Home » , , , » Komunikasi Antar Budaya Sebagai Fenomena Sosial

Komunikasi Antar Budaya Sebagai Fenomena Sosial

Manusia tidak mungkin tidak melakukan komunikasi
sekalipun dalam keadaan bisu (tuna wicara). Karena
komunikasi sesungguhnya tidak saja dipahami sebagai
penyampaian pesan melalui bahasa (verbal), 
tetapi komunikasi adalah penyampaian pesan 
melalui lambang-lambang yang dapat dipahami 
oleh kedua belah pihak

(komunikator-komunikan), apapun bentuk
lambang tersebut.

Kemajuan yang luar biasa dibidang teknologi komunikasi telah menyebabkan dunia ini terasa sempit. Betapa tidak, untuk mengunjungi negeri-negeri yang jauh atau tempat-tempat wisata mancanegara tidak lagi harus datang secara fisik, cukup menyaksikannya melalui layar televisi atau internet. Untuk mengetahui berbagai kebudayaan antarnegara tidak harus datang langsung ke tempat kebudayaan itu berasal, cukup menyimaknya melalui “layar datar Thosiba berukuran 29 inchi”. Akselerasi teknologi seolah tak tertahankan lagi. Naisbit (1988:102) menjelaskan fenomena ini sebagai berikut: “Thanks to a thriving world economy, global telecommunication and expending travel, exchanges among Europe, North America, and the Pacific Rim are accelerating fast”.

Fenomena global village oleh McLuhan, dimana ciri utamanya disandarkan kepada:

1. Adanya keinginan akan keseragaman yang meningkat.
2. Adanya keinginan akan pengalaman yang sama.
3. Meningkatnya pengaruh media elektronik, seperti: televisi, satelit komunikasi, antena parabola dan sebagainya (Rumondor, 2001).

Kemajuan yang dicapai “anak-anak” kelahiran abad 19 ini tidak saja terbatas pada teknologi komunikasi, tetapi juga tercermin pada sarana transportasi (darat, udara dan laut). Dengan kemajuan ini orang-orang mampu melakukan komunikasi secara langsung (antarpribadi) di tempat-tempat yang sebelumnya tak pernah di duga. Misalnya, orang-orang yang berbeda negara, warna kulit, bahasa, dan kebangsaan dapat bertemu di Bali ketika melakukan wisata. Atau orang-orang yang berbeda identitas sosial pun dapat bertemu dan berkomunikasi dalam konteks perdagangan dunia, baik di negerinya sendiri maupun di luar negeri. Tanpa disadari, pelan namun pasti telah terjadi kontak (komunikasi) yang di dalamnya melibatkan orang-orang yang mungkin  sekali berlainan cara berpikir, cara berperilaku dan kebiasaannya. Bahkan perbedaan antara orang-orang yang berkomunikasi tersebut tidak saja menyangkut nilai-nilai budaya saja, tetapi juga aspek-aspek sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seterusnya.

Perbedaan budaya tidak menjadi halangan untuk satu sama lain menjalin hubungan (relationship), yang terpenting adalah saling memahami (understanding), saling beradaptasi (adaptation) dan saling bertoleransi (tolerance). Kunci utama dari pergaulan antarbudaya adalah tidak menilai orang lain yang berbeda budaya dengan menggunakan penilaian budaya kita. Biarkan semua berjalan dengan latar belakang budaya masing-masing. Justeru perbedaan budaya adalah ladang untuk siapapun  belajar budaya orang lain dengan arif dan bijak (wise).

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA SEBAGAI FENOMENA SOSIAL
Secara dasariah manusia memiliki kebutuhan (needs). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia melakukan interaksi sosial, dan interaksi sosial pada hakekatnya adalah melakukan komunikasi. Kebutuhan akan komunikasi sama halnya dengan kebutuhan kita akan bernafas. Dengan demikian komunikasi adalah fakta sosial dan sekaligus sebagai femomena sosial yang tak terhindarkan.

Mengenai komunikasi sebagai fakta dan fenomena sosual ini diperkuat oleh Tubbs (1996:239), demikian:
Dengan adanya inovasi teknologi dalam dua decade terakhir ini, tulis Gergen, “kehidupan kontemporer merupakan lautan hubungan sosial yang melingkar-lingkar”. Di lautan itu kita harus melakukan hubungan antarbudaya yang semakin banyak. Peningkatan komunikasi antarbudaya telah berlangsung dengan berkembangnya jaringan penerbangan dan jaringan komunikasi elektronik.

Dalam konteks hubungan (relasional), kita sepakat setiap orang membutuhkan komunikasi. Sekurang-kurangnya komunikasi tersebut dilakukan dalam:
1.   Orang berbicara tentang relasi mereka dalam pekerjaan, bagaimana mereka terlibat, bagaimana kebutuhan untuk menyatakan tenaganya;
2.   Orang bicara tentang komitmen yang berkaitan dengan relasi. Komitmen merupakan kondisi awal dari sebuah relasi;
3.   Orang berbicara relasi sebagai keterlibatan, terlibat bersama secara kuantitatif maupun kulaitatif dalam percakapan, dialog, membagi pengalaman;
4.   Orang bicara tentang relasi dalam istilah manipulasi, misalnya bagaimana saling mengawasi;
5.   Orang bicara tentang relasi dalam istilah untuk mempertimbangkan dan memperhatikan (Liliweri, 2003:6).

Dari sini akan muncul saling ketergantungan yang melahirkan sebuah komunitas bersama. Komunitas bersama meniscayakan adanya berbagai kemungkinan untuk saling tidak sependapat, dalam arti berbeda budaya, ideologi, gaya hidup, orientasai dan sebagainya. Berbagai problema segera akan mengemuka dan salah satunya akan menjadi persoalan komunikasi dalam konteks antarbudaya.

Tidak perlu bertanya, mengapa manusia diciptakan tidak sama dan serupa, termasuk budayanya ? Perbedaan budaya pada dasarnya adalah desain Tuhan dengan maksud untuk saling mengenal satu sama lain:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal (QS. Hujuraat/49:13).
         
Firman di atas secara tersurat memberikan pemahaman bahwa manusia perlu menjalin pergaulan meskipun berbeda suku dan bangsa. Hikma dari itu semua adalah saling kenal mengenal. Dengan cara demikian, manusia bisa saling melengkapi, saling berbagai, saling menjaga untuk menciptakan kesejahteraan.

Perbedaan budaya dalam pergaulan menuntut setiap individu untuk saling memahami dan menyadari. Secara teoretis, kemampuan akan komunikasi antarbudaya menjadi bagian penting. Litvin merinci sekurang-kurangnya 12 alasan mengenai pentingnya mempelajari komunikasi antarbudaya, yaitu:
1.   Dunia sedang menyusut dan kapasitas untuk memahami keanekaragaman budaya sangat diperlukan.
2.   Semua budaya berfungsi dan penting bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut meskipun nilai-nilai berbeda.
3.   Nilai-nilai setiap masyarakat se”baik” nilai-nilai masyarakat lainnya.
4.   Setiap individu dan/atau budaya berhak menggunakan nilai-nilanya sndiri.
5.   Perbedaan-perbedaan individu itu penting, namun ada asumsi-asumsi dan pola-pola budaya mendasar yang berlaku.
6.   Pemahaman atas nilai-nilai budaya sendiri merupakan prasyarat untuk mengidentifikasi dan memahami nilai-nilai budaya lain.
7.   Dengan mengatasi hambatan-hambatan budaya untuk berhubungan dengan orang lain kita memperoleh pemahaman dan penghargaan bagi kebutuhan, aspirasi, perasaan dan masalah manusia.
8.   Pemahaman atas orang lain secara lintas budaya dan antarpribadi adalah suatu usaha yang memerluka keberanian dan kepekaan. Semakin mengancam pandangan dunia orang itu bagi pandangan dunia kita, semakin banyak yang harus kita pelajari dari dia, tetapi semain berbahaya untuk memahaminya.
9.   Pengalaman-pengalaman antarbudaya dapat menyenangkan dan menumbuhkan kepribadian.
10.   Keterampilan-keterampilan komunikasi yang diperoleh memudahkan perpindahan seseorang dari pandangan yang monokultural terhadap interaksi manusia ke pandangan multikultural.
11.   Perbedaan-perbedaan budaya menandakan kebutuhan akan penerimaan dalam komunikasi, namun perbedaan-perbedaan tersebut secara arbitrer tidaklah menyusahan atau memudahkan.
12.   Situasi-situasi komunikasi antarbudaya tidaklah static dan bukan pula stereotip. Karena itu, seorang komunikator tidak dapat dilatih untuk mengatasi situasi. Ia harus disiapkan untuk menghadapi suatu situasi eksistensial. Dalam konteks ini kepekaan, pengetahuan dan keterampilannya bisa membuatnya siap untuk berperan serta dalam menciptakan lingkungan yang efektif dan saling memuaskan (Mulyana, ed.,  2001:xi).

Melengkapi diri dengan kemampuan komunikasi antarbudaya tidak sekedar untuk tujuan pragmatis pergaulan, tetapi lebih dari itu memiliki tujuan tertentu yang bersifat kognitif dan afektif.  Litvin (dalam Mulyana, ed., 2001:xi) merinci tujuan tersebut adalah:
1. Menyadari bias budaya.
2. Lebih peka secara budaya.
3. Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain untuk menciptakan  hubungan yang langgeng dan memuaskan dengan orang tersebut.
4. Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri.
5. Memperluas dan memperdalam pengalaman seseorang.
6. Mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu menerima gaya dan isi komunikasinya sendiri.
7. Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memelihara semesta wacana dan makna bagi para anggotanya.
8. Membantu memahami kontak antarbudaya sebagai suatu cara untuk memperoleh pandangan ke dalam budaya sendiri: asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasan-kebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya.
9. Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi bidang komunikasi antarbudaya.
10.   Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai  yang berbeda dapat dipelajari secara sistematis, dibandingkan, dan dipahami.

Lencana Facebook