Thomas Hobbes merupakan seorang pemikir politik yang lahir dan mengalami proses intelektual dalam keadaan sosial politik anarkis pada abad ke XVII. Thomas Hobbes dilahirkan di Malmesbury pada tanggal 15 April 1588 dalam keadaan prematur, hal itu terjadi bukan karena tanpa sebab, tapi keadaan dan kondisi yang mencekam pada masa itulah yang membuat psikologi ibu Hobbes terganggu dan lahirlah bayi hobbes dalam keadaan prematur.
Ayah Hobbes adalah seorang pendeta lokal miskin yang mewakili Paus untuk Charlton dan Westport, bagian dari Malmesbury, tapi sosok ayah yang tidak berpendidikan dan temperamen menjadikan bermasalah dengan pihak gereja sehingga kabur dari kota tersebut dan meninggalkan Hobbes muda. Akhirnya hak asuh Thomas Hobbes diserahkan ketangan pamannya. Dari sinilah Hobbes kemudian bisa menjalani kehidupannya. Pada usia ke 14 Thomas Hobbes mengeyam pendidikan Magdalen Colleg, Oxford dan meraih gelar BA lima tahun kemudian dan mempelajari pemikiran Aristoteles yang akhirnya pada kemudian hari dikritisi juga oleh Hobbes.
Teori The State of Nature and Natural Law Thomas Hobbes
State of nature dasar terbentuknya negara, Hobbes melukiskan keadaan manusia sebelum terbentuknya sebuah negara, masyarakat politik atau kekuasaan bersama sebagai keadaan alamiah (natural of law), keadaan alamiah merupakan sebuah konsep hipotesis. Konsep itu sepenuhnya produk rekayasa penalaran Hobbes mengenai kehidupan manusia sebelum terbentuknya lembaga-lembaga politik.
Hobbes mengakui keadaan alamiah tidak memiliki kebijakan historis sebab konsep ini tidak didasarkan kepada fakta sejarah yang sesunguhnya pernah sedang atau akan terjadi. Hobbes mengunakan keadaan alamiah tampaknya hanya sebagai meminjam istilah weberian tipe ideal masyarakat manusia sebelum memasuki masyarakat politik.
Kita dapat mengutip dalam reading pemikiran politik teori perjanjian sosial Hobbes dan Locke, bahan bacaan Mc Donald, II:
“Nature has made men so equal in the faculties of body and mind as that though there be found one man sometimes manisfestly stronger in body, or of quicker mind than another; yet when all is reckoned together, the difference between man and man is not so considerable as that one man can there upon claim to himself any benefit to which another may not pretend as well as he”.
(Kondisi alamiah telah membuat seseorang mempunyai kemampuan tubuh dan pikiran yang sama, dimana ada pula kenyataan yang menunjukkan seseorang terkadang mempunyai wujud tubuh yang lebih kuat, atau pikiran yang lebih cepat dari yang lain. Maka ketika semuanya digabungkan bersama, perbedaan antara satu dengan yang lainnya tidak terlalu dipertimbangkan. Oleh sebab itu, seseorang dapat mengklaim bahwa dirinya lebih beruntung daripada yang lain, sementara yang lain tidak menganggap dirinya seperti itu).
Hobbes sering menjuluki negara kekuasaan sebagai Leviathan, negara yang menimbulkan rasa takut kepada siapapun yang melangar hukum negara. Bila warga negara melanggar hukum, negara leviathan tidak segan-segan untuk menjatuhkan vonis hukuman mati.
Hobbes berpendapat manususia dalam keadaan alamiah bukanlah sejenis hewan sosial seperti yang dikemukakan Aristoteles meski sama-sama memiliki naluri, manusia yang berbeda dengan hewan, naluri hewan mendorong seekor semut atau lebah untuk berkompromi dan berdamai, jadi secara instingtif, semut dan lebah memiliki watak sosial.
Keadaan yang seperti itu yang kemudian memaksa akal manusia untuk mencari kehidupan alternatif yang baik yang mana manusia dapat mengekang hawa nafsunya, keadaan alternatif tersebut ditemukan oleh Hobbes setelah manusia mengadakan perjanjian untuk membentuk negara.
Dimanakah keadilan berada dalam kondisi seperti ini? Kata Hobbes, "tidak ada". Menurutnya: “Where there is no common powerm there is no law, where no law, no injustice.
Ini adalah poin yang paling signifikan membedakan Hobbes dengan pemikir politik lainnya. Selama berabad-abad, manusia telah berasumsi bahwa sesungguhnya keadilan itu ada dibalik atau lebih tinggi kedudukannya,
Men’s daily practice of justice in punishing offenders. The Platonic form, or ideal, of justice might be greatly at variance with what the men or powerwere doing in the law courts; but the former stood as an immutable standard whereby the latter could be judged. The ‘jus naturale’ of the roman lawyers was thought to have a more immediate relevance to practice, in that the right reason of the judges could bring into operative law, especially the jus gentium, the tenets of the more exalted natural law. Hobbes wipes away this distinction. Without organized power in society, justice simply does not exist. It is the product of power and not the guide or judge of power. The concept of natural law remains but it is transformed. It is ot what men of right reason ought to do live properly; it is what reason shows men of passion must do to stay alive.
Nalar manusia menurut Hobbes membimbing orang untuk berdamai. Atas dasar penalaran itulah manusia merasa membutuhkan kekuasaan bersama yang bisa menghindari pertumpahan darah, akal mengajarkan manusia sebaiknya damai dibawah hukum dan kekuasaan negara, dari pada hidup dalam keadaan bebas tapi anarkisme dan berbahaya untuk keselamatan dirinya. Atas dasar itulah kemudian manusia melepaskan dan memberhentikan kebebasan ilmiahnya demi kebaikan dirinya.
Hobbes berpendapat bahwa terbentuknya sebuah negara atau kedaulatan pada hakikatnya adalah karena kontrak atau perjanjian sosial, dalam perjanjian itu kemudian manusia atau individu secara sukarela menyerahkan hak-haknya serta kebebasannya kepada sang penguasa negara atau semacam dewa rakyat dalam leviathan.
Hobbes mengatakan “saya menyerahkan sebagian hak saya atau pengaturan diri saya kepada orang lain atau kepada sekelompok orang lain, dengan syarat ini bahwa anda melepas hak anda kepadanya dan mewenangkan semua tindakannya dalam prilaku yang sama”.
Maka menurut Hobbes yang terikat kepada seluruh perjanjian adalah adalah individu-individu. Negara itu sendiri bebas tidak terikat oleh perjanjian itu sendiri, ia berada diatas individu, negara berhak terhadap apa yang mereka kehendakinya, terlepas dari apa sesuai atau tidak terhendak dari individu. Negara versi Hobbes ini juga memiliki tanggung jawab kepada rakyat.
Filsafat Politik Thomas Hobbes
Hobbes menggambarkan negara sebagai makhluk raksasa dan menakutkan yang melegitimasikan diri semata-mata karena kemampuannya untuk mengancam. Hal itu dikarenakan pada pemerintahan di zamannya terkenal dengan negara yang absolut. Hobbes tidak mau membenarkan kesewenangan para raja, melainkan ia mau mendasarkan suatu kekuasaan negara yang tidak tergoyahkan. Pendasaran itu dilakukan dengan secara konsisten mendasarkan kekuasaan negara pada kemampuannya untuk mengancam para warga Negara. Manusia dapat diatur more geometrico, secara mekanistik. Apalagi organisasi masyarakat disusun sedemikian rupa hingga manusia merasa aman dan bebas sejauh ia bergerak dalam batas-batas hukum, dan terancam mati sejauh tidak, kehidupannya dapat terjamin berlangsung dengan teratur dan tentram.
Pandangan inilah dasar filsafat negara Hobbes Negara itu benar-benar sang Leviathan, binatang purba itu yang mengarungi samudera raya dengan perkasa, tanpa menghiraukan siapapun. Kekuasaannya mutlak. “Siapa yang diserahi kekuasaan tertinggi, tidak terikat pada hukum negara (karena itu akan berarti bahwa ia berkewajiban terhadap dirinya sendiri) dan tidak memiliki kewajiban terhadap seorang warga negara. Hobbes juga menolak segala pembagian kekuasaan negara. Negara, sang Leviathan, oleh Hobbes juga dijuluki “manusia buatan” dan Deus mortalis, “Allah yang dapat mati”.
Negara itu manusia buatan karena hasil rekayasa manusia itu mirip dengan manusia:negara mempunyai kehidupan dan kehendak sendiri. Dan ia bagaikan Allah. Ia memang dpt mati, artinya bubar. Tetapi selama ia ada, ia seperti Allah, merupakan tuan atas hidup dan mati manusia, ia berwenang untuk menetapkan apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang adil namanya dan apa yang tidak, dan terhadap siapapun negara tidak perlu memberikan pertanggung jawaban. Menurut Hobbes, manusia tidaklah bersifat sosial. Manusia hanya memiliki satu kecenderungan dalam dirinya, yaitu keinginan mempertahankan diri. Karena kecenderungan ini, manusia bersikap memusuhi dan mencurigai setiap manusia lain: homo homini lupus! (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Keadaan ini mendorong terjadinya "perang semua melawan semua" (bellum omnium contra omnes).
Inilah "keadaan alamiah" saat belum terbentuknya negara. Akan tetapi, jika terus-menerus terjadi perang semua melawan semua, tentu saja eksistensi manusia juga terancam. Untuk itu, manusia-manusia mengadakan sebuah perjanjian bersama untuk mendirikan negara, yang mengharuskan mereka untuk hidup dalam perdamaian dan ketertiban. Negara berkuasa secara mutlak dan berhak menentukan nasib rakyatnya demi menjaga ketertiban dan perdamaian. Status mutlak dimiliki negara sebab negara bukanlah rekan perjanjian, melainkan hasil dari perjanjian antar-warga negara. Artinya, di dalam perjanjian membentuk negara, setiap warga negara telah menyerahkan semua hak mereka kepada negara. Akan tetapi, negara sama sekali tidak punya kewajiban apapun atas warganya, termasuk kewajiban untuk bertanggung jawab pada rakyat. Negara berada di atas seluruh warga negara dan berkuasa secara mutlak.
Kemudian negara juga berhak menuntut ketaatan mutlak warga negara kepada hukum-hukum yang ada, serta menyediakan hukuman bagi yang melanggar, termasuk hukuman mati. Dengan demikian, warga negara akan menekan hawa nafsu dan insting untuk berperilaku destruktif. Selanjutnya, warga negara akan memilih untuk patuh kepada hukum karena memiliki rasa takut dihukum mati.
Hilangnya kebebasan warga negara terhadap negara adalah harga yang harus dibayar jika semua orang ingin hidup dalam ketenteraman, keteraturan, dan kedamaian. Jikalau kekuasaan negara begitu mutlak dan tidak dapat dituntut oleh warga negara, bukankah potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh negara menjadi amat besar? Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, Hobbes menyatakan dua hal. Yang Pertama, perlu ada kesadaran dari pihak yang berkuasa mengenai konsep keadilan, sebab kelak perbuatannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dalam pengadilan terakhir.
Dan yang kedua, jika negara mengancam kelangsungan hidup warga negara, maka setiap warga negara yang memiliki rasa takut terhadap kematian akan berbalik menghancurkan negara, sebelum negara menghancurkan mereka. Pada situasi tersebut, masyarakat akan kembali ke "keadaan alamiah" untuk selanjutnya membentuk negara yang lebih baik, dan seterusnya.
Pemikiran Thomas Hobbes
Pemikiran Hobbes yang membuat di terkenal adalah Leviathan atau Commenwelth. Pemikiran Hobbes yang penting adalah mengenai social contract (perjanjian bersama, perjanjian masyarakat, kontrak sosial). Perjanjian ini mengakibatkan manusia-manusia bersangkutan menyerahkan segenap kekuatan dan kekuasaannya masing-masing kepada seseorang atau pada suatu Majelis.
Gerombolan orang yang berjanji itu pun menjadi satu dan ini bernama Commonwealth atau Civitas. Pihak yang memperoleh kekuasaan itu mewakili mereka yang telah berjanji. Jadi menurut Hobbes, isi perjanjian bersama itu mengandung dua segi: Pertama, perjanjian antara sesama sekutu, sehingga tercipta sebuah persekutuan, dan Kedua, perjanjian menyerahkan hak dan kekuasaan masing-masing kepada seseorang atau majelis secara mutlak.
Menurutnya, penguasa dapat mempergunakan segala cara termasuk kekerasan untuk menjaga ketentraman yang dikehendaki di awal. Walaupun Hobbes mengatakan bahwa penguasa dapat berupa majelis, tetapi ia lebih suka melihatnya berada di tangan satu orang karena seseorang akan dapat berpegang terus pada satu kebijakan dan tidak berubah-ubah karena banyaknya pemikiran seperti dalam majelis. Walaupun menurutnya kekuasan bersifat mutlak, tetapi ada beberapa hal yang membolehkan rakyat untuk menentangnya.
Civil society sudah menjadi mantra baru dalam konstelasi politik kontemporer. Tak dimungkiri ramifikasi gagasan civil society sudah sedemikian luas, dari aras liberalisme yang di cetuskan oleh Hobbes.
Hobbes menggambarkan kondsi pra-sosial atau keadaan alamiah yang diliputi ketidakpastian. Khususnya Hobbes, keadaan alamiah adalah perang sehingga terkenallah ungkapannya, ‘perang semua melawan semua.’ Ia menggambarkan keadaan alamiah di mana manusia secara ekstrem individual mutlak dan hidupnya diliputi konflik. Ini menandai keretakan atau diskontinuitas dengan keyakinan nilai moral tradisional, yakni relativisme moral dan pengedepanan nilai-nilai pasar.
Kedaulatan mutlak individu dan etika yang didasarkan pada kepentingan diri membutuhkan bangunan Negara yang kuat untuk menjamin keamanan, kepastian relatif, dan kemungkinan antisipasi bagi hadirnya civil society. Pergeseran dari kondisi alamiah menuju civil society ini dicapai melalui tegaknya “Leviathan” atau “mortal God” yang bernama Negara.
Bagi Hobbes fungsi normal civil society adalah produksi dan pemerolehan property baik akumulasi modal aupun ekspansi pasar, budaya, seni, dan hal-hal umum yang dibutuhkan dalam kehidupan – tergantung pada Negara yang kuat. Artinya negaralah yang membuat eksistensi civil society menjadi mungkin.Hobbes memandang Negara mengungguli civil society dan prasyarat terbentuknya civil society adalah Negara.
Liberalisme modern dengan demikian dapat dilacak dalam individualisme metodologis Hobbes. Oposisi dalam paham liberal antara Negara dan civil society diteorisasikan pada era ekspansi pasar, transformasi ekonomi, dan munculnya kelas sosial baru di Eropa. Individualisme metodologis Hobbes setidaknya tampak dalam dua hal: pertama, seluruh badan korporasi bersifat artifisial dan konvensional; dan kedua, realitas secara hakiki bersifat individual.
Kebebasan dan kekuasaan selalu berada dalam “satu paket” karena kebebasan akhirnya dimengerti sebagai “tiadanya oposisi eksternal atau halangan-halangan eksternal.” Individu-individu atomis adalah halangan eksternal, pula Negara menjadi semacam “external impediment” yang mengancam kebebasan individu. Maka, Negara dalam konsepsi politik liberal, lahir sebagai buah persetujuan antar individu dan kekuasaannya legitim sejauh ia merupakan kepanjangan tangan dari persetujuan individu-individu.
Di sini tampak kaitan logis dan metodologis antara individualisme atomistik dengan konstitusionalisme liberal. Ini berarti konsepsi state of nature dari Hobbes, sampai pada sebuah kesimpulan yang sama tentang hubungan Negara dan civil society karena koneksi ontologisme antara individualisme dan kepemilikan (hak milik pribadi).
Hobbes juga berpendapat bahwa nilai itu bersifat subjektif, yang baik dan yang buruk semata-mata bergantung pada pendapat masing-masing.Oleh sebab itu baik buruk itu adalah pula soal pribadiDisamping itu ia juga mengugkapkan bahwa adalah menjadi fitrah manusia untuk berselisih, bertengkar dan cekcok sesamanya.
Relevansi Permikiran Thomas Hobbes
Pemikirannya tentang Perjanjian memberikan masukan bagi sistem pemerintahan sekarang, dengan dibentuknya majelis perwakilan atau parlemen. Tetapi pemikirannya tentang kepatuhan kepada majelis secara mutlak membuat system itu dapat berjalan dengan baik seperti yang telah dilakukan banyak Negara di dunia.
Thomas Hobbes dalam pemikirannya adalah salah satu yang memberikan sumbangan kepada sistem pemerintahan pada masa sekarang. Ketaatan akan mereka yang berkuasa seperti yang tekankan oleh John Locke membuat kita sadar pentingnya perwakilan dalam memerintah dan tunduk padanya.