Salah satu bidang kajian yang cukup cepat perkembangannya adalah komunikasi. Pada mulanya, telaahan komunikasi hanya sebatas pada penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain, namun dalam perkembangannya pesan (message) yang disampaikan lebih spesifik. Dari situlah muncul bidang komunikasi politik, di mana pesannya berdimensi politik (mempengaruhi orang lain), komunikasi kesehatan yang pesannya lebih menitikberatkan kepada pesan-pesan kesehatan, dan lain-lain. Dari “rahim” komunikasi ini pula lahir komunikasi antarbudaya, yaitu pertukaran pesan di antara orang-orang (komunikator – komunikan) yang berbeda (Effendy, 1994:8).
Sejak tahun 70-an, para pakar yang memiliki perhatian khusus kepada komunikasi antarbudaya memulai pencarian untuk mengkaji sebagai disiplin ilmu tersendiri. Secara esensial, keberadaan komunikasi antarbudaya memiliki kesetaraan dengan komunikasi politik, komunikasi antarpribadi, komunikasi massa, dan lain-lain. Dari segi kepustakaan, selama ini telah banyak dihasilkan ragam komunikasi antarbudaya dari berbnagai perspektif, misalnya dari perspektif pendidikan, antropologi, psikologi, bahasa, sosiologi, dan lain-lain. Berbagai kajian tersebut semakin memperkaya khazanah kepustakaan komunikasi antarbudaya.
Komunikasi antarbudaya dapat dianggap sebagai suatu bidang studi, karena secara teoretik-akademik telah memenuhi persyaratan-persyaratan dari suatu cabang ilmu pengetahuan, yaitu:
1. Ada kepustakan yang cukup memadai bagi ilmuwan dan mahasiswa untuk digunakan sebagai pelajaran dan referensi.
2. Ada pengertian teoretis yang luas sebagai landasan kuat bagi studi dalam bidang tersebut.
3. Mempunyai lebih dari suatu cara pendekatan untuk penerapan teori tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
4. Harus cukup luas ruang lingkupnya sehingga ilmuwan mempunyai keleluasaan untuk melakukan penelitian dan membangun teori.
5. Harus memungkinkan untuk megajarkan keterampilan pada para praktisi yang biasanya tidak memperdulikan aspek-aspek teoretis dari program latihan mereka.
6. Pada tingkat graduate (setingkat S 2), harus memberi peluang bagi mahasiswa untuk mengambil bidang spesialisasi dalam salah satu aspek dari bidang tersebut.
7. Lulusan pendidikan tingginya harus dapat memperoleh pendidikan dan latihan.
8. Kebutuhan untuk mempelajari bidang tersebut harus diakui oleh lembaga-lembaga pendidikan, organisasi-organisasi perusahaan, dan pemerintah (Rumondor, 2001).
Sementara Hammer (dalam Liliweri, 2003:14) , mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai salah satu kajian dalam ilmu komunikasi, karena:
1. Secara teoretis memindahkan fokus dari suatu kebudayaan kepada kebudayaan yang dibandingkn.
2. Membawa konsep aras makro kebudayaan ke aras mikro kebudayaan.
3. Menghubungkan kebudayaan dengan proses komunikasi.
4. Membawa perhatian kita kepada peranan kebudayaan yang mempengaruhi perilaku.
Studi-studi komunikasi antarbudaya semakin menemukan relevansinya karena dihadapkan oleh fakta keragaman budaya baik di dalam negeri maupun internasional. Berbagai konflik yang muncul tidak saja didasari oleh motif politik dan ekonomi, tetapi juga disebabkan oleh benturan budaya. Budaya memiliki nilai-nilai yang menjadi pegangan sekelompok masyarakat, dan hal itu akan menjadi krusial apabila nilai dianut sekelompok masyarakat berbenturan dengan nilai-nilai budaya kelompok lain. Misalnya, budaya Barat yang cenderung bebas (terutama dalam pergaulan) banyak berbenturan dengan budaya Timur yang lebih religius.
Berdasarkan paparan-paparan di atas, maka kajian mengenai komunikasi antarbudaya bukan saja menarik, tetapi sudah menjadi kebutuhan setiap individu dan kelompok maupun. Dalam ungkapan lain, kebutuhan akan disiplin komunikasi antarbudaya bukan hanya didasarkan pada kebutuhan pragmatis, melainkan pula kebutuhan akademis.