1. Aspek Kepentingan Domestik
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat dikatakan sebagai negara yang unik sekaligus fenomenal. Bukan saja secara geografis dikatakan sebagai rangkaian “jamrud di khatulistiwa”, tetapi secara sosiologis terdiri dari beragam suku, etnik, bahasa, budaya, agama dan sebaginya. Indonesia “bak kembang setaman”, dimana perbedaan menjadi sesuatu yang indah.
Kebhinekaan ini membawa dampak terhadap berbagai hal, mulai dari penataan sistem politik, ekonomi-perdagangan, sosial-budaya hingga memperkuat “tali” integrasi. Untuk mewujudkan keberagaman tersebut menjadi potensi yang konstruktif, dibutuhkan kemampuan komunikasi antarbudaya yang memadai, baik untuk menjalin hubungan informal antarindividu yang berbeda budaya, maupun hubungan formal antara pemerintah dengan rakyatnya dalam konteks birokrasi.
Hubungan informal (aspek ekonomi-perdagangan), misalnya dapat dilihat pada proses perdagangan yang melibatkan beberapa suku: Padang, Batak, Sunda, Jawa, Bali, Madura, dan sebagainya. Pada konteks ini akan melahirkan proses komunikasi antarpribadi dan antarbudaya yang menuntut satu sama lain saling memahami (mutual understanding). Keberagaman dalam aspek ekonomi-perdagangan ini jelas sangat terlihat dalam kehidupan kita sehari-hari.
Sejatinya, kebhinekaan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia dapat dilihat pada aspek-aspek berikut:
1. Adanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari sejumlah suku bangsa dengan latab belakang kebudayaan, bahasa daerah, dialek, nilai-nilai dan falsafah pemikiran agama, kepercayaan dn sejarah yang berbeda.
2. Adanya pergeseran sistem nilai dalam masyarakat sebagai akibat pembangunan disegala sektor kehidupan.
3. Derasnya arus informasi dan komunikasi yang dibawa oleh media massa modern dan para wisatawan yang memperlancar kontak-kontak antarkebudayaan.
4. Pertambahan penduduk yang menuntut peningkatan sarana dan prasarana umum baik dalam kualitas maupun kuantitas (Rumondor, 2001).
Dalam realitas seperti itu kesalahpahaman seringkali terjadi dan apabila dibiarkan tidak mustahil akan mengoyak sendi-sendi berbangsa dan bernegara. Pada konteks inilah komunikasi antarbudaya menjadi penting. Menurut Rumondor (2001), beberapa syarat yang diperlukan individu untuk melakukan komunikasi antarbudaya, yaitu:
a. Adanya sikap menghormati anggota budaya lain sebagai manusia.
b. Adaya sikap menghormati budaya lain sebagaimana adanya, dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki.
c. Adanya sikap menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak.
d. Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya yang lain.
Hubungan formal (birokrasi) pun menampakkan fenomena yang sama, di mana pemerintah perlu memahami keragaman budaya untuk melayani masyarakatnya. Pemahaman komunikasi antarbudaya akan mampu menciptakan pelayanan unggul (excellent service), karena sesungguhnya pelayanan apapun berpijak pada proses komunikasi yang mampu menciptakan kebersamaan (communis) dan saling memahami.
Begitu pun pada aspek politik, kunci penting terletak pada kemampuan berkomunikasi. Perlakuan untuk setiap wilayah sangat mungkin memiliki spesifikasi terentu, misalnya untuk Propinsi Aceh dan Papua. Berbagai strategi dan kebijakan pembangunan, stabilitas, dan perekonomian perlu didukung oleh strategi komunikasi yang tepat.
Apalagi, pada saat buku ini ditulis kondisi politik dan stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini sedang diuji oleh munculnya sparatis di Sulawesi (kasus tarian Cakalele) dan di Papua (kasus pengibaran bendera Bintang Kejora pada acara Konfrensi Adat Papua). Penyelesaian sparatisme bukanlah persoalan yang mudah, disamping diperlukan penanganan yang komprehensif-integratif juga dibutuhkan pemahaman komunikasi antarbudaya.
2. Aspek Kepentingan Internasional
Teknologi komunikasi dan transportasi telah menyatukan bangsa-bangsa ke dalam “orde bangsa-bangsa global”. Era globalisasi tidak saja dipahami sebagai “berkah” dari kemajuan cara berpikir manusia, tetapi di dalamnya pun menyimpan sejumlah problematika yang mengharuskan keterlibatan antarbangsa dalam proses penyelesaiannya. Secara faktual, sampai saat ini masih terasa berbagai ketimpangan seperti ekonomni, politik, teknologi, bahkan ideologi antara bangsa-bangsa yang sudah maju dengan bangsa-bangsa berkembang (dunia ketiga).
Sejak dekade 70-an, ketimpangan yang terjadi bukan saja dipicu oleh ketimpangan ekonomi dan politik semata, tetapi sudah merambah ke masalah arus informasi dan komunikasi antarnegara maju dan berkembang. Negara-negara berkembang (terutama yang muslim) seringkali menjadi “proyek” komunikasi politik negera-negara maju yang cenderung destruktif. Misalnya, terminologi teorisme sudah menjadi “cap” komunikasi politik yang kurang menguntungkan bagi negara-negara yang berpenduduk muslim. Barat secara sengaja menggunakan teori penjulukan (labelling theory) untuk menyudutkan umat Islam.
Rumondor (2001) secara eksplisit menyebut beberapa ketimpangan informasi dan komunikasi ini seperti pada aspek:
1. Perbedaan kemampuan ekonomi;
2. Perbedaan kemajuan ilmu dan teknologi;
3. Tidak adanya kesamaan hak dibidang informasi;
4. Adanya dominasi negara maju terhadap media negara berkembang sejauh menyangkut aspirasi negara berkembang;
5. Tidak adanya hubungan yang saling menguntungkan di bidang informasi dan komunikasi;
6. Perbedaan sistem nilai.
Dengan memperhatikan berbagai masalah di atas, maka keterlibatan antarbangsa untk menyelesaikan berbagai masalah yang timbul tidak dapat lagi dihindarkan. Komunikasi menjadi penting, dalam arti sebagai “jembatan” untuk menghubungkan ide, gagasan dan pemikiran antarnegara. Dan oleh karena itu komunikasi antarbudaya pun menjadi keharusan untuk dipelajari.
Pada konteks ini, komunikasi antarbudaya memiliki fungsi yang berkaitan dengan:
a. Meningkatkan pengetahuan kita tentang diri kita sendiri dengan menjelaskan sebagian dari perilaku-perilaku komunikatif yang kita sadari.
b. Menjelaskan kendala-kendala terhadap pemahaman atas proses lintas budaya yang selama ini hampir tak teratasi.
3. Aspek Kepentingan Saling Kebergantungan Ekonomi
Saat ini kebanyakan negara secara ekonomi bergantung pada negara lain (negara maju/kaya). Negara-negara yang sedang berkebang membutuhkan dana banyak untuk mendanai pembangunan di negerinya, dan itu salah satunya bergantung kepada negara-negara yang memiliki modal. Misalnya, Indonesia bergantung kepada Jepang, Amerika, dan negara-negara donor lainnya. Kebergantungan ekonomi mengharuskan mengetahui pola pergaulan dengan negara-negara sahabat (pemilik modal) yang sudah barang tentu memiliki kultur (budaya) yang berbeda. Di sinilah komunikasi antarbudaya berperan sebagai sarana pergaulan internasional.
4. Aspek Politik Internasional
Keadaan suatu kawasan tidak selamanya terkendali secara politik. Dalam keyataannya banyak negara dan banyak kawasan mengalami gejolak politik yang menyebabkan dunia menjadi penuh ketidakpastian. Misalnya, kawasan Timur Tengah yang senantiasa dihiasi konflik Palestina – Israel, kawasan Asia yang selalu dihantui perang saudara Korea Utara – Korea Selatan, dan sebagainya. Oleh karena itu politik internasional harus senantiasa dijaga kestabilannya dengan cara membangun dialog dan saling pengertian yang terus-menrus.
Suatu bangsa harus memahami persoalan bangsa lain, dan jika terdapat persoalan harus secepatnya diselesaikan untuk menjaga persahabatan yang tetap utuh. Saling memahami dan menciptakan dialog yang memungkinkan terjaganya persahabatan antarnegara diperlukan saling memahami budaya antarnegara. Pada ranah inilah komunikasi antarbudaya menjadi penting.
Baik secara nasional (dalam negeri), regional (kawasan) dan internasional memerlukan pengetahuan komunikasi antarbudaya yang mendalam yang memungkinkan terciptanya kesalingpengertianan. Kepentingan ekonomi, sosial dan politik antarnegara serta kemajuan yang luar biasa dibidang teknologi komunikasi dan transportasi memaksa untuk saling memahami melalui unsur budaya dalam berkomunikasi.
Terdapat beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dari studi komunikasi antarbudaya, antara lain:
1. Perasaan senang dan puas dalam menentukan sesuatu yang baru, dalam hal ini kebudayaan orang lain yang belum pernah diketahui atau disadari sebelumnya.
2. Pengetahuan tentang komunikasi antarbudaya dapat membantu untuk menghindari masalah-masalah komunikasi. Pemahaman mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi persepsi seseorang atau sekelompok orang dapat menjadi pedoman untuk memperlakukan mereka, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman.
3. Kesempatan-kesempatan kerja banyak terbuka untuk bidang komunikasi antarbudaya. Kebanyakan lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta, profit maupun non-profit, dalam berbagai tingkat, memerlukan orang-orang yang mempunyai wawasan komunikasi antarbudaya. Misalnya, bidang pendidikan, penyuluhan, industri, perusahaan-perusahaan multinasional yang mengutamakan pelayanan jasa dan produk dengan lingkup internasional, dan lain-lain.
4. Memberikan kesempatan untuk mampu mempersiapkan dan memahami diri sendiri. Dalam usaha mengerti kebudayaan orang lain, kita dapat memperoleh pengertian yang lebih baik dan rasional tentang kita sendiri dan kebudayaan kita sendiri (Rumondor, 2001).