Home » , , , , » Kebijakan Publik: Sebuah Konsep

Kebijakan Publik: Sebuah Konsep

Kebijakan publik menurut Thomas Dye (1981) yang dikutip Winarno (2012) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (whatever government choose to do or not to do). Defenisi ini menunjukkan bahwa kebijakan publik dibuat oleh badan pemerintah dan kebijakan publik juga menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan. Segala keputusan yang diambil pemerintah adalah kebijakan, namun tidak mengambil keputusan pun adalah suatu kebijakan.

Sebelumnya, Rose (1969) yang dikutip oleh Winarno (2012) mendefenisikan kebijakan publik sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan .

Selanjutnya, menurut James Anderson (1979) yang dikutip oleh Subarsono (2009), kebijakan publik adalah serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.

Defenisi lain diungkapkan Nugroho (2008), bahwa kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan untuk mengantar masyarakat menuju pada masyarakat yang dicita-citakan.

Sementara menurut William Dunn (1995) kebijakan publik adalah pedoman yang berisi nilai-nilai dan norma-norma yang mempunyai kewenangan untuk mendukung tindakan-tindakan pemerintah dalam wilayah yurisdiksinya. Kebijakan publik muncul dari adanya permasalahan publik dan kebijakan yang dihasilkan merupakan upaya penyelesaian masalah tersebut. Namun tidak semua permasalahan menjadi permasalahan publik yang dianggap membutuhkan suatu kebijakan. Lahirnya suatu kebijakan akan melalui suatu proses yang disebut siklus kebijakan publik.

Kebijakan publik menurut Chandler dan Plano dalam Keban (2008, h.60) adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Sedangkan menurut Suwitri dalam Suaedi dan Wardiyanto (2010, h.138), kebijakan publik adalah serangkaian tindakan berupa pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam rangka mencapai tujuan negara yang merupakan kepentingan publik dengan memperhatikan input yang tersedia, berdasarkan usulan dari seseorang atau kelompok orang di dalam pemerintahan atau di luar pemerintahan.

Bahkan menurut AG. Subarsono (2005:1), kebijakan publik merupakan bagian dari studi ilmu administrasi negara, tetapi bersifat multidisipliner, karena banyak meminjam teori, metode dan teknik dari studi ilmu sosial, ilmu ekonomi, ilmu politik, dan ilmu psikologi. Studi kebijakan publik mulai berkembang pada awal tahun 1970-an terutama dengan terbitnya tulisan Harold D. Laswell tentang Policy Sciences. Fokus utama studi ini adalah pada penyusunan agenda kebijakan, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan.

Menurut Solichin Abdul Wahab (1997:1-2) Istilah public Policy (kebijaksanaan negara) seringkali penggunaannya saling ditukarkan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goals) program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan dan rancangan-rancangan besar. Bagi para pembuat kebijaksanaan (policy makers) dan para sejawatnya istilah-istilah itu tidaklah akan menimbulkan masalah apapun karena menggunakan referensi yang sama. Namun bagi orang-orang yang berada di luar struktur pengambilan kebijaksanaan istilah-istilah tersebut mungkin akan membingungkan.

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, kebijaksanaan itu diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman itu boleh jadi amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat. Kebijaksanaan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana (United Nations, 1975).

Seorang ahli, James E. Anderson (1979), merumuskan kebijaksanaan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. 

Kadangkala orang awam bingung dan tidak dapat membedakan antara kebijaksanaan (policy) dan politik (politics). Namun untuk mudahnya kita harus selalu ingat bahwa istilah policy itu dapat dan memang seyogianya bisa dipergunakan di luar konteks politik.
Menurut Budi Winarno (2007:15) dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, kita tidak dapat lepas dari apa yang disebut sebagai kebijakan publik. Kebijakan-kebijakan tersebut kita temukan dalam bidang kesejahteraan sosial (social welfare), di bidang kesehatan, perumahan rakyat, pertanian, pembangunan ekonomi, hubungan luar negeri, pendidikan nasional dan lain sebagainya. Kebijakan-kebijakan tersebut ada yang berhasil namun banyak juga yang gagal.

Sedangkan Riant Nugroho (2008:55) merumuskan definisi kebijakan publik secara sederhana yakni “kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada masyarakat yang dicita-citakan.”

Dengan demikian, kebijakan publik adalah sebuah fakta strategis daripada fakta politis ataupun teknis. Sebagai sebuah strategi, dalam kebijakan publik sudah terangkum preferensi-preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, khususnya pada proses perumusan. Sebagai sebuah strategi, kebijakan publik tidak saja bersifat positif, namum juga negatif, dalam arti pilihan keputusan selalu bersifat menerima salah satu dan menolak yang lain. Meskipun terdapat ruang bagi win-win dan sebuah tuntutan dapat diakomodasi, pada akhirnya ruang bagi win-win sangat terbatas sehingga kebijakan publik lebih banya pada ranah zero-sum-game, yaitu menerima yang ini, dan menolak yang itu.

Dalam AG. Subarsono (2005:3) dari hirarkinya dapat dilihat, kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional, maupun lokal, seperti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Provinsi, Peraturan Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Keputusan/Walikota. Sebagaimana juga diatur dalam Undang-undang No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 mengatur jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
c. Peraturan Pemerintah.
d. Peraturan Presiden.
e. Peraturan Daerah.

Kebijakan publik, menurut Riant Nugroho (2008:69) adalah keputusan otoritas negara yang bertujan mengatur kehidupan bersama. Tujuan kebijakan publik dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Men-distribusi sumber daya negara kepada masyarakat, termasuk alokatif, realokatif, dan redistribusi, vesus meng-absorbsi atau menyerap sumber daya ke dalam negara.
b. Regulative versus deregulatif.
c. Dinamisasi versus stabilisasi.
d. Memperkuat Negara versus memperkuat masyarakat/pasar.

Pada praktiknya, setiap kebijakan mengandung lebih dari satu tujuan kebijakan yang dikemukan di atas, dengan kadar yang berlainan. Kebijakan publik selalu mengandung multi-tujuan, yaitu untuk menjadikan kebijkan itu sebagai kebijkan yang adil dan seimbang dalam mendorong kemajuan kehidupan bersama.

Menurut Dye, 1981: Anderson, 1979, bahwa studi kebijakan publik memiliki tiga manfaat penting, yakni untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, meningkatkan profesionalisame praktis, dan untuk tujuan politik.

Dalam Budi Winarno (2007:30-31) kebijakan publik secara garis besar mencakup tahap-tahap perumusan masalah kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Sementara itu, analisis kebijakan berhubungan dengan penyelidikkan dan deskripsi sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan publik.

Menurut AG. Subarsono (2005:18-19), analis kebijakan merupakan proses kajian yang mencakup lima komponen, dan setiap komponen dapat berubah menjadi komponen lain melalui prosedur metodologi tertentu, seperti perumusan masalah, peramalan, rekomendasi, pemantauan, dan evaluasi.

James Anderson (1979:23-24) sebagai pakar kebijakan publik menetapkan proses kebijakan publik sebagai berikut:


Proses Kebijakan Publik menurut Anderson, dkk


Menurut James A. Anderson, dkk. dalam Tilaar dan Nugroho (2005:186) proses kebijakan melalui tahap-tahap/stages sebagai berikut:

1. Agenda Kebijakan (Policy Agenda)
Apa masalahnya? Apa yang membuat hal tersebut menjadi masalah kebijakan? Bagaimana masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah?

2. Formulasi kebijakan (Formulation):
Bagaimana mengembangkan pilihan- pilihan atau alternatif-alternatif untuk memecahkan masalah tersebut Siapa saja yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan?

3. Penentuan kebijakan (Adoption):
Bagaimana alternatif ditetapkan? Persyaratan atau criteria seperti apa yang harus dipenuhi? Siapa yang akan melaksanakan kebijakan? Bagaimana proses atau strategi untuk melaksanakan kebijakan? Apa isi dari kebijakan yang telah ditetapkan?

4. Implementasi (Implementation):
Siapa yang terlibat dalam implementasi kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? Apa dampak dari isi kebijakan?

5. Evaluasi (Evaluation)
Bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak kebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi dari adanya evaluasi kebijakan?

Pakar lain, Dye mengemukakan tahap proses kebijakan yang hampir mirip dengan model Anderson, dkk. Di model Dye terlihat bahwa proses kebijakan Anderson, dkk. mendapatkan satu tambahan tahap sebelum agenda setting, yaitu identifikasi masalah kebijakan. Dalam hal ini Dye melihat tahapan pra penentuan agenda (agenda setting) yang terlewatkan oleh Anderson, dkk.. Selain itu Dye juga menggantikan tahap policy adoption dengan policy legitimation. Namun dalam hal ini pergantian ini tidak memiliki perbedaan mendasar karena baik Anderson, dkk. dan Dye sama-sama menekankan pada proses legitimasi dari kebijakan itu menjadi suatu keputusan pemerintah yang sah.


Proses Kebijakan Publik Menurut Dye


Sumber: Thomas R. Dye dalam Tilaar dan Nugroho (2008: 189)


Sedangkan menurut AG. Subarsono (2005:8) bahwa proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam prose kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut Nampak dalam serangkaian kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijkan. Sedangkan aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring, dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat intelektual.

Selain teori proses kebijakan dari Anderson, dkk. dan Dye terdapat teori lain seperti dari William N. Dunn dan Patton & Savicky. Baik Dunn maupun Patton & Sawicky mengemukakan model-model proses kebijakan yang lebih bersifat siklis daripada tahap-tahap/stages. Dunn menambahkan proses forecasting, recommendation, dan monitoring. Hampir sama seperti Anderson, dkk. maupun Dye, Dunn membuat analisis pada tiap tahap dari proses kebijakan dari model Anderson, dkk. dan Dye.

William Dunn membagi siklus pembuatan kebijakan dalam 5 tahap yaitu :


Proses Kebijakan Publik
( William N. Dunn, 2003 )



1. Penyusunan agenda (Agenda Setting) yaitu agar suatu proses masalah bisa mendapatkan perhatian dari pemerintah;
2. Formulasi Kebijakan (Policy Formulation), merupakan proses perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah;
3. Pembuatan kebijakan (Decision Making) merupakan proses ketika pemerintah membuat pilihan untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan;
4. Implementasi kebijakan (Policy Implementation), yaitu proses melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil;
5. Evaluasi kebijakan yaitu proses untuk menilai hasil atau kinerja kebijakan yang telah dibuat.

Pada tiap tahap kebijakan Dunn mendefinisikan analisis kebijakan yang semestinya dilakukan. Pada tahap penyusunan agenda/agenda setting, analisis yang mesti dilakukan adalah perumusan masalah/identification of policy problem. Dalam hal ini Dunn membuat sintesis dari model Anderson, dkk. dan Dye yaitu menggabungkan tahapan antara identification of problem dan agenda setting dari Dye dengan tahap policy agenda dari Anderson. Pada tahap formulasi kebijakan/policy formulation, terdapat langkah analisis yang seharusnya dilakukan yaitu peramalan/forecasting.

Dunn menjelaskan: Peramalan dapat menguji masa depan yang plausibel, potensial, dan secara normatif bernilai, mengestimasi akibat dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan, mengenali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian tujuan, dan mengestimasi kelayakan politik (dukungan dan oposisi) dari berbagai pilihan.

Sedangkan Michael Howlet dan M. Ramesh (1995:11) menyatakan bahwa proses kebijakan publik terdiri dari lima tahapan sebagai berikut:

1. Penyusunan Agenda (Agenda Setting), yakni proses agar suatu masalah bisa mendapat perhatian dari pemerintah.
2. Formulasi Kebijakan (Policy Formulation), yakni proses perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah.
3. Pembuatan Kebijakan (Decision Making), yakni proses ketika pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan sesuatu tindakan.
4. Implementasi kebijakan (Policy Implementation), yaitu proses untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil.
5. Evaluasi kebijakan (Policy Evaluation), yakni proses untuk memonitor dan menilai hasil atau kinerja kebijakan.

Namun demikian, ada satu pola yang sama, yang dikembangkan dari pendekatan dalam teori sistem oleh Riant Nugroho (2008:352-354) bahwa model formal proses kebijakan adalah dari “gagasan kebijakan”, formalisasi dan legalisasi kebijakan”, “implementasi”, baru kemudian menuju pada kinerja atau mencapai prestasi yang diharapkan-yang didapatkan setelah dilakukan evaluasi kinerja kebijakan.

Lencana Facebook