Suatu kebijakan memperlihatkan bentuk perhatian dari pemerintah dan juga masyarakat tentang bagaimana membentuk dan mengatur aktivitas sosial, politik, budaya, dan ekonomi, termasuk aktivitas media agar dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan umum.
Sedangkan hukum, secara legal dan formal mengikat peraturan yang telah disahkan oleh badan pembuat Undang-undang, dilaksanakan oleh kekuatan eksekutif, dan proses hukumnya diatur oleh pengadilan. Kebijakan seringkali berubah menjadi hukum, agar kebijakan tersebut dapat menjadi sesuatu yang legal dalam mengikat seseorang dan perusahaan. Hukum dalam jurnalistik adalah aturan tertulis yang melindungi hak dan kewajiban jurnalistik yang bersumber dari nilai-nilai sosial, norma budaya dan kebutuhan kolektivitas dalam suatu negara dan kelompok masyarakat.
Di Amerika, kebijakan pemerintah diperoleh dari wakil rakyat yang dipilih dalam kongres atau badan pembuat undang-undang, yang ditetapkan hakim kepada berbagai pengadilan. Badan hukum juga membuat kebijakan berdasar pada keputusan mereka sendiri, seperti jenis jasa apa yang yang ditawarkan dan berapa harganya. Beberapa institusi yang penting dalam proses pembuatan kebijakan, antara lain: The Federal Communications Commission (FCC) yaitu komisi yang mengatur sebagian besar aspek komunikasi, The National Telecommunication and Information Administration (NITA) yaitu badan yang melindungi beberapa aspek dari kebijakan penelitian dan kebijakan Internasional, dan The Federal Trade Commission (FTC) yaitu komisi yang memonitor kegiatan perdagangan dan bisnis.
Kongres mengesahkan hukum tentang komunikasi. Departemen Kehakiman dan Sistem Peradilan, terutama Pengadilan wilayah Federal melaksanakan dan mengartikan hukum yang ada.
Terdapat dua pengertian hukum. Yakni Hukum dalam arti materiil dan hukum dalam arti formil. Dalam arti materiil, hukum adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat umum dan mengikat secara umum. Dalam arti formil, hukum adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat umum dan mengikat secara umum.
Perundangan memiliki dua pengertian. Pertama, merupakan proses pembentukan peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kedua, merupakan segala peraturan negara yang dihasilkan dari pembentukan peraturan-peraturan baik ditingkat pusat maupun daerah (Masduki, 2006).
Tiga prinsip dasar pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu:
Prinsip Yuridis: UU dapat muncul karena atribusi maupun delegasi dari aturan yang lebih tinggi misalnya konstitusi atau TAP MPR. Contoh: UU Penyiaran pengganti UU No. 24 tahun 1997 telah mendapat mandat untuk dibuat dari UUD 1945 yang diamandemen, TAP MPR yang memuat jaminan tehadap kebebasan informasi dan adanya kekurangan pengaturan pada UU Pers No. 40 tahun 1999 maupun UU No. 24/1997. Baik UUD 1945 maupun TAP MPR No. XVII/1999 belum secara rinci mengatur kehidupan penyiaran karena sifat keduanya yang begitu makro dan abstrak.
Prinsip Sosiologis: Kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Prinsip ini dimaknai secara komprehensif dengan melihat aktor-aktor yang terlibat dan kepentingan yang diakomodasi, bukan hanya menyangkut perluasan representative democracy melalui DPR/DPRD tetapi juga partisipatory democracy, sejauh mana partisipasi publik itu terserap sesuai dengan tuntutan dan juga harapannya.
Prinsip Filosofis: Setiap pembentukan peraturan perundangan mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan apa yang dapat mereka harapkan dari hukum yang akan dibentuk, misalnya sebagai sarana mencari keadilan, ketertiban dan kesejahteraan.
Meski demikian, menurut Masduki (2006), hukum adalah produk atau kristalisasi normatif dari kehendak-kehendak publik yang saling bersaing sehingga produk hukum memiliki karakter yang sesuai konfigurasi publik yang melahirkannya. UU sebagai produk hukum tidak berada di “ruang hampa”. Ia merupakan hasil dari proses politik dan ekonomi sehingga karakternya diwarnai konfigurasi kekuatan politik dan ekonomi yang melahirkannya.
Hak Sumber Berita Menurut Hukum Media
Sumber berita pada dasarnya merupakan bagian masyarakat yang berada di luar pers (bukan pengelola pers), yang informasi atau tidakannya sering dijadikan obyek pemberitaan. Mereka bisa berupa kalangan elite politik, birokrat pemerintah, pengusaha, manajer manajer suasta, pimpinan ormas, aktivis LSM, aktivis mahasiswa, pengamat, aktivis buruh, maupun kelompok masyarakat lainnya.
Ada beberapa hak yang dimiliki sumber berita, berdasar UU no 40 tahun 1999:
1. Hak Jawab (pasal 5, ayat 2)
Yaitu, hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
2. Hak Koreksi (pasal 5, ayat 3)
Yaitu hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
3. Hak mengadu kepada Dewan Pers
Apabila orang atau sekelompok orang tersebut merasa diberitakan secara tidak benar, dan tidak mendapatkan tanggapan yang layak. Dan Dewan Pers akan memberikan pertimbangan dan upaya menyelesaikan pengaduan itu (pasal 15, ayat 2d).
4. Hak untuk melaporkan kepada penyidik atau polisi
Apabila hak jawab tidak dilayani oleh pers yang bersangkutan. Berdasarkan ketentuan hukum pidana sebagaimana termuat pada pasal 18 ayat 2 UU no 40 tahun 1999, pers tersebut dapat didenda sebesar 500 juta rupiah.
5. Hak menuntut pers secara Hukum Perdata
Yaitu berupa somasi hingga penuntutan membayar ganti rugi, apabila pemberitaan pers benar-benar dirasakan merugikan sumber berita, karena kesalahan atau ketidakprofesionalan mereka dalam memberitakan.
Sedangkan konsumen pers adalah semua orang atau masyarakat yang menggunakan jasa pers untuk pemenuhan kebutuhan komunikasinya. Mereka ini bisa berupa masyarakat umum, atau siapapun, yang penting dia merupakan orang yang biasa menggunakan pers. Karena itu sumber berita-pun sebenarnya juga termasuk konsumen pers.
Menurut Undang-undang no 40 tahun 1999, konsumen pers mempunyai hak-hak sebagai berikut:
1. Hak masyarakat untuk tahu (pasal 6 ayat a)
Hak ini biasanya dikaitkan dengan hak masyarakat untuk mendapatkan berbagai informasi dari pers yang merdeka, pers yang tidak dikenakan penyensoran, pembreidelan atau pelarangan penyiaran. Hal demikian dapat dirunut pada pasal 4 ayat 2.
2. Hak memperoleh informasi yang tepat, akurat dan benar (pasal 9 ayat c)
Mengenai hak ini, memang tidak secara eksplisit disebutkan sebagai hak masyarakat (konsumen pers), namun pada pasal 9 tersebut secara tegas pers nasional disebutkan melaksanakan peran untuk mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat dan benar.
3. Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan
Yaitu memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers (pasal 17 ayat 2). Menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers, dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional (pasal 2 ayat b).
Kemudian apabila konsumen pers ini, kebetulan menjadi obyek pemberitaan, atau diberitakan, atau mempunyai kepentingan dengan pemberitaan, merekapun memiliki hak sebagaimana yang dimiliki sumber berita. Yaitu hak jawab, hak koreksi, hak mengadu pada Dewan Pers, hak melapor pada penyidik, ataupun juga memperkarakan secara perdata.
Hak Pers atas Sumber Berita
Selain hak, bagi sumber berita ataupun konsumen pers, menurut UU 40 tahun 1999 tersebut, pers juga mempunyai hak yang berkaitan dengan sumber berita dan masyarakat.
Adapun beberapa pasal yang mengatur hak pers tersebut antara lain:
Pasal 4 ayat 2:
Menyebutkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembreidelan atau pelarangan penyiaran.
Pasal 4 ayat 3:
Menyebutkan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Pasal 6 bagian a:
Pers nasional berhak memenuhi hak masyarakat untuk tahu.
Pasal 6 bagian d:
Menyebutkan pers nasional berhak untuk melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Pasal 4 ayat 4:
Menyebutkan, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum wartawan mempunyai Hak tolak, yaitu hak wartawan, untuk menolak mengungkapkan nama atau identitas sumber berita yang harus dirahasiakan.
Pasal 8:
Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
Hak-Hak yang dimiliki oleh pers atau kalangan wartawan tersebut, khususnya untuk pasal 4 ayat 2 dan 3, apabila dilanggar oleh sumber berita, masyarakat, aparat ataupun subyek hukum yang lain, si pelanggar dapat dikenakan sanksi pidana. Sebagaimana hal itu dikemukakan dalam pasal 18 ayat 1, yaitu: Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksaanaan pasal 4 ayat 2 dan ayat 3, dipidana paling lama 2 tahun, atau denda paling banyak 500 juta.
Sedangkan pada pasal 8, kendati wartawan mendapatkan perlindungan hukum, namun apa yang tertera pada pasal 4 ayat 2 dan 3 yang diatur haknya itu adalah pers sebagai institusi, bukan wartawan sebagai perseorangan. Jadi jika terjadi pencekalan atau pengusiran terhadap seorang wartawan, sementara wartawan lain dari media yang sama diperbolehkan meliput, pasal 4 tersebut kesulitan untuk diberlakukan. Atau minimal membutuhkan interpretasi yuridis yang berani dari kalangan hakim hingga terbentuknya yurisprudensi.
Peraturan-peraturan sebagaimana diungkapkan di muka, amat perlu dipahami oleh semua pihak, baik para nara sumber, masayarakat sebagai konsumen pers, maupun kalangan wartawan sendiri. Bukan saja ini untuk meningkatkan profesionalisme wartawan agar dapat melaksanakan tugasnya dengan lebih baik, tapi juga menghindari kemungkinan terkena “ranjau hukum” atau the penalties the law impases upon him when he violetes the rights. Ranjau hukum ini harus dihindari termasuk juga oleh masyarakat dan para nara sumber.
Pasal Yang Biasa Dipakai Menutut Pers
Pencemaran Nama Baik
Pada pasal 310 ayat 1 disebutkan “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda…”
Dalam ayat 2 ditambahkan “jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempel di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan penjara pidana paling lama satu tahun empat bulan…
Pencemaran nama baik, merupakan salah satu perbuatan pidana yang banyak terjadi. Delik ini berkaitan dengan pihak lain yang merasa dirugikan oleh media massa makanya merupakan delik aduan. Biasanya media yang dituntut secara pidana telah melakukan pencemaran nama baik, juga digugat secara perdata untuk membayar kerugian materiil dan spiritual dengan nilai tertentu.
Penyebaran Kabar Bohong
Undang-Udang no. 1 tahun 1946, menyebutkan bahwa barang siapa menyiarkan suatu berita atau pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan masyarakat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara selama-lamanya tiga tahun. Di sini ada kata dapat, berarti delik ini dapat diterapkan tanpa harus membuktikan betul-betul sudah terjadi keonaran.
Melanggar asas praduga tak bersalah, serta tidak melayani Hak Jawab
Pasal 18 ayat 2 UU no. 40 1999, perusahaan pers yang melanggar pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 (kewajiban melayani hak jawab) dikenakan denda sampai 500 juta rupiah.
Pers Melakukan Pelanggaran Hukum
Pers dianggap melakukan tindakan melanggar hukum atau onrechtmatigedaad, yang diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).