % suara pemilih. Banharm Silpaarcha juga pernah tiga kali menjadi menteri dan sekali menjadi Perdana Menteri di Thailand. Berasal dari keluarga pedagang kecil, Banharm Silpaarcha berhasil membangun jejaring politik dan jejaring ekonominya di Provinsi Suphanburi. Keberhasilannya terutama ditopang oleh aktvitasnya dalam mengatur dan mendapat komisi dari berbagai macam proyek pemerintah. Banharm Silpaarcha kerap melakukan mobilisasi Pegawai Negeri Sipil dan melakukan politik uang dalam pemilihan umum. Bahkan chao pho lainnya menggabungkan strategi penguasaan melalui politik uang dengan penggunaan kekerasan dan bisnis yang ilegal.
Fenomena “orang kuat lokal” juga menguat di arena politik lokal di Filipina, meski terjadi perubahan dari sentralisasi rezim yang otoriter ke desentralisasi rezim yang demokratis. Secara formal jatuhnya rezim Ferdinan Marcos membawa negara Filipina sejak tahun 1986 kembali menggunakan demokrasi sebagai satu-satunya aturan main.
Demokratisasi dan desentralisasi yang dilakukan pemerintahan Corazon Aquino dan Fidel Ramos sebagai pengganti Ferdinan Marcos ternyata tidak mengganggu dominasi para “bos lokal” dan keluarganya dalam penguasaan politik di tingkat lokal. Mereka tetap berkuasa dalam sistem yang lebih demokratis. Indikasinya diperlihatkan melalui kemenangan kembali keluarga politik Durano di Provinsi Cebu dan keluarga politik Ali Dimaporo di Provinsi Lanao.
Konfigurasi politik nasional Filipina pasca Ferdinan Marcos tetap dibangun dari jejaring “orang kuat lokal” yakni para “bos lokal”. Demikianpula para aktor politik utama di pentas nasional merupakan aliansi para “bos lokal”. Mayoritas aktor politik nasional merupakan mantan penguasa lokal. Keluarga Macapagal, Keluarga Aquino (Conjuanco) dan keluarga mantan Presiden Filipina lain merupakan nama-nama keluarga yang sebelumnya menjadi “bos lokal” di Filipina.
Orang Kuat di Era Desentralisasi
Sejatinya studi yang berkaitan dengan elit lokal telah dilakukan oleh beberapa kalangan, antara lain dilakukan oleh Abdur Rozaki (2004) dan Abdul Hamid (2006) . Studi tersebut memfokuskan pada peran yang dilakukan oleh elit lokal di tengah masyarakat, dan hubungan ‘patronage’ yang tercipta dalam kaitannya antara elit dengan massa. Studi tersebut juga menunjukkan hadirnya kekuasaan oligarkhis yang terbangun pada diri elit lokal yang sedemikian kokoh sehingga sulit untuk dikontrol oleh massa.
Menyusul tumbangnya rezim Orde Baru pada bulan Mei 1998, sistem politik mengalami perubahan dan era reformasi memberi peluang bagi berlangsungnya demokratisasi di Indonesia. Proses demokratisasi yang salah satunya terjewantahkan penerapan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah membawa dampak yang mengguncang keberadaan dan peran elit politik lokal yang telah mapan sepanjang rezim Orde Baru berkuasa.
Di era demokratisasi dan desentralisasi untuk memperebutkan dan mempertahankan posisi sebagai elit politik lokal harus dilakukan melalui proses kompetisi yang relatif ketat di antara individu-individu yang mengincar posisi tersebut. Hal ini tidak terjadi pada saat rezim Orde Baru berkuasa, di mana peran negara sedemikian dominan, kemunculan dan peran elit politik lokal tidak bebas dari campur tangan pemerintah.
Pada era otoritarian Orde Baru elit politik lokal lebih sering memainkan peran untuk mewujudkan kepentingan pemerintah pusat ketimbang merealisasikan kepentingan dan kebutuhan daerah. Elit politik lokal cenderung melakukan peran sebagai perpanjangan tangan negara, dalam hal ini pemerintah pusat, untuk mengkooptasi masyarakat sangat berkepentingan dalam hal memilih dan menentukan peran yang diemban oleh elit politik lokal. Keadaan tersebut di atas mengindikasikan bahwa sepanjang rezim Orde Baru mengendalikan roda pemerintahan, keberadaan dan peran elit politik lokal lebih banyak ditopang dan tergantung pada negara.
Hal ini dapat berlangsung karena negara yang direpresentasikan oleh pemerintah pusat mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Besarnya kekuasaan tersebut, salah satunya ditandai dengan kuat dan dominannya peran Kantor Kepresidenan, menjadikan segala urusan penyelenggaraan pemerintah sangat tergantung pada pemerintah pusat (Gaffar, 1999:150-152).
Runtuhnya rezim otoritarian Orde Baru pada tahun 1998 menandai mulainya perubahan peta politik Indonesia, dan dapat dibaca sebagai titik awal pelemahan peran negara di satu sisi dan menguatnya kontrol masyarakat pada sisi yang lain. Seiring berlangsungnya perubahan peta politik tersebut, keberadaan dan peran elit politik lokal tidak lagi sepenuhnya ditopang dan tergantung negara. Di era demokratisasi mereka mempunyai kesempatan untuk tidak lagi berperan sebagai perpanjangan tangan negara (pemerintah pusat).
Desentralisasi tidak otomatis meningkatkan politik ke arah yang lebih demokratis. Seringkali desentralisasi menjadi kontraproduktif bagi demokrasi. Dibutuhkan banyak usaha agar sistem politik yang telah terdesentralisasi benar-benar mendedikasikan diri untuk kepentingan rakyat dan mencegah kekuatan kelompok dominan dengan kemampuan fisiknya memanipulasi proses pemilihan umum di tingkat lokal. Tidak mengherankan apabila muncul fenomena “mafia-mafia” dalam pemerintahan lokal yang semakin menjauhkan rakyat dari proses politik.
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, menarik untuk mencermati keberadaan dan peran elit politik lokal. Tumbangnya rezim Orde Baru menghadirkan ruang yang lebih luas bagi elit politik lokal untuk mengekspresikan keberadaan dan perannya yang sebelumnya terkungkung dominasi pemerintah. Melemahnya peran negara yang diikuti dengan berkembangnya situasi kondusif bagi demokratisasi, menjadikan elit politik lokal berupaya secara mandiri untuk tetap dapat ‘survive’. Elit politik lokal harus mampu membangun pijakan baru sebagai basis kekuasaannya untuk menopang posisinya, hal ini karena mereka tidak mungkin lagi menyandarkan diri pada negara yang semakin lemah kontrolnya.
Desentralisasi di negara berkembang dalam prakteknya terkadang dipenuhi dengan konflik ekonomi, problem kinerja dan masalah korupsi. Elit di tingkat lokal lebih berhasil memanfaatkan desentralisasi dengan menguasai berbagai kelompok kepentingan ketimbang aktor-aktor lainnya. Arena elektoral yang kecil di tingkat lokal dijadikan ajang konsolidasi dan bertahannya kelompok otoritarian.
Beberapa peneliti Institute of Asian Studies yang berbasis di Hamburg, Jerman melakukan penelitian mengenai demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia pasca Orde Baru. Hasilnya menurut mereka ada beberapa kecenderungan yang terjadi di dalam desentralisasi di Indonesia.
Desentralisasi memberikan efek samping meningkatnya korupsi di daerah, meningkatnya politik uang, meningkatnya konsolidasi oligarki lokal, meningkatnya penggunaan sektarianisme dan kebangkitan primordialisme. Melalui intimidasi, diskriminasi dan kekerasan politik, desentralisasi berhasil dimanfaatkan oleh oligarki elit lokal. Oligarki elit lokal tersusun dari birokrat karir, pengusaha kaya, politisi partai dan anggota DPRD.
Fenomena kemunculan “orang kuat lokal” di era desentralisasi juga berlangsung di Indonesia. Hampir semua pengamat dan pemerhati Indonesiasepakat bahwa desentralisasi telah melahirkan “orang kuat lokal” yang memiliki akar di daerah. Politik uang dan kekerasan kian mewarnai pertarungan politik lokal. “Orang kuat lokal” mengandalkan agen-agen kekerasan yang secara kultural sudah ada sebelumnya seperti jawara di Banten atau dengan membentuk milisi-milisi baru. Selain memperalat partai politik, “orang kuat lokal” di beberapa daerah juga melakukan mobilisasi dengan mengeksploitasi politik etnis dan agama. Kekuatan politik etnis jauh lebih relevan di tingkat daerah ketimbang di tingkat nasional. Demikian juga hubungan darah, klan dan keluarga.
Politik lokal di Indonesia era desentralisasi menjadi ajang elit lokal memanfaatkan demokrasi elektoral untuk mengamankan jabatan eksekutif dan legislatif tingkat lokal kepada keluarga, kroni dan loyalis mereka. Beberapa “klan politik” berhasil menjadikan Provinsi ataupun Kabupaten/Kota sebagai daerah kekuasaannya dan menjauhkan desentralisasi dari demokrasi “akar rumput”. Kemampuan elit lokal tersebut ditunjang oleh kekayaan dan kemampuan politiknya untuk melakukan pembelian suara ataupun memanipulasi kesetian relijius dan etnik masyarakat setempat.
Maka demikian, perubahan sistem politik dari corak otoritarian menjadi demokratis membawa konsekwensi perubahan pada struktur yang ada. Jika semula, pada era otoritarian Orde Baru, struktur yang ada dimaknai sebagai pembatas atau pengekang bagi elit politik lokal tertentu, maka pada era reformasi yang kuat nuansa demokrasi, struktur yang ada tidak lagi dimaknai sebagai pembatas atau pengekang bagi elit politik lokal tersebut. Struktur baru yang ada pada sistem politik yang demokratis sekarang ini dapat dinyatakan memberi peluang yang sedikit banyak ‘memanjakan’ elit politik lokal yang akan memainkan perannya di dalam kancah perpolitikan era desentralisasi.
Home »
Desentralisasi
,
fenomena
,
Lokal
,
Orang Kuat
,
Politik
,
Strong Man
» Orang Kuat (Strong Man) Dalam Politik Lokal
Orang Kuat (Strong Man) Dalam Politik Lokal
Posted by Unknown
Posted on 14.20