Home » , , , » Ruang Terbuka Hijau (RTH) Dalam Telaah Undang-Undang No. 26 Tahun 2007

Ruang Terbuka Hijau (RTH) Dalam Telaah Undang-Undang No. 26 Tahun 2007

Berdasarkan KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan dipertegas lagi pada KTT Johanesburg Afrika Selatan 10 tahun kemudian (2002), disepakati bersama bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas RTH minimal 30 % dari total luas kota. Namun tampaknya bagi kota-kota di Indonesia pada umumnya hal ini akan sulit terealisir akibat terus adanya tekanan pertumbuhan dan kebutuhan sarana dan prasarana kota, seperti pembangunan bangunan gedung, pengembangan dan penambahan jalur jalan yang terus meningkat serta peningkatan jumlah penduduk.

Disahkannya Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebabkan perlu diperbarui Rencana Tata Ruang Nasional maupun Rencana Tata Ruang Wilayah, karena terdapat beberapa perbedaan tahapan perencanaan yang harus dilakukan. Penataan Ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Klasifikasi penataan ruang berdasarkan pasal 4 UUPR diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan. Hal ini menunjukan bahwa fungsi kawasan menjadi poin utama dalam merencanakan peruntukan lahan. 

Asas penataan ruang adalah pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan. Asas lainnya adalah keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum. Adapun tujuan penataan ruang adalah:
a, terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional; 
b. terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budi daya; dan 
c. tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. 

Penataan ruang wilayah/kawasan pada era otonomi daerah memiliki konsep dan karakteristik sebagai berikut:
a. lebih menitikberatkan kepada pendekatan bottom-up; 
b. melibatkan semua pelaku pembangunan (stakeholder)
c. transparan dalam perencanaan, implementasi, dan pengendalian; 
d. memberi perhatian besar pada tuntutan jangka pendek; 
e. realistis terhadap tuntutan dunia usaha dan masyarakat; 
f. berwawasan luas, dengan perhatian terhadap kawasan yang lebih detail; 
g. rencana dapat dijadikan pedoman investasi; 
h. menjaga dan meningkatkan mutu lingkungan sambil mendorong dan memfasilitasi pembangunan; serta 
i. mempunyai visi pembangunan dan manajemen pembangunan (applicable)

Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap wilayah kota harus menyediakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30% dari luas wilayah. Selain itu, kebutuhan akan Ruang Terbuka Hijau pada suatu wilayah juga dapat ditentukan melalui berbagai indikator seperti jumlah penduduk, kebutuhan oksigen, dan kebutuhan air bersih.
Pasal 1 angka 31 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mendefinisikan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai area memanjang/jalur dan/atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah, maupun yang sengaja ditanam. 

Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat dibagi menjadi:
1. kawasan hijau pertamanan kota; 
2. kawasan hijau hutan kota; 
3. kawasan hijau rekreasi kota; 
4. kawasan hijau kegiatan olahraga; dan 
5. kawasan hijau pemakaman. 

Klasifikasi RTH dapat dibagi menjadi kawasan hijau pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olah raga, kawasan hijau pemakaman, kawasan hijau pertanian, kawasan hijau jalur hijau; dan kawasan hijau pekarangan.

RTH publik merupakan RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota, berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh pemerintah dan digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.

Pengaturan RTH publik ditegaskan dalam Pasal 29 (3) Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR), di mana proporsi RTH publik paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota. Proporsi RTH publik disediakan oleh pemerintah kota agar proporsi minimal RTH dapat lebih dijamin pencapaiannya sehingga memungkinkan pemanfaatannya secara luas oleh masyarakat. Proporsi RTH publik seluas minimal 20 (dua puluh) persen dapat disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang.

RTH privat atau non publik yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik privat. Proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit adalah 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota, 20 (dua puluh) persen merupakan proporsi RTH publik yang seyogyanya harus dipenuhi. Selebihnya diusahakan melalui RTH privat (minimal 10 (sepuluh) persen dari luas wilayah kota). Yang termasuk RTH privat antara lain adalah kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan, dan lain sebagainya.

Pasal 1 angka 2 Permendagri No. 1 Tahun 2007 tentang Ruang Terbuka Hijau kawasan Perkotaan mendefinisikan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) sebagai bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi, dan estetika.
Pengaturan tentang RTH ditegaskan dalam Pasal 1 butir 31, 28, 29, 30 dan 31 Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR). 

Pasal 1, Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 31. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Pasal 28, Ketentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 berlaku mutatis mutandis untuk perencanaan tata ruang wilayah kota, dengan ketentuan selain rincian dalam Pasal 26 ayat (1) ditambahkan:
a. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau;
b. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan
c. rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana...(dst.)

Pasal 29, (1) Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. (2) Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota. (3) Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota.

Pasal 30, Distribusi ruang terbuka hijau publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3) disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang.

Pasal 31, Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau dan ruang terbuka nonhijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a dan huruf b diatur dengan peraturan Menteri.

Proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.

Ruang terbuka (open spaces) merupakan ruang yang direncanakan karena kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Ruang terbuka (open spaces), Ruang Terbuka Hijau (RTH), Ruang publik (public spaces) mempunyai pengertian yang hampir sama. Secara teoritis yang dimaksud dengan ruang terbuka (open spaces) adalah: Ruang yang berfungsi sebagai wadah (container) untuk kehidupan manusia, baik secara individu maupun berkelompok, serta wadah makhluk lainnya untuk hidup dan berkembang secara berkelanjutan.

Berdasarkan kepemilikan lahannya, Ruang Terbuka Hijau (RTH) terdiri atas RTH Publik dan dan RTH Privat. Proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah minimal 30% luas wilayah.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang dimaksud dengan ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. 

Sedangkan menurut D. A. Tisnaamidjaja, mengatakan ruang adalah wujud fisik wilayah dalam dimensi geografis dan geometris yang merupakan wadah bagi manusia dalam melaksanakan kegiatan kehidupannya dalam suatu kualitas hidup yang layak.

Dalam masalah perkotaan, RTH merupakan bagian atau salah satu sub-sistem dari sistem kota secara keseluruhan. RTH sengaja dibangun secara merata di seluruh wilayah kota untuk memenuhi berbagai fungsi dasar yang secara umum dibedakan menjadi:
a. Fungsi bio-ekologis (fisik), yang memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (’paru-paru kota’), pengatur iklim mikro, agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap (pengolah) polutan media udara, air dan tanah, serta penahan angin;
b. Fungsi sosial, ekonomi (produktif) dan budaya yang mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal, RTH merupakan media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, tempat pendidikan, dan penelitian;
c. Ekosistem perkotaan; produsen oksigen, tanaman berbunga, berbuah dan berdaun indah, serta bisa mejadi bagian dari usaha pertanian, kehutanan, dan lain-lain;
d. Fungsi estetis, meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik (dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukiman, maupun makro: lansekap kota secara keseluruhan).

Mampu menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota. Juga bisa berekreasi secara aktif maupun pasif, seperti: bermain, berolahraga, atau kegiatan sosialisasi lain, yang sekaligus menghasilkan ’keseimbangan kehidupan fisik dan psikis’. Dapat tercipta suasana serasi, dan seimbang antara berbagai bangunan gedung, infrastruktur jalan dengan pepohonan hutan kota, taman kota, taman kota pertanian dan perhutanan, taman gedung, jalur hijau jalan, bantaran rel kereta api, serta jalur biru bantaran kali.

Manfaat RTH kota secara langsung dan tidak langsung, sebagian besar dihasilkan dari adanya fungsi ekologis, atau kondisi ’alami’ ini dapat dipertimbangkan sebagai pembentuk berbagai faktor. Berlangsungnya fungsi ekologis alami dalam lingkungan perkotaan secara seimbang dan lestari akan membentuk kota yang sehat dan manusiawi. Taman tempat peletakan tanaman sebagai penghasil oksigen (O2) terbesar dan penyerap karbon dioksida (CO2) dan zat pencemar udara lain, khusus di siang hari, merupakan pembersih udara yang sangat efektif melalui mekanisme penyerapan (absorbsi) dan penyerapan (adsorbsi) dalam proses fisiologis, yang terjadi terutama pada daun, dan permukaan tumbuhan (batang, bunga, dan buah).

Dengan adanya RTH sebagai ‘paru-paru’ kota, maka dengan sendirinya akan terbentuk iklim yang sejuk dan nyaman. Kenyamanan ini ditentukan oleh adanya saling keterkaitan antara faktor-faktor suhu udara, kelembaban udara, cahaya, dan pergerakan angin. RTH membantu sirkulasi udara. Pada siang hari dengan adanya RTH, maka secara alami udara panas akan terdorong ke atas, dan sebaliknya pada malam hari, udara dingin akan turun di bawah tajuk pepohonan. Pohon, adalah pelindung yang paling tepat dari terik sinar matahari, di samping sebagai penahan angin kencang, peredam kebisingan dan bencana alam lain, termasuk erosi tanah. Bila terjadi tiupan angin kencang di ‘atas’ kota tanpa tanaman, maka polusi udara akan menyebar lebih luas dan kadarnya pun akan semakin meningkat.

Namun demikian, cara penanaman tetumbuhan yang terlalu rapat pun, menyebabkan daya perlindungannya menjadi kurang efektif. Angin berputar di ’belakang’ kelompok tanaman, sehingga dapat meningkatkan polusi di wilayah ini. Penanaman sekelompok tumbuhan dengan berbagai karakteristik fisik, di mana perletakkan dan ketinggiannya pun bervariasi, merupakan faktor perlindungan yang lebih efektif. RTH sebagai pemelihara akan kelangsungan persediaan air tanah. Akar-akar tanaman yang bersifat penghisap, dapat menyerap dan mempertahankan air dalam tanah di sekitarnya, serta berfungsi sebagai filter biologis limbah cair maupun sampah organik. Salah satu referensi menyebutkan, bahwa untuk setiap 100.000 penduduk yang menghasilkan sekitar 4,5 juta liter limbah per hari, diperlukan RTH seluas 522 hektar.

RTH sebagai penjamin terjadinya keseimbangan alami, secara ekologis dapat menampung kebutuhan hidup manusia itu sendiri, termasuk sebagai habitat alami flora, fauna dan mikroba yang diperlukan dalam siklus hidup manusia. RTH sebagai pembentuk faktor keindahan arsitektural. Tanaman mempunyai daya tarik bagi mahluk hidup, melalui bunga, buah maupun bentuk fisik tegakan pepohonannya secara menyeluruh. Kelompok tetumbuhan yang ada di antara struktur bangunan-kota, apabila diamati akan membentuk perspektif dan efek visual yang indah dan teduh menyegarkan (khususnya di kota beriklim tropis).

RTH sebagai wadah dan obyek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam. Keanekaragaman hayati flora dan fauna dalam RTH kota, menyumbangkan apresiasi warga kota terhadap lingkungan alam, melalui pendidikan lingkungan yang bisa dibaca dari tanda-tanda (signage, keterangan) bertuliskan nama yang ditempelkan pada masing-masing tanaman yang dapat dilihat sehari-hari, serta informasi lain terkait. Dengan demikian, pengelolaan RTH kota akan lebih dimengerti kepentingannya (apresiatif) sehingga tertib. RTH sekaligus merupakan fasilitas rekreasi yang lokasinya merata di seluruh bagian kota, dan amat penting bagi perkembangan kejiwaan penduduknya. RTH sebagai jalur pembatas yang memisahkan antara suatu lokasi kegiatan, misal antara zona permukiman dengan lingkungan sekitar atau di ’luar’nya. RTH sebagai cadangan lahan (ruang).

Dalam Rencana Induk Tata Ruang Kota, pengembangan daerah yang belum terbangun bisa dimanfaatkan untuk sementara sebagai RTH (lahan cadangan) dengan tetap dilandasi kesadaran, bahwa lahan cadangan ini suatu saat akan dikembangkan sesuai kebutuhan yang juga terus berkembang. Manfaat eksistensi RTH secara langsung membentuk keindahan dan kenyamanan, maka bila ditinjau dari segi-segi sosial-politik dan ekonomi, dapat berfungsi penting bagi perkembangan pariwisata yang pada saatnya juga akan kembali berpengaruh terhadap kesehatan perkembangan sosial, politik dan ekonomi suatu hubungan antara wilayah perdesaan-perkotaan tertentu.

Menyusutnya Ruang Terbuka Hijau khususnya di lingkungan perkotaan pun seringkali terjadi, padahal Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR), telah mengatur bahwa pada hakikatnya ruang terbagi ke dalam dua kategori, yaitu kawasan budi daya atau terbangun, dan kawasan lindung (alam, konservasi) , yang proporsi keduanya tentu harus seimbang.

Walau telah ada peraturannya, pada kenyataannya pertimbangan untuk menyelenggarakan RTH yang baik tak memperlihatkan perubahan yang cukup signifikan bahkan cenderung menyusut disebabkan banyak hal, yang mengakibatkan terjadinya degradasi kualitas di hampir seluruh seluruh wilayah kota karena lemahnya penegakan hukum. Dengan semakin tipisnya RTH sebagai “paru-paru” kota di seluruh dunia secara akumulatif, akan berakibat fatal yang dicirikan dengan perubahan cuaca dan naiknya suhu bumi.

Upaya-upaya pelestarian fungsi lingkungan dengan menyisihkan sebagian ruang kota untuk RTH, harus segera dilaksanakan. Artinya ruang-ruang yang rawan tersebut bukan diproyeksikan untuk pemukiman, seperti tepian badan air (sungai, danau/dam atau curam), atau mendirikan bangunan pada lereng yang relatif curam. Ruang untuk menampung kegiatan konservasi ligkungan kota harus dikaitkan dengan RUTRK dan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTR).

Perlu adanya pengertian dari seluruh para penghuni kota bahwa terdapat hubungan sangat strategis antara pembangunan kota dan RUTRK (yang di dalamnya mengandung rencana RTH) merupakan rencana pembangunan kota- kota layak huni (Eco-cities). Rencana pembangunan kota yang layak huni tersebut harus terus disebarluaskan sehingga sebab/akibat perkembangan kota yang baik atau buruk dapat diketahui seluruh warga kota.

Lencana Facebook