Home » , , » Teori Birokrasi Max Weber

Teori Birokrasi Max Weber

A. Pengenalan Teori Birokrasi
Organisasi didefinisikan sebagai satu unit sosial yang sengaja dibentuk (atau pengelompokan manusia) dan dibentuk kembali untuk mencapai matlamat-matlamat tertentu (Etzioni, 1964). Apabila bercakap mengenai organisasi, kita tidak boleh lari daripada membicarakan mengenai teori-teori organisasi yang ada. Salah satu teori yang paling berpengaruh dalam bidang organisasi dan pentadbiran ialah teori birokrasi. Teori ini diasaskan oleh Max weber, seorang ahli sosiologi dan ekonomi berpengaruh Jerman. Hasil kerja yang dilakukan olehnya adalah sezaman dengan Frederick W. Taylor dan Henri Fayol, namun beliau bekerja mengikut jalannya yang tersendiri.

Dari segi pengertiannya, birokrasi boleh didefinisikan sebagai satu konsep dalam bidang sosiologi dan sains politik yang merujuk kepada satu cara  perlaksanaan pentadbiran dan penguatkuasaan undang-undang sah yang telah dibuat dalam sesebuah organisasi. Lazimnya kita menganggap birokrasi sebagai kewujudan pelbagai posisi atau aktiviti dimana fungsinya memberikan khidmat dan mengekalkan organisasi. Sebahagian orang menganggap birokrasi adalah merupakan satu prosedur yang berbelit-belit, menyulitkan dan menjengkelkan. Bagi sebahagian orang pula, mereka menganggap birokrasi dari sudut positif, iaitu sebagai satu usaha untuk mengatur dan mengendalikan perilaku masyarakat supaya sesuatu proses dapat dijalankan secara teratur.

Sebenarnya definisi awal birokrasi menurut Max Weber adalah berbeza dengan pandangan mengenai birokrasi yang ada pada hari ini. Dari segi konsep, Weber merujuk birokrasi sebagai satu jenis struktur pentadbiran yang dibangunkan dalam satu pertubuhan dimana adanya autoriti “rasional-sah” (Scott, 2003). Weber menerangkan jenis birokrasi yang ideal dari sudut yang positif, beliau menganggap organisasi birokrasi adalah organisasi yang lebih rasional dan lebih cekap. Jenis birokrasi yang ideal termasuklah tidak ada jenis autoriti atau perhubungan yang lain, tidak mempunyai persahabatan dan permusuhan, tidak mempunyai komplot, dan tidak mempunyai badan jawatankuasa. Sesuatu birokrasi yang dikatakan ideal hanya wujud dimana individu memberi dan menerima arahan sebagai satu peraturan dalam sistem rasional. 

Weber juga berhujah bahawa jenis birokrasi yang ideal memerlukan alat pentadbiran yang sukar, sifat-sifat alat pentadbiran ini termasuklah ketepatan, kepantasan, tidak ada kekaburan, mempunyai pertimbangan, mengetepikan kepentingan, tidak ada perselisihan, langkah penjimatan, berkesinambungan dan kesepakatan. Beliau juga mengatakan bahawa organisasi tidak dapat dielakkan dari berubah ke arah jenis ideal yang dikatakan olehnya dalam pencarian proses kecekapan yang sangat berkesan (Sims et al., 1995).

Max Weber melihat teori birokrasi dari pelbagai dimensi. Kertas kerja individu ini akan menghuraikan mengenai teori birokrasi ini, huraian ini meliputi idea-idea yang dikemukakan oleh Max Weber mengenai teori birokrasi seperti tipologi autoriti dan karekteristik organisasi jenis birokrasi. Seterusnya huraian kertas kerja individu ini menyentuh mengenai objektif, kekuatan dan kekurangan teori ini.          

Birokrasi ialah alat kekuasaan bagi yang menguasainya, dimana para pejabatnya secara bersama-sama berkepentingan dalam kontinuitasnya. Weber memandang birokrasi sebagai arti umum, luas, serta merupakan tipe birokrasi yang rasional. Weber berpendapat bahwa tidak mungkin kita memahami setiap gejala kehidupan yang ada secara keseluruhan, sebab yang mampu kita lakukan hanyalah memahami sebagian dari gejala tersebut. Satu hal yang penting ialah memahami mengapa birokrasi itu bisa diterapkan dalam kondisi organisasi negara tertentu. Dengan demikian tipe ideal memberikan penjelasan kepada kita bahwa kita mengabstraksikan aspek-aspek yang amat penting yang membedakan antara kondisi organisasi tertentu dengan lainnya.

Menurut weber, proses semacam ini bukan menunjukkan objektivitas dari esensi birokrasi, dan bukan pula mampu menghasilkan suatu deskripsi yang benar dari konsep birokrasi secara keseluruhan, tetapi hanya sebagai suatu konstruksi yang bisa menjawab suatu masalah tertentu pada kondisi waktu dan tempat tertentu. 

Menurut weber tpe ideal birokrasi yang rasional itu dilakukan dalam cara-cara sebagai berikut :
1. Pejabat secara rasional bebas, tetapi dibatasi oleh jabatannya
2. Jabatan disusun oleh tingkat hierarki dari atas ke bawah dan kesamping dengan konsekuensinya berupa perbedaan kekuasaan.
3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lain
4. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan.
5. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya
6. Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun.
7. Terdapat struktur pengembangan karieryang jelas
8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya untuk kepentingan pribadi
9. Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin. (Weber, 1978 dan Albrow, 1970)

Dalam pemerintahan, kekuasaan publik dijalankan oleh pejabat pemerintah/para birokrat yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan peranan dan fungsinya dalam sistem birokrasi negara dan harus mampu mengendalikan orang-orang yang dipimpin. 

Birokrasi dalam ha ini mempunyai tiga arti, yaitu :
1. Sebagai Tipe organisasi yang khas.
2. Sebagai suatu sistem (struktur).
3. Sebagai suau tatanan jiwa tertentu dan alat kerja pada organ negara untuk mencapai tujuannya.

Dalam negara administratif, pemerintah dan seluruh jajarannya dikenal sebagai abdi masyarakat dalam pemberian berbagai jenis pelayanan yang diperlukan oleh seluruh warga masyarakat. Keseluruhan jajaran pemerintahan negara merupakan satuan birokrasi pemerintahan yang juga dikenal dengan istilah civil service. Pemerintah beserta seluruh jajaran aparatur birokrasi bukanlah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan pembangunan nasional, tetapi merupakan kenyataan bahwa peranan pemerintah dan jajarannya bersifat dominan.

Diantaranya berbagai satuan kerja yang terdapat dalam lingkungan pemerintahan, terdapat pembagian tugas yang pada umumnya didasarkan pada prinsip fungsionalisasi. Fungsionalisasi berarti bahwa setiap instansi pemerintah berperan selaku penanggung jawab utama atas terselenggaranya fungsi tertentu, dan perlu bekerja secara terkoordinasi dengan instansi lain. Setiap instansi pemerintah mempunyai “kelompok pelanggan” dimana kepuasan kelompok ini harus dijamin oleh birokrasi pemerintahan, antara lain kelompok masyarakat yang memerlukan pelayanan di bidang pendidikan dan pengajaran dilayani oleh instansi yang secara funsional menangani bidan pendidikan dan pengajaran, dan sebagainya.

Fungsi pengaturan terselenggara dengan efektif  karena kepada suatu pemerintahan negara diberi wewenang untuk melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan yang ditentukan oleh lembaga legislatif melalui berbagai ketentuan pelaksanaan dan kebijaksanaan. Pada dasarnya seringkali aparatur pemerintah bekerja berdasarkan pendekatan legalistik.

Pendekatan tersebut antara lain bahwa dalam menghadapi permasalahan, pemecahan yang dilakukan dengan mengeluarkan ketentuan normatif dan formal, misalnya peraturan dan berbagaiperaturan pelaksanaannya.

Menurut Peter Al Blau dan Charles H.Page dalam Bintoro, birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang. Birokrasi adalah tipe organisasi yang bertujuan mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengoordinasikan secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang.

B. Tipologi Autoriti Menurut Weber
Berbagai perkiraan mengenai masa depan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memberikan petunjuk bahwa tantangan yang akan dihadapi oleh Birokrasi Pemerintah di masa depan akan semakin besar, baik dalam bentuk dan jenisnya, maupun intensitasnya.

Mengenai penanganan patologi birokrasi dan terapinya, berarti agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul, baik yang sifatnya politis, ekonomis, sosio-kultural, dan teknologikal. Berbagai penyimpangan yang dilakukan para birokratperlu diidentifikasikan untuk dicari terapi yang paling efektif, sehingga patologi demokrasi dapat dikategorikan dalam kelompok-kelompok tertentu.

Tipologi autoriti adalah merujuk kepada tiga jenis autoriti yang pertama sekali dikenalpasti oleh Weber. Menurut beliau terdapat tiga jenis autoriti iaitu yang pertama ialah autoriti tradisional, kedua ialah autoriti “rasional-sah” dan ketiga pula ialah autoriti karismatik. Weber juga ada membuat perbezaan antara ketiga-tiga jenis autoriti tersebut di antara satu sama lain (Scott, 2003).

Autoriti tradisional (Traditional authority) adalah merujuk kepada pemantapan kepercayaan dalam tradisi yang telah diamalkan sejak berzaman-zaman lamanya, perlaksanaan autoriti adalah dibawah seseorang individu untuk membuat legitimasi. Menurut Sims dan rakan-rakannya (1995), autoriti tradisional melibatkan persetujuaan daripada satu budaya dan praktis yang diamalkan, seseorang pemimpin dilihat sebagai waris yang benar daripada barisan autoriti yang terdahulu. Oleh itu, dapat disimpulkan bahawa autoriti tradisional ini adalah berlandaskan perwarisan daripada autoriti terdahulu, kemudian orang yang memegang autoriti tersebut mempunyai kuasa membuat legitimasi, subjek yang bersangkutan iaitu orang bawahan pula akan menerima sahaja perintah atasan iaitu orang yang mempunyai autoriti dengan alasan bahawa perkara yang diperintahkan oleh orang atasan itu merupakan cara untuk menyelesaikan semua masalah. 

Autoriti rasional-sah (Rational-legal authority) merujuk kepada kepercayaan dalam “legaliti” sebagai corak dalam peraturan normatif dan mengangkat kebenaran dalam autoriti seperti isu-isu berkenaan arahan. Autoriti “rasional-sah” adalah berdasarkan sistem peraturan yang menghormati arahan, oleh sebab itulah sistem ini disebutkan mempunyai kerasionalan. Perintah atau arahan harus dipatuhi selagi mana mereka konsisten dengan peraturan tersebut. ciri-ciri autoriti “rasional-sah” mempunyai pengaruh yang besar dalam hubungannya dengan organisasi kontemporari, autoriti ini meliputi kepercayaan tentang kebenaran (right) yang ada pada pejabat tertinggi untuk melaksanakan kuasa terhadap subordinat ataupun orang bawahan. Cara untuk memahami autoriti “rasional-sah” dengan lebih tepat ialah dengan memikirkan bahawa sesebuah pejabat atau posisi mempunyai autoriti terhadap sebuah pejabat atau posisi yang lain (Hall, 1999). 

Bagi autoriti karismatik (charismatic authority) pula, autoriti ini merujuk  kepatuhan kepada sifat-sifat yang ada pada seseorang individu yang boleh dicontohi. Individu yang memegang autoriti seperti ini akan menunjukkan ciri-ciri pemerintahan dalam corak normatif ataupun peraturan. Autoriti ini juga melibatkan kualiti luar biasa yang ada pada pemimpin dimana arahan tidak terikat kepada penghormatan dan kesetiaan.

Ketiga-tiga jenis autoriti tersebut mempunyai perbezaan yang jelas antara satu sama lain. Tidak seperti autoriti tradisional dan autoriti karismatik, autoriti “rasional-sah” dilihat lebih cenderung kepada “calculation” iaitu satu perancangan yang direkabentuk secara teliti untuk mencapai sesuatu yang diharapkan berbanding pengunaan emosi atau tidak dipengaruhi oleh perasaan (impersonal), hal ini tidak berpunca daripada individu itu sendiri tetapi sebenarnya berpunca daripada posisi yang dijawat oleh individu tersebut. Bagi autoriti karismatik,  Weber pada dasarnya melihat kepemimpinan karismatik sebagai tidak boleh diramalkan dan tidak terkawal. Beliau mendakwa bahawa jenis autoriti karismatik akan secara perlahan-lahan beralih ke arah jenis autoriti “rasional-sah”. Proses peralihan ini menurutnya disebut sebagai “rasionalisasi” dan dikenalpasti sebagai instituisi prinsipal iaitu birokrasi (Sims et al., 1995). 

C. Struktur Birokasi
Struktur birokrasi seringkali juga disebut sebagai karekteristik atau ciri-ciri birokasi. Struktur birokrasi dicipta oleh Weber sebagai cara untuk menjelaskan apa sebenarnya yang disebut sebagai sistem birokrasi bagi membezakannya dengan pentadbiran tradisional. Menurut Amitai Etzioni (1985) dalam bukunya yang bertajuk “modern organization”  terdapat tujuh ciri struktur birokrasi kesemuanya yang telah dijelaskan oleh Weber secara terperinci. Weber mengatakan bahawa semua ciri tersebut mewujudkan suatu struktur yang sangat rasional.

Ciri birokrasi yang pertama ialah suatu susunan fungsi pejabat yang tetap dan  terikat dengan peraturan. Sistem peraturan adalah merupakan prinsip utama dalam sebuah sistem birokrasi. Fungsi utama peraturan yang ditetapkan dalam sesebuah organisasi ialah untuk mempermudahkan standardisasi, dengan adanya proses ini banyak perkara dan kes boleh diselesaikan secara seragam. Sebagai contohnya jika seseorang pekerja dikenakan potongan gaji sebagai hukuman kerana bercuti tanpa makluman pihak atasan, maka hukuman tersebut mestilah sama dengan pekerja lain yang melakukan kesalahan yang sama. Sistem peraturan yang distandardkan ini juga dirancang untuk menjamin adanya keseragaman dalam menjalankan setiap tugas, dimana peraturan tersebut menentukan tanggungjawab, peranan dan bidang tugas bagi setiap anggota dan hubungan diantara mereka.  

Ciri birokrasi yang kedua ialah adanya bidang kecekapan khusus. Hal ini berkaitan dengan bidang kewajipan tugas yang ada pada seorang pekerja mahupun satu bahagian, tujuannya adalah untuk menjalankan pelbagai fungsi yang merupakan satu bahagian daripada proses pembahagian atau pengkhususan kerja yang sistematik. Dalam menjalankan tugas yang pelbagai, organisasi birokrasi membahagikan kegiatan-kegiatan pentadbiran menjadi bahagian-bahagian yang masing-masing mempunyai fungsi khusus dan berbeza dengan fungsi bahagian lain. Sebagai contohnya dalam sesebuah organisasi, bahagian kewangan secara khususnya berfungsi untuk membuat ramalan keperluan dana, mendapatkan dana untuk organisasi, menguruskan dana tersebut dan memastikan dana digunakan dengan cara terbaik, manakala bagi bahagian sumber manusia pula fungsi khususnya ialah untuk melakukan pengambilan tenaga kerja, melaksanakan latihan dan pembangunan, membuat penilaian prestasi dan sebagainya lagi yang berkaitan dengan sumber manusia.

Ciri birokrasi ketiga ialah susunan jabatan adalah berdasarkan prinsip hierarki. Setiap jabatan yang tingkatnya lebih rendah dalam hierarki adalah di bawah pengendalian dan pengawasan jabatan yang lebih tinggi. Tujuan diwujudkan hierarki ini adalah untuk memastikan setiap jabatan dikendalikan secara sistematik oleh jabatan tertentu yang lain. Dalam hierarki itu setiap jabatan harus bertanggungjawab kepada atasannya berkenaan keputusan dan tindakannya sendiri ataupun apa yang dilakukan oleh anak buahnya. Posisi ditubuhkan dalam hierarki dengan rantaian arahan yang jelas (Robbins & Coulter, 2009). Pada setiap tingkat hierarki, setiap jabatan memiliki hak memberi perintah dan arahan pada orang bawahannya, dan orang bawahan pula berkewajipan  untuk mematuhinya. Setiap keputusan dan tindakan yang dibuat oleh jabatan bawahan perlu meminta persetujuaan daripada pihak atasan.

Ciri birokrasi keempat ialah peraturan yang mengatur tingkah laku sesuatu jabatan dapat berbentuk peraturan atau norma teknik. Secara umumnya mengikut ciri ini, hanya mereka yang memiliki latar belakang pendidikan teknikal yang memadai sahaja dilihat cukup cekap untuk menduduki jabatan staf pentadbiran. Menurut Weber asas kepada kuasa birokrasi ialah pengetahuan dan latihan yang pernah diterima. Robbins dan Coulter (2009) merujuk ciri ini sebagai pemilihan formal, dimana pemilihan pekerja dijalankan berdasarkan kelayakan teknikal yang ada pada seseorang individu. Situasi ini dapat menguntungkan organisasi kerana mempunyai pekerja berkemahiran yang dapat membantu kelicinan dan kecekapan proses organisasi. Selain itu, keadaan ini juga dapat membawa manfaat kepada individu tersebut kerana diberi kesempatan menunjukkan kemahirannya di dalam organisasi.

Ciri birokrasi kelima ialah menekankan prinsip bahawa anggota staf pentadbiran tidak dapat memiliki saranan produksi dan pentadbiran. Scott (2003) memberikan contoh apakah benda yang tidak boleh dimiliki tersebut, contoh yang dinyatakan olehnya adalah seperti peralatan dan kelengkapan yang ada dalam organisasi serta hak kuasa dan hak istimewa yang ada dalam pentadbiran organisasi. Kesemua item tersebut adalah hak milik jabatan dan bukannya hak milik kakitangan jabatan. Sebagai contoh disini, seorang pekerja tidak boleh mengambil komputer yang disediakan dalam pejabat untuk dibawa ke rumahnya bagi tujuan peribadi. Mengikut prinsip ini terdapat pemisahan antara harta milik organisasi yang digunakan secara rasmi dengan harta milik peribadi seorang kakitangan jabatan.

Ciri birokrasi yang keenam ialah organisasi perlulah bebas daripada setiap pengendalian luaran. Apa yang dimaksudkan dengan pengendalian luaran ini ialah organisasi tidak dimonopoli oleh mana-mana jabatan yang ada dalam organisasi tersebut. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kebebasan organisasi tersebut. sumber-sumber yang ada harus bebas untuk ditempatkan dan ditempatkan semula ke dalam jabatan-jabatan sesuai dengan keperluan organisasi. Dalam hal ini dapatlah disimpulkan bahawa jabatan tidak boleh memiliki organisasi secara rasmi.

Ciri birokrasi yang ketujuh ialah segala tindakan, keputusan dan peraturan dalam hal pentadbiran harus dirumus dan dicatatkan secara bertulis. Ramai yang berpendapat bahawa prosedur ini dirasakan tidak penting dan tidak sesuai dipraktikkan dalam sebuah organisasi yang rasional. Sebaliknya sistem pencatatan yang berlebih-lebihan ini dianggap tidak rasioal, hal inilah yang menyebabkan kepada istilah “red tape” . Istilah ini merujuk kepada urusan dokumentasi yang sering menyebabkan kelewatan proses. Walaubagaimanapun Weber ada menekankan bahawa semua kegiatan organisasi yang penting dan perlaksanaan peraturan harus ditafsirkan secara sistematik, iaitu dengan menggunakan sistem pencatatan. Semua hal tersebut tidak dapat dilakukan melalui komunikasi lisan kerana sistem itu dianggap tidak sistematik.

D. Objektif Teori Birokrasi
Berdasarkan buku-buku pembacaan yang berkaitan dengan teori birokrasi, tidak terdapat satupun buku yang menyatakan secara spesifik mengenai objektif teori birokrasi. Walaubagaimanapun objektif teori ini dapat dikesan daripada beberapa huraian buku-buku yang dijadikan sebagai bahan rujukan.

Sebenarnya birokrasi direka agar pekerjaan dapat dijalankan dengan baik (Hall, 1999). Menurut J. Hage (1980) pula, birokrasi dibentuk untuk mewujudkan kecekapan dan kebolehpercayaan. Daripada kedua-dua sumber tersebut dapat dikatakan bahawa objektif utama teori birokrasi ialah untuk menjadikan sesebuah organisasi menjadi lebih cekap dan segala urusan pekerjaan di dalam organisasi dapat berjalan dengan baik dan lancar. Ciri-ciri atau struktur birokrasi yang dianjurkan oleh Weber sebenarnya mencapai ke arah organisasi yang lebih efisien dan sistematik. Kewujudan sistem kawalan iaitu peraturan yang ditetapkan adalah bertujuan untuk mengawal seluruh struktur dan proses organisasi, pengawalan ini juga memerlukan pengetahuan teknikal ke arah mencapai kecekapan yang maksimum (Mouzelis, 1967).

Tujuan diwujudkan sistem hierarki dalam organisasi birokrasi adalah untuk mebina sistem rantaian arahan yang tersusun. Dengan adanya hierarki ini, segala rancangan dapat disatukan dan pemusatan pembuatan keputusan dapat dijalankan. Begitu juga dengan halnya bagi pengkhususan fungsi, dengan adanya pengkhususan setiap jabatan dalam organisasi dapat menjalankan fungsi mereka masing-masing. Kedua-dua langkah bertujuan mengelak adanya bidang kuasa yang bertindih di antara satu sama lain. Dari segi layanan ke atas pekerja-pekerja pula, teori birokrasi mengambil pendekatan tidak dipengaruhi perasaan dan bersifat pribadi (impersonal), objektifnya ialah untuk mengurangkan pekerja menghabiskan masanya dengan berborak sahaja serta mengurangkan pekerjaan yang dijalankan dengan sewenang-wenangnya dan tidak konsisten. Pendekatan ini adalah untuk memastikan setiap pekerja dilayan dan diperlakukan secara sama rata (Sims et al., 1995).           

E. Kekuatan Teori Birokrasi
Teori birokrasi ini mempunyai kekuatannya yang tersendiri, walaupun teori ini sering dikaitkan dengan pelbagai streotaip negatif, namun teori birokrasi ini juga banyak memberikan sumbangan kepada teori dalam pengurusan sumber manusia. Menurut Kettner (2002), terdapat tiga pertimbangan yang diambil kira dalam teori birokrasi iaitu pertama ialah kebertanggungjawapan (accountability), kedua ialah hierarki dan definisi tanggungjawab, manakala yang ketiga pula ialah penyediaan untuk kerja. Kesemua instrumen tersebut adalah kekuatan kepada teori ini dan inilah yang membezakannnya dengan teori organisasi yang lain.

Kebertanggungjawaban adalah merupakan satu identiti dalam birokrasi. Salah satu faktor yang menyebabkan sesebuah organisasi memilih struktur birokrasi ini ialah untuk mengenalpasti dengan lebih tepat tanggungjawab dalam proses pembuatan keputusan. Hal inilah yang menyebabkan selalunya organisasi kerajaan memerlukan struktur birokrasi ini kerana tanggungjawab proses pembuatan keputusan sangat dipentingkan. Jika ditinjau dalam model teori-teori organisasi yang lain, model teori-teori tersebut mungkin juga lebih banyak mengemukakan syarat-syarat penyusunan kerja dan produktiviti yang fleksibel, namun dalam sesebuah organisasi yang memerlukan kebertanggungjawapan yang tinggi dalam pembuatan keputusan, birokrasi adalah merupakan satu pilihan yang lebih praktikal.

Instrumen kedua iaitu hierarki dan definisi tanggungjawab adalah merupakan ciri penting birokrasi dalam membantu  pengurusan tempat kerja yang tersusun. Lakaran prinsipal terhadap semua tugas haruslah jelas dan harus disusun dalam bentuk hierarki. Dengan adanya hierarki dan spesifikasi tugas ini, ianya dapat memberi kekuatan terhadap organisasi birokrasi kerana ia dapat memantapkan lingkungan kuasa yang ada pada jabatan, program, unit kecil dan bagi setiap pekerja itu sendiri. Salah satu lagi kelebihannya disini ialah setiap pekerja amat jelas serta tahu kerja dan tugas harian yang patut dilakukan oleh mereka, tanpa perlu bergantung kepada arahan untuk melakukan sesuatu tugas daripada pihak lain. Sebagai contohnya disini seorang pekerja yang telah tahu tugas yang harus dilakukannya boleh terus melakukan kerja rutinnya tanpa perlu disuruh atau bertanya berkali-kali kepada orang atasannya tentang apa kerja yang harus dilakukannya lagi.

Bagi instrumen ketiga iaitu penyediaan untuk kerja, Weber menyokong idea yang dikemukakan oleh Frederick W. Taylor bahawa untuk memastikan kecekapan organisasi, penyediaan untuk kerja mestilah berdasarkan kelayakan untuk penempatan pekerjaan di dalam organisasi. Dalam hal ini, sudah menjadi kebiasaan dalam bidang perkhidmatan sosial seseorang pekerja akan diberikan posisi dalam organisasi berdasarkan pendidikan profesional yang diterima oleh mereka, disamping pengalaman yang pernah mereka lalui dalam jangka masa tempoh tertentu. Hal inilah yang mejadi kekuatan kepada teori birokrasi ini kerana organisasi birokrasi mengamalkan kaedah pemilihan pekerja yang benar-benar layak untuk bekerja di organisasinya dan tujuan utamanya ialah untuk mencapai kecekapan dalam melaksanakan tugas. Kejayaan sesebuah organisasi atau agensi pada hari ini adalah dibantu oleh kesedaran mengenai proses pembuatan analisis kerja secara teliti dan berhati-hati yang dapat menyediakan rangka kerja untuk memutuskan penempatan kerja seseorang pekerja. Keputusan penempatan kerja itu juga seharusnya adalah penyediaan kerja yang dapat dibuktikan dan bukannya data yang hanya berdasarkan gambaran umum semata-mata tanpa perincian.     

F. Kelemahan Teori Birokrasi
Salah satu kelemahan yang sering dikaitkan dengan birokrasi ialah “red tape” . Istilah ini merujuk kepada satu peraturan birokrasi yang sangat berlebihan sehingga menyebabkan kelewatan kepada sesuatu urusan ataupun proses. Menurut struktur birokrasi Weber yang diberikan oleh Etzioni dalam bukunya, sistem pencatatan perlu dilakukan untuk merekod segala tindakan, keputusan dan peraturan dalam pentadbiran. 

Peraturan inilah yang sebenarnya menyebabkan “red tape” kerana ia menyebabkan proses perjalanan urusan dokumentasi menjadi lambat. Peraturan seperti ini dilihat mendatangkan tujuan yang tidak berguna dan sering diberi sindiran dengan istilah “red tape’’ (Sims et al., 1995). Contoh bagi menggambarkan masalah “red tape’’ disini ialah seseorang individu ingin mendapatkan khidmat bantuan kebajikan daripada sebuah agensi, bagi mendapatkan bantuan tersebut, individu itu perlulah mendapat pengesahan daripada beberapa pihak tertentu dari pihak bawahan sehinggalah ke pihak atasan bagi membuktikan bahawa individu tersebut benar-benar layak menerima bantuan. Individu tersebut terpaksa menyediakan dokumen, membuat temu janji dengan pihak-pihak tersebut, membuat perjalanan ke hulu dan ke hilir dan akhirnya dalam jangka masa yang panjang barulah permohonan individu tersebut diluluskan dan memperolehi bantuan kebajikan tersebut.    

kelemahan kedua teori birokrasi ialah organisasi yang mengamalkan sistem ini cenderung kepada amalan pengurusan berbentuk pemusatan kuasa atau oligarki, iaitu autoriti atau kuasa dalam sesebuah organisasi terletak didalam tangan satu golongan kecil. Pendapat ini disuarakan oleh Robert Michels (1966), dalam memberikan kritikan terhadap teori Birokrasi yang diutarakan oleh Weber, menurut beliau sesiapa saja yang membicarakan mengenai birokrasi, bermaksud membicarakan juga mengenai oligarki. Hal ini disebabkan pemusatan kuasa di tangan sebahagian kecil individu akan menyebabkan mereka menggunakan kedudukan mereka di dalam bahagian atau pejabat yang mereka ketuai untuk meningkatkan keuntungan dan kepentingan diri mereka sendiri. Beliau juga mendakwa bahawa organisasi bukannya instrumen yang rasional bagi mencapai matlamat pentadbiran seperti yang disarankan oleh Weber (Sims et al., 1995). 

Kelemahan teori birokrasi yang ketiga ialah timbulnya ketidakcekapan. Walaupun pada dasarnya matlamat utama teori birokrasi adalah untuk mencapai kecekapan dalam organisasi, namun terdapat juga kesan-kesan negatif yang timbul secara tidak langsung dalam prinsip birokrasi ini. Pendapat ini ditimbulkan oleh Robert Merton (1957) yang memberi kritikan terhadap teori birokrasi Weber. Merton memperkenalkan konsep trained incompetence atau “ketidakcekapan terlatih”, konsep ini merujuk kepada pekerja yang hanya berfokus kepada apa yang mereka minat sahaja dalam menjalankan pekerjaan mereka, pekerja juga kerap hilang keupayaan untuk mendengar serta memahami masalah dan keperluan pengguna atau orang yang menggunakan perkhidmatan organisasi tersebut. Birokrasi dilihat tidak mempunyai kejayaan yang besar dalam menyesuaikan pengaplikasian pengetahuan dan kemahiran yang menjadi bahagian penting dalam praktis profesional (Kettner, 2002). Merton selanjutnya menghuraikan bahawa birokrasi pada hakikatnya memberi pengaruh tertentu bagi keperibadiaan para anggota organisasinya, dimana ia mendorong timbulnya kecenderungan untuk mentaati kaedah dan peraturan organisasi secara kaku demi kepentingan dan keuntungannya sendiri (Etzioni, 1964).

Kelemahan teori birokrasi yang keempat ialah birokrasi dilihat sebagai bentuk organisasi yang “mengembung”, istilah mengembung ini diberikan oleh Parkinson (1957) terhadap birokrasi. Menurut Parkinson individu-individu yang mempunyai autoriti dalam birokrasi cenderung mengembangkan jumlah pekerja yang dirasakan tidak sesuai dengan keadaan keperluan sebenar organisasi (Scott, 2003). Tanggapan Weber yang mennyatakan bahawa birokrasi merupakan satu mekanisme untuk mencapai kecekapan ditolak keras oleh Parkinson, beliau telah memperkenalkan satu konsep yang dikenali sebagai “hukum Parkinson”. 

Dalam hukum ini terdapat dua ciri yang nyata untuk menerangkan pengembungan birokrasi, pertama ialah orang atasan akan berusaha sekuat tenaga untuk meningkatkan jumlah orang bawahannya, kedua ialah orang atasan akan selalu mencipta tugas baru bagi dirinya sendiri yang mana tugas tersebut sering diragukan maksud dan kepentingannya. Hal ini akan mengakibatkan jumlah pekerja meningkat secara automatik dan berlakunya lebihan pekerja untuk melakukan bebanan kerja daripada apa sepatutnya yang ingin dicapai oleh organisasi. Birokrasi menurut Parkinson cenderung meluas bukanlah kerana meningkatnya beban kerja dalam organisasi tetapi adalah disebabkan oleh orang atasan tersebut yang ingin memperbanyakkan orang bawahan di bawah hierarki mereka.     

Kelemahan teori birokrasi yang seterusnya ialah teori ini kurang mengambil kira faktor Manusia. Masalah ini timbul kerana organisasi birokrasi terlalu menekankan prinsip orientasi melakukan tugasan tanpa dipengaruhi oleh perasaan. Dalam prinsip ini orang atasan harus menghindarkan pertimbangan peribadi dalam hubungannya dengan orang bawahan ataupun orang awam yang dilayaninya. walaupun pada dasarnya prinsip ini bertujuan untuk memberikan perlakuan yang adil terhadap semua orang, namun jika terlalu ditekankan atau tidak disesuaikan mengikut keadaan akan menyebabkan penurunan produktiviti sehingga menyebabkan timbulnya ketidakcekapan. Sebagai contohnya disini katakan terdapat dua jenis orang bawahan yang mempunyai daya produktiviti yang berbeza, golongan orang bawahan yang pertama mempunyai prestasi kerja yang baik manakala golongan orang bawahan yang kedua pula mempunyai prestasi kerja yang buruk, namun layanan yang diberikan oleh pihak atasan kepada kedua-dua golongan orang bawahan tersebut tetap sama. Keadaan ini akan menyebabkan timbulnya ketidakpuasan hati kepada orang bawahan yang mempunyai prestasi kerja yang baik itu tadi dan ini boleh mempengaruhi prestasi mereka kerana mereka kurang diberi penghargaan. Dalam kata lain, teori birokrasi tidak mengambilkira perasaan dan emosi para pekerja, dan inilah apa yang disebutkan sebagai kurang mengambil perhatian terhadap faktor manusia. 

Weber menyingkirkan perkara ini sehingga menimbulkan kritikan berkaitan kegagalan menghargai kepentingan birokrasi yang tidak mengambilkira soal perasaan dan penambahan kepentingan faktor manusia (Sims et al., 1995).

G. Birokrasi pemerintahan dan Perilaku Birokrasi di Indonesia
a.  Masa Lalu
Kondisi birokrasi pemerintahan Indonesia di era orde baru merupakan perpaduan antara karakteristik birokrasi modern yang legal-rasional dengan karakteristik birokrasi yang berakar dalam sejarah seperti terdapatnya posisi seseorang yang tidak sesuai dengan keahliannya. Birokrasi Indonesia yang tidak bisa dipisahkan dari faktor historis tersebut disebut sebagai “Birokrasi Patrimonial” sebagai warisan budaya masa lampau.

Priyo Budi Santoso menyebut model teoritis untuk memahami karakteristik politik dan birokrasi Indonesia khususnya pada masa Orde Baru guna melengkapi konsep birokrasi patrimonial tersebut yang disebut dengan model bureaucratic-polity (politik birokrasi). Karl D Jackson menjelaskan sebagai berikut:

Politik birokrasi adalah suatu sistem politik di mana kekuasaan dan partisipasi politik dalam pengambilan keputusan terbatas sepenuhnya pada para penguasa negara, terutama para perwira militer dan pejabat tinggi birokrasi, termasuk khususnya para ahli berpendidikan tinggi yag terkenal sebagai teknokrat, dalam hal ini militer dan birokrasi tidak bertanggung jawab kepada kekuatan-kekuatan politik lain seperti partai-partai politik, kelompok-kelpompok kepentingan, atau organisasi kemasyarakatan. Berbagai tindakan didesain untuk mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah yang berasal dari dalam elit itu sendiri tanpa banyak memerlukan partisipasi atau mobilisasi massa. Kekuasaan tidak dilibatkan oleh artikulasi kepentingan sosial dan geografi di sekitar masyarakat.

Secara lebih sempit, Harold Crouch mencatat bahwa bureaucratic-polity di Indonesia mengandung tiga ciri utama, yaitu lembaga politik yang dominan adalah birokrasi, lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontrol kekuatan birokrasi, serta massa di luar birokrasi secara politik dan ekonomis adalah pasif, yang sebagian adalah merupakan kelemahan parpol dan secara timbal balik menguatkan birokrasi.

b.  Masa Kini
Seymour Martin Lipset dalam Miftah Thoha, mengatakan bahwa komponen pembangunan ekonomi salah satunya adalah industrialisasi. Semula masyarakatnya bersifat agraris serta serba manual dan kemudian pelan-pelan atau cepat akan mengarah ke tatanan masyarakat yang industrialis. Salah satu ciri yang menonjol adalah gerak yang dinamis yang mempengaruhi struktur dan mekanisme kerja birokrasi di Indonesia yang disertai oleh sikap kritis masyarakat sebagai akibat meningkatnya tingkat pendidikan.

Menurut Miftah Thoha, gerak dinamis dan sikap kritis tersebut mempengaruhi kualitas hidup suatu bangsa. Masyarakat akan menuntut demokratisasi di segala bidang termasuk pelayanan dan sistem birokrasi pemerintah dimana kejahatan konvensional yang sangat mengganggu ekonomi nasional adalah korupsi. Menurut Afan Gafar, kebijakan publik di Indonesia mewajibkan rakyat untuk ikut terlibat didalamnya, sehingga masyarakat dapat mengeluh hingga berbuat anarkis, minimal dengan cara demonstrasi di jalan.

c.  Masa Depan
Model birokrasi yang ideal bukan bertumpu pada kultur semata, tetapi juga bertumpu pada profesionalisme birokrasi terutama aparat birokrasinya. Profesionalisme birokrasi ini terfokus pada adanya perjenjangan struktur secara tertib dengan pendelegasian wewenang , posisi jabatan dengan tugas-tugas, dan aturan-aturan yang jelas, serta tersedianya personel yang memiliki kecakapan dan kredibilitas yang memadai dalam bidang tugasnya.

Menurut Akhmad Setiawan, birokrasi di Indonesia tergolong birokrasi yang tidak bebas berpolitik. Hal ini tercermin dalam birokrasi yang sulit untuk tidak terlibat politik sementara ciri patrimonial masih melekat. Hal inilah yang menjadikan keikutsertaan masyarakat dalam pengambilan keputusan menjadi lebih terlihat.
Birokrasi pemerintahan yang ideal tercipta ketika karakter birokrasi ideal terpenuhi, yaitu birokrasi yang terstruktur baik, tidak adanya jabatan yang inefisien, aturan yang jelas, personel yang cakap, birokrasi yang apolitis, dan berorientasi pada pelayanan masyarakat.

H. Masalah Birokrasi
Pemerintahan sebagai pilar utama penyelenggara negara semakin dihadapkan pada kompleksitas global, sehingga perannya harus mampu dan cermat serta proaktif mengakomodasi segala bentuk perubahan. Kondisi tersebut sangat memungkinkan karena aparatur berada pada posisi sebagai perumus dan penentu daya kebijakan, serta sebagai pelaksana dari segala peraturan. Sementara itu, kondisi objektif dari iklim kerja aparatur selama ini masih dipengaruhi oleh teori atau model birokrasi klasik yang diperkenalkan oleh Taylor, Wilson, Weber, Gullick, dan Urwick, yaitu:
a. struktur,
b. hierarki,
c. otoritas,
d. dikotomi kebijakan administrasi rantai pemerintah, dan
e. sentralisasi. 

Meskipun model tersebut memaksimumkan nilai efisiensi dan efektifitas ekonomi, namun pada kenyataannya teori tersebut tidak dapat memberikan jawaban secara faktual sesuai dengan banyak temuan penelitian di berbagai tempat.

Teori birokrasi tersebut telah menimbulkan berbagai implikasi negatif yang sangat  terkait dengan gejala sebagai berikut:
1. Smith, menyebutkan Inmobilism-inability to function, adalah kenyataan yang terkait dengan adanya hambatan dan ketidakmampuan menjalankan fungsi secara efektif.
2. E. bardock, mengemukakan gejala kelemahan adalah tekonisme, yaitu kecenderungan sikap administratoryang menyatakan mendukung suatu kebijaksanaan dari atas secara terbuka tetapi sebenarnya hanya melakukan sedikit sekali partisipasi dalam pelaksanaannya. Partisipasi yang sangat kecil tersebut dapat pula berbentuk procrastination, yaitu bentuk partisipasi dengan penurunan mutu atau kualitas pelayanan.
3. Kelemahan lain adalah koordinasi yang dapat menimbulkan kelebihan (surpluses) maupun kekurangan (shortages)
4. Kelemahan lain adalah kebocoran dalam kewenangan (linkage of authority), yaitu kebijaksanaan pimpinan ditafsirkan dan diteruskan oleh pembantu pimpinan secara berlainan dalam arus perintah pada bawahan sesuai dengan pertimbangannya sendiri.
5. Selain itu terdapat juga gejala resistance,baik secara terang-terangan maupun tersembunyi oleh aparat dalam menjalankan tugas-tugas kedinasan

Birokrasi harus dihindarkan dari rancangan pihak-pihak yang tidak menghiraukan kepentingan publik untuk menjadikannya sebagai power center karena dapat mengancam potensi masyarakat.

Dalam hal patologi demokrasi dapat dikategorikan dalam lima kelompok, yaitu :
1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi, 
contohnya : 
a. Penyalahgunaan wewenang dan jabatan
b. Penguburan masalah
c. Menerima sogok atau suap
e. Pertentangan kepentingan
f. kecenderungan mempertahankan status quo / ketakutan pada perubahan
g. Arogansi dan intimidasi
h. Kredibilitas relatif rendah / nepotisme
i. Paranoia dan otoriter astigmatisme
j. Patologi yang disebabkan karna kurang / rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional. Artinya, rendahnya produktivitas kerja dan mutu pelayanan tidak semata-mata disebabkan oleh tindakan dan perilakuyang disfungsional, tetapi juga karena tingkat pengetahuan dan keteramplan yang tidak sesuai dengan tuntutan tugas yang diemban.
k. Patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Yang digolongkan dalam melanggar tindakan hukum, antara lain :
1. Menerima sogok / suap
2. Korupsi, dan
3. Tata buku yang tidak benar
4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat disfungsional / negative, yaitu bertindak sewenang-wenang dan melalaikan tugas.
5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai analisis dalam lingkungan pemerintahan.

Pemahaman patologi birokrasi secara tepat memerlukan analisis mendalam mengenai konfigurasi birokrasi tersebut yang akan terlihat dalam berbagai situasi internal yang dapat berakibat negatif terhadap birokrasi yang bersangkutan, antara lain :
1. penempatan tujuan dan sasaran yang tidak tepat
2. eksploitasi
3. tidak tanggap
4. motivasi yang tidak tepat
5. kekuasaan kepemimpinan
6. beban kerja yang terlalu berat
7. perubahan sikap yang mendadak.

I. Upaya Penanggulangan Patologi Demokrasi

a. Paradigma Birokrasi yang Ideal.
1. Kelembagaan
Birokrasi pemerintahan merupakan organisasi yang paling besar di setiap negara yang ditentukan oleh berbagai faktor, seperti komplekksitas fungsi yang harus diselenggarakan, besarnya tenaga kerja yang digunakan, besarnya anggaran yang dikelola, beraneka ragamnya sarana dan prasarana yang dikasai serta dimanfaatkan, serta luasnya wilayah kerja yang meliputi seluruh wilayah kekuasaan negara yang bersangkutan, sehingga birokrasi pemerintahan perlu selalu berusahaagar seluruh organisasi birokrasi itu dikelola berdasarkan prinsip-prinsip organisasi.

2. Manajemen Sumber Daya Manusia
Adapun langkah-langkah yang dapat diambil, terdiri dari perencanaan, rekruitmen, seleksi, penembapatan sementara, penempatan tetap, penentuan sistem imbalan, perencanaan dan pembinaan karier, peningkatan pengetahuan dan keterampilan, pemutusan hubungan kerja, pensiunan, dan audit kepegawaian.

3. Pengembangan Sistem Kerja
Pengembangan sistem kerja harus diarahkan pada hilangnya persepsi negatif mengenai birokrasi. Pengembangan sistem kerja harus didsarkanpada pendekatan kesisteman yang berarti bahwa struktur apapun yang digunakan, semuanya harus tetap terwujud dalam kesatuan gerak dan langkah. Artinya, seluruh birokrasi bergerak sebagai satu kesatuan yang dapat diwujudkan apabila pengembangan sistem kerja birokrasi dapat ditujukan pada seluruh langkah yang ditempuh dalam proses administrasi negara.

4. Pengembangan citra birokrasi yang positif.
Citra birokrasi umumnya bersifat negatif, sehingga nilai-nilai loyalitas, kejujuran, semangat pengabdian, disiplin kerja, mendahulukan kepentingan bangsa diatas kepentingan sendiri, tidak memperhitungkan untung rugi dalam pelaksanaan tugas, kesediaan berkorban, dan dedikasi, harus selalu ditekankan untuk dijunjung tinggi.

Beberapa cara yang dapat menghilangkan citra negatif, yaitu :
1. Mendorong proses demokrasi dalam masyarakat, antara lain dalam bentuk peningkatan pengawasan sosial agar penyimpangan oleh para anggota birokrasi semakin berkurang.
2. Mengurangi campur tangan birokrasi dalam berbagai kegiatan-kegiatan dalam masyarakat yang semakin maju, merupakan porsi masyarakat untuk menyelenggarakannya.
3. Menggunakan setiap kesempatan untuk menumbuhkan persepsi mengenai pentingnya orientasi pelayanan, bukan orientasi kekuasaan, dalam berpikir dan bertindak.
4. Mengharuskan para pejabat tinggi membuat pernyataan mengenai kekayaan pada waktu mulai menjabat.

b. Reformasi Birokrasi Menuju Pemerintahan yang Bersih, Kuat, dan Berwibawa
Selama kedudukan dominan berada di tangan birokrat, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya kolusi atau penyalahgunaan wewenang untuk setiap urusan / keperluan. Birokrasi pemerintahan yang semakin kuat dan menentukan cenderung melakukan penyalahgunaan jabatan, wewenang, dan kekuasaan. Selama kekuasaan legislatif dan judikatif berada dibawah penguasa sebab peran kepela eksekutif sangat mempengaruhi kedudukan, jabatan, dan posisi di kedua lembaga tersebut. Lembaga legislatif tidak dapat melakukan fungsi pengawasan secara efektif karena eksekutif lebih kuat daripada legislatif sedangkan lembaga judikatif tidak kuat dan tidak independen karena adanya campur tangan dari kepala eksekutif. Dengan demikian, pelaksanaan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen menjadi terabaikan sebab lemahnya fungsi kontrol legislatif.

Berdasarkan hal tersebut, sistem ketatanegaraan yang perlu direformasi adalah mencakup bidang politik, ekonomi, dan hukum pada tataran sistem, serta reformasi bidang moral intelektual dan sosial budaya pada tataran karakter. Di bidang politik, perubahan itu berkenaan dengan penyempurnaan undang-undang pemilihan umum partai politik, susunan dan kedudukan anggota DPR, MPR,dan DPRD, serta kebebasan mengeluarkan pendapat. Di bidang ekonomi, diperlukan undang-undang anti monopoli, perlindungan konsumen, serta perbaikan terhadap undang-undang ketenagakerjaan. Bidang hukum, diperlukan undang-undang tentang HAM dan bela negara. Sedangkan dalam tatanan karakter, perlu dibuat undang-undang etika pemerintahan dan menegakkan law enforcement . Selain itu, peran birokrasi juga harus dikembangkan kepada prinsip pelayanan yang cepat dan tepat, efisien, dan efektif.

Pemerintah juga dituntut untut untuk memprioritaskan pembenahan sistem yang menyangkut kelembagaan dan sistem pendukung lainnya. Fungsi birokrasi termasuk aparatur negara hendaknya bisa sebagai penyelesai masalah (a world of solution) serta menghindarkan diri dari sumber masalah (source of problem).

Teori birokrasi yang diperkenalkan oleh Max Weber ini telah memberi kesan yang besar dalam bidang organisasi dan pentadbiran. Seperti juga teori-teori organisasi yang lain, objektif utamanya adalah untuk mencapai kecekapan atau efisien dalam kerja. Daripada huraian diatas juga dapat dinilai bahawa teori ini mempunyai kekuatan dan kelemahannya yang tersendiri apabila diaplikasikan ke dalam sesebuah organisasi. Teori birokrasi yang dihuraikan oleh Weber banyak berhubungkait dengan pengurusan saintifik dimana teori ini menekankan kepada rasionaliti, kebolehan untuk diramal, tidak dipengaruhi oleh perasaan, kecekapan teknikal dan autoritarianisme (Robbins & Coulter, 2009). Walaupun teori birokrasi ini lebih sinonim dikaitkan dengan kelemahan-kelemahan tertentu, namun dalam bidang pengurusan khidmat manusia, masih terdapat pelajaran dan pengetahuan yang kita dapat pelajari daripada teori birokrasi dan seterusnya dapat memberi sumbangan kepada teori pengurusan khidmat manusia. Menurut Kettner (2002), ramai pekerja kerja sosial profesional dan pengamal perkhidmatan manusia yang lain, termasuk ramai pengurus dapat melaksanakan tugas bahagian mereka dengan baik dan profesional apabila bekerja di dalam sebuah organisasi birokrasi. Pada hari ini kita dapat melihat bahawa birokrasi banyak dipraktikkan di dalam agensi kerajaan, hospital, instituisi pertahanan, pertubuhan badan bukan kerajaan (NGO), syarikat korporat, kelab-kelab sosial, institusi akademik dan sebagainya lagi. Hal ini membuktikan bahawa teori birokrasi bukanlah sekadar ideologi semata-mata namun sebenarnya dapat diaplikasikan ke dalam mana-mana jenis organisasi yang ada.      

Lencana Facebook