Sosiologi Komunikasi Massa

Latar belakang sejarahnya, embrio ilmu komunikasi dipelajari sebagai bagian dari sosiologi di Jerman dan tercakup dalam departemen bahasa Inggris di Amerika. Sejak awal hingga kini, memang banyak ilmuwan dari berbagai disiplin telah memberikan sumbangan kepada ilmu komunikasi. Antara lain Harold D. Lasswell (ilmu Politik), Max Weber, Daniel Lehner, Everet M. Rogers (Sosiologi), Carl I.Hovland, Paul Lazarsfeld (Psikologi), Wilburn Schramm (Bahasa), Shannon dan Weaver (Matematika dan Teknik).

Eklektisme dari ilmu komunikasi sebagai suatu bidang studi memang telah membawa hikmah tersendiri, yaitu melahirkan beragam teori-teori komunikasi maupun konsep-konsep tentang komunikasi. Fisher (1986) merangkum konsep-konsep komunikasi dalam empat perspektif, yaitu: Mekanistis; Psikologi; Intereksional; Pragmatis. Pengaruh konsep-konsep ilmu fisika sangat kelihatan pada perspektif mekanistis. Kemudian pengaruh psikologi paling jelas nampak pada perspektif psikologi yang merupakan pengembangan dari perspektif mekanistis dengan menerapkan teori S-R (stimulus-respons). Sedangkan pengaruh sosiologi nampak pada perspektif interaksional (bersumber dari teori interaksi simbolik) dan perspektif pragmatis (bersumber dari teori sistem).

Kajian ilmu komunikasi di tanah air dimulai dengan nama Publisistik, dengan dibukanya jurusan Publisistik di Fakultas Sosial dan Politik di Universitas Gajah Mada pada tahun 1950. Juga di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat di Universitas Indonesia pada tahun 1959. Demikian juga pada tahun 1960 di Universitas Pajajaran Bandung dibuka Fakultas Jurnalistik dan Publisistik. Melalui proses yang panjang lahirlah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107/82 tahun 1982. Keppres ini membawa penyeragaman nama disiplin ilmu ini menjadi ilmu komunikasi.

Beberapa tokoh yang telah berjasa memasukkan ilmu komunikasi ke Indonesia dan kemudian mengembangkannya di Universitas antara lain: Drs. Marbangun, Sundoro, Prof. Sujono Hadinoto, Adinegoro, dan Prof. Dr. Mustopo. Pada tahun 1960-an, deretan tokoh ini bertambah lagi dengan datangnya dua orang pakar dalam bidang kajian ilmu komunikasi, yaitu Dr. Phil. Astrid S. Susdanto dari Jerman Barat (1964); dan Dr. M. Alwi Dahlan (beliau secara langsung diajar oleh Wilbur Schramm) dari Amerika Serikat (1967).

Pengertian Komunikasi dan Komunikasi Massa

Setiap masyarakat membutuhkan sarana dan tata cara dalam berkomunikasi. Untuk memenuhi kebutuhan berinteraksi yang bersifat antarpribadi, dipenuhi melalui kegiatan komunikasi interpersonal atau antarpribadi. Sedangkan kebutuhan untuk berkomunikasi secara publik dengan orang banyak, dipenuhi melalui aktivitas komunikasi massa.
Dengan demikian komunikasi menjadi unsur penting dalam berlangsungnya kehidupan suatu masyarakat. Selain merupakan kebutuhan, aktivitas komunikais sekaligus merupakan unsur pembentuk suatu masyarakat. Sebab tidak mungkin manusia hidup di suatu lingkungan tanpa berkomunikai satu sama lain.

Proses dan Model Komunikasi Massa yang diartikan sebagai komunikasi massa adalah proses penyampaian informasi kepada khalayak massa dengan menggunakan saluran-saluran media massa. Jadi komunikasi massa tidak sama dengan media massa. Media massa hanyalah salah satu faktor yang membentuk proses komunikasi massa tersebut, yaitu sebagai alat atau saluran.

Komunikasi Massa mempunyai karakteristik yang berbeda dengan bentuk komunikasi lainnya. Ciri-ciri itu terlihat pada pelaku komunikaisnya, pengalaman komunikasi yang dirasakan oleh para pelaku yang dimaksud, serta isi informasi yang disebarluaskan melalui poses komunikasi tersebut.

Telaah Sosiologis Tentang Komunikasi Massa Kajian Sosiologis Terhadap Komunikasi Massa

Telaah sosiologis terhadap fenomena komunikasi massa belum sepenuhnya berkembang seperti yang diharapkan. Penyebab yang terpenting antara lain karena luasnya masalah itu sendiri, di samping adanya beberapa orientasi atau tema yang mendominasi studi mengenai masalah ini pada masa yang lalu. Tema yang dominan itu adalah tentang efek-efek langsung media massa kepada individu dan publik, dan mengenai apa yang disebut sebagai masyarakat dan kebudayaan massa.

Pendekatan dalam Kajian Sosiologi Komunikasi Massa

Seharusnya sosiologi komunikasi massa mengkaji secara mendalam masalah-masalah pokok yang begitu luas, mengenai interaksi media massa dengan masyarakat media massa dengan institusi sosial yang lain, dan sistem komunikasi massa dengan sistem-sistem sosial lainnya. Selain dengan tatanan masyarakat secara keseuruhan.

1. Riset yang memetakan secara ditail pola yang menyeluruh dari perilaku komunikasi baik bagi seperangkat individu maupun lokasi tertentu.
2. Riset yang berkenaan dengan hubungan (relationshp) antara model komunikasi.
3. Riset yang berkenaan dengan distribusi kebutuhan komunikasi
4. Riset yang lebih memperhatikan masalah bahasa komunikasi selain lisan dan tulisan
5. Riset yang secara sistematik menggali dan memonitor sistem pengawasan dan pengendalian serta pemilikan faislitas-fasilitas komunikasi.

Fungsi-Fungsi Komunikasi Massa Dalam Kehidupan Masyarakat

Fungsi Surveillance dan Fungsi Korelasi
Analisis isi merupakan teknik penelitian untuk memperoleh gambaran isi pesan komunikasi massa yang dilakukan secara:

1. Objektif
Analisis isi dirumuskan dengan persis agar siapa saja yang menggunakan akan memperoleh hasil yang sama.

2. Sistematik
Isi media massa yang akan dianalisis dipilih dengan cara yang telah ditetapkan

3. Sosiologis
Masalah yang akan dianalisis mempunyai relevansi dengan kehidupan kemasyarakatan. Analisis ini dapat menghaislkan pemahaman tentang pengiriman atau sumber pesan, kecerdasan, kepribadian, sikap, motif, nilai dan tujuan serta pengaruh dari kelompok. Namun perlu diperhatikan bahwa analisis isi tidak memberikan bukti yang langsung tentang sifat komunikator, khalayak ataupun efeknya. Sedangkan pendekatan analisis fungsional perhatiannya pada fungsi dan disfungsi komunikasi massa bagi kehidupan anggota masyarakat.

Fungsi Pewarisan Budaya dan Fungsi Penghiburan
Pendekatan institusional berpandangan bahwa kelembagaan yang mewadahi aktivitas komunikasi massa, ditentukan oleh sistem komunikasi yang berlaku pada masyarakat tertentu. Misalnya lembaga komunikasi massa di negara dengan sistem demokrasi, berbeda dengan yang berlaku di negara komunis.

Salah satu cara menjadikan komunikasi sosial melembaga adalah komunikasi massa. Hal ini terjadi berkat adanya tata cara, prosedur serta aturan-aturan yang mengikat. Dengan demikian komunikasi sosial yang ada di tegah masyarakat terbentuk oleh berbagai ketentun tersebut di atas. Sehingga analisis mengeai bentuk-bentuk kelembagaan komunikasi massa adalah menyangkut masalah deteksi, deskripsi dan analisis tentang ekspektasi sosial.

Komunikasi Sebagai Suatu Pranata Sosial 

Pengertian Sistem Sosial
Melalui fungsi surveillence, media massa memberikan informasi kepada masyarakat. Segala peristiwa dan kejadian, di mana saja di sekitar kita baik dekat maupun jauh hampir tidak pernah luput dari pemberitaan media massa. Contoh: pada waktu meletusnya Perang Teluk, masyarakat di seluruh dunia dapat mengikuti perkembangan dari detik ke detik selama 24 jam melalui media massa.

Fungsi surveillance sendiri bagi individu dapat berfungsi sebagai :
1. Peringatan (warning)
2. Menambah pretise
3. Instrumental
4. Pemberi status

Bagi masyarakat:
1. Peringatan (awaning)
2. Instrumental
3. Membuat masyarakat menjadi etis

Interaksi Sistem Komunikasi Massa dengan Sistem Sosial Lainnya

Melalui fungsi pewarisan budaya, media massa melakukan pendidikan kepada masyarakat, karena melalui informasi, maka masyarakat akan merasa lebih padu dengan lainnya. Sehingga dengan demikian dapat dicapai suatu dasar berpikir yang sama. Sebab melalui media massa semua informasi dapat menyebar dengan cepat melebihi saluran yang lain.

Disfungsi dari pewarisan budaya bagi individu adalah proses sosialisasi yang sama bagi setiap individu karena adanya pengaruh komunikasi massa yang memberitakan hal-hal yang sama
Fungsi hiburan bagi individu merupakan pelepas lelah, sedangkan bagi masyarakat adalah pelepas bagi kelompok-kelompok massa. Adapun disfungsinya bagi individu adalah meningkatkan kepastian menurunnya selera sedangkan bagi masyarakat merupakan suatu pelarian.

Media Massa Sebagai Suatu Pranata Sosial

Komunikasi Massa sebagai Suatu Pranata Sosial
Semua aktivitas sosial pada hakikatnya merupakan suatu sistem. Hal ini dikarenakan pada umumnya semua kegiatan sosial terdiri dari sejumlah komponen, yang satu sama lain terangkai dalam fungsi-fungsi tertentu dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Menurut Almond keterkaitan antara elemen terebut di atas memiliki ciri-ciri tertentu yaitu:
1. Kekomprehensifan
2. Interdependensi
3. Adanya batas

Menurut Reading, sistem sosial merupakan suatu sistem dari elemen-elemen sosial. Mihel berpendapat bahwa suatu sistem sosial pada dasarnya terdiri dari dua orang individu yang melakukan interaksi secara langsung dan tidak langsung dalam suatu situasi kebersamaan. 
Yang menjadi perhatian khusus dari sosiologi adalah oreientasi para individu yang menjadi unsur sistem tersebut.

Media Massa dan Social Control
Apabila kita membaca surta kabar/majalah maka berita yang kita baca merupakan hasil interaksi antara sistem komunikasi massa dengan sistem-sistem sosial hasilnya seperti misalnya sistem politik dan sistem ekonomi.

Sistem komunikasi massa dapat mempengaruhi sistem pendidikan misalnya sistem komunikasi massa yang terlalu berorientasi untuk mencapai keuntungan, sehingga segala sesuatunya diarahkan untuk mendapatkan uang. Bagi pendidikan hal ini dapat menimbulkan dampak yang negatif.

KOMUNIKASI MASSA DAN MASYARAKAT MASSA

Media Massa dan Masyarakat Massa
Dalam modul ini kita menempatkan media massa sebagai suatu pranata sosial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berkomunikasi. Kelembagaan media massa kita sejajarkan dengan berbagai pranata sosial lain seperti pranata pendidikan, ekonomi, politik, hukum dan sebagainya.

Setiap pranata tumbuh untuk memfungsikan dirinya di tengah masyarakat. Dalam perkembangannya telah terjadi perluasan fungsi media massa baik itu dengan mengambil alih sebagian fungsi yang tadinya diemban oleh pranata sosial lain, atupun berbagi secara bersama-sama menjalankan fungsi tersebut.

Transfer fungsi di antara pranata-pranata sosial memang sesuatu yang wajar terjadi seiring dengan berkembangnya kehidupan masyaakat. Ada panata yang tadinya berfungsi tunggal sekarang jadi berfungsi ganda. Sebaiknya ada yang tadinya berfungsi ganda tapi karena satu per satu fungsi tadi ditransfer ke pranata lain, maka ia sendiri berubah menjadi panata berfungsi tunggal.

Namun tampaknya transfer atau pengalihan fungsi tersebut tidak sampai mengubah total fungsi semula dari pranata yang bersangkutan, namun berpengaruh bagi penampilannya di tengah masyarakat luas.

Komunikasi Massa dan Budaya Massa
Sebagai pranata sosial media massa berfungsi melakukan pengendalian sosial (social control) di tengah kehidupan masyarakat. Efektif atau tidaknya social control yang dilakukan oleh media massa, akan tergantung pada integritas media massa itu sendiri serta tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media massa yang bersangkutan.

Media massa sendiri menjadi objek pengendalian sosial yang dilakukan oleh masyarakat. Untuk keperluan itu bahkan diadakan sejumlah pranata lain seperti badan sensor, dewan kehormatan pers dan sebagainya. Jadi pengawasan sosial yang berlangsung sifatnya dalah timbal balik antara media massa dengan menyasarakat itu sendiri.

EFEK SOSIAL KOMUNIKASI MASSA

Efek Sosial Komunikasi Massa
Pertumbuhan media massa sebagai perangkat kehidupan baik bagi individu maupun untuk bermasyarakat, turut mengubah masyarakat yang tadinya bersifat agraris menjadi masyarakat kota. Pada saat yang sama, pertumbuhan menuju masyarakat yang bersifat urban itu memang membutuhkan sarana dan aktivitas komunikais yang bersifat modern, yakni komunikasi massa.

Teori yang Menjelaskan Peniruan dari Media Massa
Aktivitas dan isi dari komunikasi massa turut membentuk masyarakat massa. Hal ini karena sebagian dari isi yang dikandung dan disebarluaskan oleh media massa adalah apa yang dikenal sebagai budaya massa.

Budaya massa pada saat ini lebih banyak menghasilkan seni yang ringan dan hal-hal yang tak mungkin. Akibatnya orang cenderung menyukai karya yang ringan-ringan. Hal ini berakibat timbul penggolongan budaya tinggi dan budaya rendah. Peran media massa dalam hal ini sangat besar, ditunjang pula dengan adanya publisitas, iklan dan reportase.

MEDIA MASSA DAN PROSES SOSIALISASI

Media Massa dan Proses Sosialisasi
Tanpa mengikari fungsi dan manfaat media massa dalam kehidupan masyarakat, disadari adanya sejumlah efek sosial negatif yang ditimbulkan oleh media massa. Karena itu media massa dianggap ikut bertanggung jawab atas terjadinya pergeseran nilai-nilai dan perilaku di tengah masyarakat seperti menurunnya tingkat selera budaya, meningkatnya kejahatan, rusaknya moral dan menurunnya kreativitas yang bermutu.

Efek negatif yang ditimbulkan oleh media massa terutama dalam hal delinkuensi dan kejahatan bersumber dari besarnya kemungkinan atau potensi pada tiap anggota masyarakat untuk meniru apa-apa yang disaksikan ataupun diperoleh dari media massa. 

Pengenaan (exposure) terhadap isi media massa memungkinkan khalayak untuk mengetahui sesuatu isi media massa, kemudian dipengaruhi oleh isi media tersebut. Bersamaan dengan itu memang terbentang pula harapan agar khalayak meniru hal-hal yang baik dari apa yang ditampilkan media massa.

Hampir setiap hari umumnya masyarakat dihadapkan pada berita dan pembicaraan yang menyangkut perilaku kejahatan seperti pembunuhan, perampokan, perkosaan dan bentuk-bentuk yang lain. Akibat logis dari keadaan tersebut bahwa segala sesuatu yang digambarkan serta disajikan kepada masyarakat luas dapat membantu dan mengembangkan kemampuan menentukan sikap pada individu-individu di tengah masyarakat dalam menentukan pilihan mengenai apa yang patut ditempuhnya untuk kehidupan sosial mereka.

Pemberian masalah kejahatan melalui media massa mempunyai aspek positif dan negatif. Pengaruh media massa yang bersifat halus dan tersebar (long term impact) terhadap perilaku seolah-olah kurang dirasakan pengaruhnya, padahal justru menyangkut masyarakat secara keseluruhan.

Hasil dari berbagai penelitian menyatakan bahwa efek langsung komunikasi massa pada sikap dan perilaku khalayaknya, kecil sekali, atau belum terjangkau oleh teknik-teknik pengukuran yang digunakan sekarang.

Media Massa sebagai Agen Sosialisasi
Kemungkinan dan proses bagaimana terjadinya peniruan terhadap apa yang disaksikan atau diperoleh dari isi media massa dapat dipahami melalui beberapa teori. Yang pertama adalah teori peniruan atau imitasi. Kemudian teori berikutnya tentang proses mengidentifikasi diri dengan seseorang juga menjelaskan hal yang sama. Sedangkan teori social learning mengungkapkan faktor-faktor yang mendorong khalayak untuk belajar dan mampu berbuat sesuatu yang diperolehnya dari interaksi sosial di tengah masyarakat.

Memang teori-teori tadi belum tuntas sepenuhnya dalam memaparkan perihal peniruan terhadap isi media massa. Namun konsep-konsep pokok yang diajukan oleh masing-maisng teori itu kurang lebih dapat membantu kita untuk memahami terjadinya peniruan yang dimaksud dalam hubungan bahasan kita di sini yang merupakan faktor penting dari efek sosial yang ditimbulkan oleh media massa.

Studi pertama tentang efek TV yang dilakukan dengan lengkap adalah yang disebut Payne Fund Studies Film and their Effect on Children, yang berlangsung selama empat tahun 1929-1932. Hasil studi ini sebanyak dua belas jilid telah diterbitkan oleh Macmillan di antara tahun 1933-1935.

Pada tahun 1961, UNESCO menerbitkan sebuah bibliografi beranotasi The Influence of the Cinema on Children and Adolescent yang berisikan 491 buku, artikel dan jurnal.
Charters (1934) mengemukakan bahwa pada tahun 1930, tiga tema besar film yang dipertunjukkan adalah: cinta (29,6%), kejahatan (27,4 %) dan seks (15,0%). Ke dalam kategori kejahatan yang 27,4% itu, terutama isinya adalah mengenai: pemerasan, extortion, penganiayaan, dendam dan pembalasan.

MEDIA MASSA DAN WANITA

Media Massa dan Persepsi tentang Gender
Proses sosialisasi yang dilalui oleh setiap anggota masyarakat ada yang berlangsung secara formal, yaitu melalui sekolah dan pendidikan lainnya. Tapi adapula yang berbentuk informal yaitu yang diperoleh melalui keluarga, kerabat, dan pergaulan dengan teman sebaya.

Media massa dapat berperan dalam proses sosialisasi itu baik yang informal, yaitu ketika media dikonsumsi dalam situasi dan untuk keperluan di rumah. Namun media dapat pula berperan dalam sosialisasi formal, yakni ketika mengikuti pendidikan melalui media atau apa yang disebut sebagai pendidikan jarak jauh.

Stereotip Wanita dalam Media Massa
Media massa memberikan banyak hal yang dapat diserap oleh setiap anggota masyarakat antara lain ikut membentuk perilaku anggota masyarakat tersebut. Proses ini sebenarnya sudah dimulai pada permulaan kehidupan seseorang adalah keluarga, sekolah tempat kerja lingkungan sosial dan media massa. Keluarga adalah sumber pertama, karena dari keluargalah, seseorang mendapatkan nilai-nilai dan norma-norma dalam hidupnya.

Komunikasi Antar Budaya Sebagai Kajian Keilmuan

Setiap disiplin ilmu memungkian setiap saat tumbuh dan berkembang melalui berbagai macam kajian dan penelitian yang bersifat deduktif maupun induktif.  Peran para peneliti dan kaum akademisi berada di “garda terdepan”  yang akan melahirkan telaahan-telaahan kritis sebagai pijakan sebuah disiplin ilmu.

Salah satu bidang kajian yang cukup cepat perkembangannya adalah komunikasi. Pada mulanya, telaahan komunikasi  hanya sebatas pada penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain, namun dalam perkembangannya pesan (message) yang disampaikan lebih spesifik. Dari situlah muncul bidang komunikasi politik, di mana pesannya berdimensi politik (mempengaruhi orang lain), komunikasi kesehatan yang pesannya lebih menitikberatkan kepada pesan-pesan kesehatan, dan lain-lain. Dari “rahim” komunikasi ini pula lahir komunikasi antarbudaya, yaitu pertukaran pesan di antara orang-orang (komunikator – komunikan) yang berbeda (Effendy, 1994:8).

Sejak tahun 70-an, para pakar yang memiliki perhatian khusus kepada komunikasi antarbudaya memulai pencarian untuk mengkaji sebagai disiplin ilmu tersendiri. Secara esensial, keberadaan komunikasi antarbudaya memiliki kesetaraan dengan komunikasi politik, komunikasi antarpribadi, komunikasi massa, dan lain-lain. Dari segi kepustakaan, selama ini telah banyak dihasilkan ragam komunikasi antarbudaya dari berbnagai perspektif, misalnya dari perspektif pendidikan, antropologi, psikologi, bahasa, sosiologi, dan lain-lain. Berbagai kajian tersebut semakin memperkaya khazanah kepustakaan komunikasi antarbudaya.

Komunikasi antarbudaya dapat dianggap sebagai suatu bidang studi, karena secara teoretik-akademik telah memenuhi persyaratan-persyaratan dari suatu cabang ilmu pengetahuan, yaitu:
1.   Ada kepustakan yang cukup memadai bagi ilmuwan dan mahasiswa untuk digunakan sebagai pelajaran dan referensi.
2.    Ada pengertian teoretis yang luas sebagai landasan kuat bagi studi dalam bidang tersebut.
3.   Mempunyai lebih dari suatu cara pendekatan untuk penerapan teori tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
4.   Harus cukup luas ruang lingkupnya sehingga ilmuwan mempunyai keleluasaan untuk melakukan penelitian dan membangun teori.
5.   Harus memungkinkan untuk megajarkan keterampilan pada para praktisi yang biasanya tidak memperdulikan aspek-aspek teoretis dari program latihan mereka.
6.   Pada tingkat graduate (setingkat S 2), harus memberi peluang bagi mahasiswa untuk mengambil bidang spesialisasi dalam salah satu aspek dari bidang tersebut.
7.   Lulusan pendidikan tingginya harus dapat memperoleh pendidikan dan latihan.
8.   Kebutuhan untuk mempelajari bidang tersebut harus diakui oleh lembaga-lembaga pendidikan, organisasi-organisasi perusahaan, dan pemerintah (Rumondor, 2001).

Sementara Hammer (dalam Liliweri, 2003:14) , mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai salah satu kajian dalam ilmu komunikasi, karena:
1.   Secara teoretis memindahkan fokus dari suatu kebudayaan kepada kebudayaan yang dibandingkn.
2.   Membawa konsep aras makro kebudayaan ke aras mikro kebudayaan.
3.   Menghubungkan kebudayaan dengan proses komunikasi.
4.   Membawa perhatian kita kepada peranan kebudayaan yang mempengaruhi perilaku.

Studi-studi komunikasi antarbudaya semakin menemukan relevansinya karena dihadapkan oleh fakta keragaman budaya baik di dalam negeri maupun internasional. Berbagai konflik yang muncul tidak saja didasari oleh motif politik dan ekonomi, tetapi juga disebabkan oleh benturan budaya. Budaya memiliki nilai-nilai yang menjadi pegangan sekelompok masyarakat, dan hal itu akan menjadi krusial apabila nilai dianut sekelompok masyarakat berbenturan dengan nilai-nilai budaya kelompok lain. Misalnya, budaya Barat yang cenderung bebas (terutama dalam pergaulan) banyak berbenturan dengan budaya Timur yang lebih religius.

Berdasarkan paparan-paparan di atas, maka kajian mengenai komunikasi antarbudaya bukan saja menarik, tetapi sudah menjadi kebutuhan setiap individu dan kelompok maupun. Dalam ungkapan lain, kebutuhan akan disiplin komunikasi antarbudaya bukan hanya didasarkan pada kebutuhan pragmatis, melainkan pula kebutuhan akademis. 

Faktor Pemicu Komunikasi Antar Budaya

Suatu fenomena atau realitas tidak hadir dengan sendirinya, melainkan selalu melibatkan faktor pemicunya. Beberapa faktor pemicu yang melatarbelakangi komunikasi antarbudaya adalah:

1. Aspek Kepentingan Domestik
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat dikatakan sebagai negara yang unik sekaligus fenomenal.  Bukan saja secara geografis dikatakan sebagai rangkaian “jamrud di khatulistiwa”, tetapi secara sosiologis terdiri dari beragam suku, etnik, bahasa, budaya, agama dan sebaginya. Indonesia “bak kembang setaman”, dimana perbedaan menjadi sesuatu yang indah.

Kebhinekaan ini membawa dampak terhadap berbagai hal,  mulai dari penataan sistem politik, ekonomi-perdagangan, sosial-budaya hingga memperkuat “tali” integrasi. Untuk mewujudkan keberagaman tersebut menjadi potensi yang konstruktif, dibutuhkan kemampuan komunikasi antarbudaya yang memadai, baik untuk menjalin hubungan informal antarindividu yang berbeda budaya, maupun hubungan formal antara pemerintah dengan rakyatnya dalam konteks birokrasi.

Hubungan informal (aspek ekonomi-perdagangan), misalnya dapat dilihat pada proses perdagangan yang melibatkan beberapa suku: Padang, Batak, Sunda, Jawa, Bali, Madura, dan sebagainya. Pada konteks ini akan melahirkan proses komunikasi antarpribadi dan  antarbudaya yang menuntut satu sama lain saling memahami (mutual understanding). Keberagaman dalam aspek ekonomi-perdagangan ini jelas sangat terlihat  dalam kehidupan kita sehari-hari.

Sejatinya, kebhinekaan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia  dapat dilihat pada aspek-aspek berikut:
1.   Adanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari sejumlah suku bangsa dengan latab belakang  kebudayaan, bahasa daerah, dialek, nilai-nilai dan falsafah pemikiran agama, kepercayaan dn sejarah yang berbeda.
2.   Adanya pergeseran sistem nilai dalam masyarakat sebagai akibat pembangunan disegala sektor kehidupan.
3.   Derasnya arus informasi dan komunikasi yang dibawa oleh media massa modern dan para wisatawan yang memperlancar kontak-kontak antarkebudayaan.
4.   Pertambahan penduduk yang menuntut peningkatan sarana dan prasarana umum baik dalam kualitas maupun kuantitas (Rumondor, 2001).

Dalam realitas seperti itu kesalahpahaman seringkali terjadi dan apabila dibiarkan tidak mustahil akan mengoyak sendi-sendi berbangsa dan bernegara. Pada konteks inilah komunikasi antarbudaya menjadi penting. Menurut Rumondor (2001), beberapa syarat yang diperlukan individu untuk melakukan komunikasi antarbudaya, yaitu:
a.    Adanya sikap menghormati anggota budaya lain sebagai manusia.
b.   Adaya sikap menghormati budaya lain sebagaimana adanya, dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki.
c.    Adanya sikap menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak.
d.   Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya yang lain.

Hubungan formal (birokrasi) pun menampakkan fenomena yang sama, di mana pemerintah perlu memahami keragaman budaya untuk melayani masyarakatnya. Pemahaman komunikasi antarbudaya akan mampu menciptakan pelayanan unggul (excellent service), karena sesungguhnya pelayanan apapun berpijak pada proses komunikasi yang mampu menciptakan kebersamaan (communis) dan saling memahami.

Begitu pun pada aspek politik, kunci penting terletak pada kemampuan berkomunikasi. Perlakuan untuk setiap wilayah sangat mungkin memiliki spesifikasi terentu, misalnya untuk Propinsi Aceh dan Papua. Berbagai strategi dan kebijakan pembangunan, stabilitas, dan perekonomian perlu didukung oleh strategi komunikasi yang tepat.

Apalagi, pada saat buku ini ditulis kondisi politik dan stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini sedang diuji oleh munculnya sparatis di Sulawesi (kasus tarian Cakalele) dan di Papua (kasus pengibaran bendera Bintang Kejora pada acara Konfrensi Adat Papua). Penyelesaian sparatisme bukanlah persoalan yang mudah, disamping diperlukan penanganan yang komprehensif-integratif juga dibutuhkan pemahaman komunikasi antarbudaya.

2. Aspek Kepentingan Internasional
Teknologi komunikasi dan transportasi telah menyatukan bangsa-bangsa  ke dalam “orde bangsa-bangsa global”. Era globalisasi tidak saja dipahami sebagai “berkah” dari kemajuan cara berpikir manusia, tetapi di dalamnya pun menyimpan sejumlah problematika yang mengharuskan keterlibatan antarbangsa dalam proses penyelesaiannya. Secara faktual, sampai saat ini masih terasa berbagai ketimpangan seperti ekonomni, politik, teknologi, bahkan ideologi antara bangsa-bangsa yang sudah maju dengan bangsa-bangsa berkembang (dunia ketiga).

Sejak dekade 70-an, ketimpangan yang terjadi bukan saja dipicu oleh ketimpangan ekonomi dan politik semata, tetapi sudah merambah ke masalah arus informasi dan komunikasi antarnegara maju dan berkembang. Negara-negara berkembang (terutama yang muslim) seringkali menjadi “proyek” komunikasi politik negera-negara maju yang cenderung destruktif. Misalnya, terminologi teorisme sudah menjadi “cap” komunikasi politik yang kurang menguntungkan bagi negara-negara yang berpenduduk muslim. Barat secara sengaja menggunakan teori penjulukan (labelling theory) untuk menyudutkan umat Islam.

Rumondor (2001) secara eksplisit menyebut beberapa ketimpangan informasi dan komunikasi  ini seperti pada aspek:
1.   Perbedaan kemampuan ekonomi;
2.   Perbedaan kemajuan ilmu dan teknologi;
3.   Tidak adanya kesamaan hak dibidang informasi;
4.   Adanya dominasi negara maju terhadap media negara berkembang sejauh menyangkut aspirasi negara berkembang;
5.   Tidak adanya hubungan yang saling menguntungkan di bidang informasi dan komunikasi;
6.   Perbedaan sistem nilai.

Dengan memperhatikan berbagai masalah di atas, maka keterlibatan antarbangsa untk menyelesaikan berbagai masalah yang timbul tidak dapat lagi dihindarkan. Komunikasi menjadi penting, dalam arti sebagai “jembatan” untuk menghubungkan ide, gagasan dan pemikiran antarnegara. Dan oleh karena itu komunikasi antarbudaya pun menjadi keharusan untuk dipelajari.

Pada konteks ini, komunikasi antarbudaya memiliki fungsi yang berkaitan dengan:
a.    Meningkatkan pengetahuan kita tentang diri kita sendiri dengan menjelaskan sebagian dari perilaku-perilaku komunikatif yang kita sadari.
b.   Menjelaskan kendala-kendala terhadap pemahaman atas proses lintas budaya yang selama ini hampir tak teratasi.

3. Aspek Kepentingan Saling Kebergantungan Ekonomi
Saat ini kebanyakan negara secara ekonomi bergantung pada negara lain (negara maju/kaya). Negara-negara yang sedang berkebang membutuhkan dana banyak untuk mendanai pembangunan di negerinya, dan itu salah satunya bergantung kepada negara-negara yang memiliki modal. Misalnya, Indonesia bergantung kepada Jepang, Amerika, dan negara-negara donor lainnya. Kebergantungan ekonomi mengharuskan mengetahui pola pergaulan dengan negara-negara sahabat (pemilik modal) yang sudah barang tentu memiliki kultur (budaya) yang berbeda. Di sinilah komunikasi antarbudaya berperan sebagai sarana pergaulan internasional.

4. Aspek Politik Internasional
Keadaan suatu kawasan tidak selamanya terkendali secara politik. Dalam keyataannya banyak negara dan banyak kawasan mengalami gejolak politik yang menyebabkan dunia menjadi penuh ketidakpastian. Misalnya, kawasan Timur Tengah yang senantiasa dihiasi konflik Palestina – Israel, kawasan Asia yang selalu dihantui perang saudara Korea Utara – Korea Selatan, dan sebagainya. Oleh karena itu politik internasional harus senantiasa dijaga kestabilannya dengan cara membangun dialog dan saling pengertian yang terus-menrus.

Suatu bangsa harus memahami persoalan bangsa lain, dan jika terdapat persoalan harus secepatnya diselesaikan untuk menjaga persahabatan yang tetap utuh. Saling memahami dan menciptakan dialog yang memungkinkan terjaganya persahabatan antarnegara diperlukan saling memahami budaya antarnegara. Pada ranah inilah komunikasi antarbudaya menjadi penting.

Baik secara nasional (dalam negeri), regional (kawasan) dan internasional memerlukan pengetahuan komunikasi antarbudaya yang mendalam yang memungkinkan terciptanya kesalingpengertianan. Kepentingan ekonomi, sosial dan politik antarnegara serta kemajuan yang luar biasa dibidang teknologi komunikasi dan transportasi memaksa untuk saling memahami melalui unsur budaya dalam berkomunikasi.

Terdapat beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dari studi komunikasi antarbudaya, antara lain:
1.   Perasaan senang dan puas dalam menentukan sesuatu yang baru, dalam hal ini kebudayaan orang lain yang belum pernah diketahui atau disadari sebelumnya.
2.   Pengetahuan tentang komunikasi antarbudaya dapat membantu untuk menghindari masalah-masalah komunikasi. Pemahaman mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi persepsi seseorang atau sekelompok orang dapat menjadi pedoman untuk memperlakukan mereka, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman.
3.   Kesempatan-kesempatan kerja banyak terbuka untuk bidang komunikasi antarbudaya. Kebanyakan lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta, profit maupun non-profit, dalam berbagai tingkat, memerlukan orang-orang yang mempunyai wawasan komunikasi antarbudaya. Misalnya, bidang pendidikan, penyuluhan, industri, perusahaan-perusahaan multinasional yang mengutamakan pelayanan jasa dan produk dengan lingkup internasional, dan lain-lain.
4.   Memberikan kesempatan untuk mampu mempersiapkan dan memahami diri sendiri. Dalam usaha mengerti kebudayaan orang lain, kita dapat memperoleh pengertian yang lebih baik dan rasional tentang kita sendiri dan kebudayaan kita sendiri (Rumondor, 2001).

Komunikasi Antar Budaya Sebagai Fenomena Sosial

Manusia tidak mungkin tidak melakukan komunikasi
sekalipun dalam keadaan bisu (tuna wicara). Karena
komunikasi sesungguhnya tidak saja dipahami sebagai
penyampaian pesan melalui bahasa (verbal), 
tetapi komunikasi adalah penyampaian pesan 
melalui lambang-lambang yang dapat dipahami 
oleh kedua belah pihak

(komunikator-komunikan), apapun bentuk
lambang tersebut.

Kemajuan yang luar biasa dibidang teknologi komunikasi telah menyebabkan dunia ini terasa sempit. Betapa tidak, untuk mengunjungi negeri-negeri yang jauh atau tempat-tempat wisata mancanegara tidak lagi harus datang secara fisik, cukup menyaksikannya melalui layar televisi atau internet. Untuk mengetahui berbagai kebudayaan antarnegara tidak harus datang langsung ke tempat kebudayaan itu berasal, cukup menyimaknya melalui “layar datar Thosiba berukuran 29 inchi”. Akselerasi teknologi seolah tak tertahankan lagi. Naisbit (1988:102) menjelaskan fenomena ini sebagai berikut: “Thanks to a thriving world economy, global telecommunication and expending travel, exchanges among Europe, North America, and the Pacific Rim are accelerating fast”.

Fenomena global village oleh McLuhan, dimana ciri utamanya disandarkan kepada:

1. Adanya keinginan akan keseragaman yang meningkat.
2. Adanya keinginan akan pengalaman yang sama.
3. Meningkatnya pengaruh media elektronik, seperti: televisi, satelit komunikasi, antena parabola dan sebagainya (Rumondor, 2001).

Kemajuan yang dicapai “anak-anak” kelahiran abad 19 ini tidak saja terbatas pada teknologi komunikasi, tetapi juga tercermin pada sarana transportasi (darat, udara dan laut). Dengan kemajuan ini orang-orang mampu melakukan komunikasi secara langsung (antarpribadi) di tempat-tempat yang sebelumnya tak pernah di duga. Misalnya, orang-orang yang berbeda negara, warna kulit, bahasa, dan kebangsaan dapat bertemu di Bali ketika melakukan wisata. Atau orang-orang yang berbeda identitas sosial pun dapat bertemu dan berkomunikasi dalam konteks perdagangan dunia, baik di negerinya sendiri maupun di luar negeri. Tanpa disadari, pelan namun pasti telah terjadi kontak (komunikasi) yang di dalamnya melibatkan orang-orang yang mungkin  sekali berlainan cara berpikir, cara berperilaku dan kebiasaannya. Bahkan perbedaan antara orang-orang yang berkomunikasi tersebut tidak saja menyangkut nilai-nilai budaya saja, tetapi juga aspek-aspek sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seterusnya.

Perbedaan budaya tidak menjadi halangan untuk satu sama lain menjalin hubungan (relationship), yang terpenting adalah saling memahami (understanding), saling beradaptasi (adaptation) dan saling bertoleransi (tolerance). Kunci utama dari pergaulan antarbudaya adalah tidak menilai orang lain yang berbeda budaya dengan menggunakan penilaian budaya kita. Biarkan semua berjalan dengan latar belakang budaya masing-masing. Justeru perbedaan budaya adalah ladang untuk siapapun  belajar budaya orang lain dengan arif dan bijak (wise).

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA SEBAGAI FENOMENA SOSIAL
Secara dasariah manusia memiliki kebutuhan (needs). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia melakukan interaksi sosial, dan interaksi sosial pada hakekatnya adalah melakukan komunikasi. Kebutuhan akan komunikasi sama halnya dengan kebutuhan kita akan bernafas. Dengan demikian komunikasi adalah fakta sosial dan sekaligus sebagai femomena sosial yang tak terhindarkan.

Mengenai komunikasi sebagai fakta dan fenomena sosual ini diperkuat oleh Tubbs (1996:239), demikian:
Dengan adanya inovasi teknologi dalam dua decade terakhir ini, tulis Gergen, “kehidupan kontemporer merupakan lautan hubungan sosial yang melingkar-lingkar”. Di lautan itu kita harus melakukan hubungan antarbudaya yang semakin banyak. Peningkatan komunikasi antarbudaya telah berlangsung dengan berkembangnya jaringan penerbangan dan jaringan komunikasi elektronik.

Dalam konteks hubungan (relasional), kita sepakat setiap orang membutuhkan komunikasi. Sekurang-kurangnya komunikasi tersebut dilakukan dalam:
1.   Orang berbicara tentang relasi mereka dalam pekerjaan, bagaimana mereka terlibat, bagaimana kebutuhan untuk menyatakan tenaganya;
2.   Orang bicara tentang komitmen yang berkaitan dengan relasi. Komitmen merupakan kondisi awal dari sebuah relasi;
3.   Orang berbicara relasi sebagai keterlibatan, terlibat bersama secara kuantitatif maupun kulaitatif dalam percakapan, dialog, membagi pengalaman;
4.   Orang bicara tentang relasi dalam istilah manipulasi, misalnya bagaimana saling mengawasi;
5.   Orang bicara tentang relasi dalam istilah untuk mempertimbangkan dan memperhatikan (Liliweri, 2003:6).

Dari sini akan muncul saling ketergantungan yang melahirkan sebuah komunitas bersama. Komunitas bersama meniscayakan adanya berbagai kemungkinan untuk saling tidak sependapat, dalam arti berbeda budaya, ideologi, gaya hidup, orientasai dan sebagainya. Berbagai problema segera akan mengemuka dan salah satunya akan menjadi persoalan komunikasi dalam konteks antarbudaya.

Tidak perlu bertanya, mengapa manusia diciptakan tidak sama dan serupa, termasuk budayanya ? Perbedaan budaya pada dasarnya adalah desain Tuhan dengan maksud untuk saling mengenal satu sama lain:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal (QS. Hujuraat/49:13).
         
Firman di atas secara tersurat memberikan pemahaman bahwa manusia perlu menjalin pergaulan meskipun berbeda suku dan bangsa. Hikma dari itu semua adalah saling kenal mengenal. Dengan cara demikian, manusia bisa saling melengkapi, saling berbagai, saling menjaga untuk menciptakan kesejahteraan.

Perbedaan budaya dalam pergaulan menuntut setiap individu untuk saling memahami dan menyadari. Secara teoretis, kemampuan akan komunikasi antarbudaya menjadi bagian penting. Litvin merinci sekurang-kurangnya 12 alasan mengenai pentingnya mempelajari komunikasi antarbudaya, yaitu:
1.   Dunia sedang menyusut dan kapasitas untuk memahami keanekaragaman budaya sangat diperlukan.
2.   Semua budaya berfungsi dan penting bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut meskipun nilai-nilai berbeda.
3.   Nilai-nilai setiap masyarakat se”baik” nilai-nilai masyarakat lainnya.
4.   Setiap individu dan/atau budaya berhak menggunakan nilai-nilanya sndiri.
5.   Perbedaan-perbedaan individu itu penting, namun ada asumsi-asumsi dan pola-pola budaya mendasar yang berlaku.
6.   Pemahaman atas nilai-nilai budaya sendiri merupakan prasyarat untuk mengidentifikasi dan memahami nilai-nilai budaya lain.
7.   Dengan mengatasi hambatan-hambatan budaya untuk berhubungan dengan orang lain kita memperoleh pemahaman dan penghargaan bagi kebutuhan, aspirasi, perasaan dan masalah manusia.
8.   Pemahaman atas orang lain secara lintas budaya dan antarpribadi adalah suatu usaha yang memerluka keberanian dan kepekaan. Semakin mengancam pandangan dunia orang itu bagi pandangan dunia kita, semakin banyak yang harus kita pelajari dari dia, tetapi semain berbahaya untuk memahaminya.
9.   Pengalaman-pengalaman antarbudaya dapat menyenangkan dan menumbuhkan kepribadian.
10.   Keterampilan-keterampilan komunikasi yang diperoleh memudahkan perpindahan seseorang dari pandangan yang monokultural terhadap interaksi manusia ke pandangan multikultural.
11.   Perbedaan-perbedaan budaya menandakan kebutuhan akan penerimaan dalam komunikasi, namun perbedaan-perbedaan tersebut secara arbitrer tidaklah menyusahan atau memudahkan.
12.   Situasi-situasi komunikasi antarbudaya tidaklah static dan bukan pula stereotip. Karena itu, seorang komunikator tidak dapat dilatih untuk mengatasi situasi. Ia harus disiapkan untuk menghadapi suatu situasi eksistensial. Dalam konteks ini kepekaan, pengetahuan dan keterampilannya bisa membuatnya siap untuk berperan serta dalam menciptakan lingkungan yang efektif dan saling memuaskan (Mulyana, ed.,  2001:xi).

Melengkapi diri dengan kemampuan komunikasi antarbudaya tidak sekedar untuk tujuan pragmatis pergaulan, tetapi lebih dari itu memiliki tujuan tertentu yang bersifat kognitif dan afektif.  Litvin (dalam Mulyana, ed., 2001:xi) merinci tujuan tersebut adalah:
1. Menyadari bias budaya.
2. Lebih peka secara budaya.
3. Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain untuk menciptakan  hubungan yang langgeng dan memuaskan dengan orang tersebut.
4. Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri.
5. Memperluas dan memperdalam pengalaman seseorang.
6. Mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu menerima gaya dan isi komunikasinya sendiri.
7. Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memelihara semesta wacana dan makna bagi para anggotanya.
8. Membantu memahami kontak antarbudaya sebagai suatu cara untuk memperoleh pandangan ke dalam budaya sendiri: asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasan-kebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya.
9. Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi bidang komunikasi antarbudaya.
10.   Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai  yang berbeda dapat dipelajari secara sistematis, dibandingkan, dan dipahami.

Agent of Reinvestment Dalam Perubahan Masyarakat Tradisional

1. Studi Daniel Lerner
Daniel Lerner adalah orang yang serius mempelajari aspek komunikasi dalam pembangunan. Menurut Lerner, aspek yang paling penting dalam modernisasi adalah kemauan untuk mobilitas, baik fisik maupun psikis. Aspek fisik mencakup urbanisasi, yakni adanya perpindahan dari desa ke kota. Sedang mobilitas psikis berarti bergeraknya seseorang dalam arti kejiwaan, adanya empati. Empati ini berarti kemampuan seseorang untuk membayangkan dirinya berada di posisi orang lain.

Untuk membentuk ini, dibutuhkan peran media massa. Sehingga Lerner menganggap bahwa pengoptimalan media massa adalah hal yang sangat penting. Bagaimana orang lain mengetahui suatu informasi dari media massa, bagaimana media massa mengolah pesannya, hal-hal ini lah yang dibutuhkan untuk mobilitas yang telah disebutkan di atas.

Daniel Lerner menganalisa hubungan antara tingkat melek huruf dengan penggunaan media massa, kemudian dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik. Orang menyebutkan teori modernisasi Lerner. Lerner mengemukakan bahwa modernisasi suatu bangsa dimulai dari terjadinya urbanisasi. Seterusnya urbanisasi akan meningkatkan melek huruf, lalu meningkatkan penggunaan media dan meningkatkan partisipasi politik masyarakat yang tercermin dalam partisipasi Pemilu.

Lerner berpendapat kehidupan kota menuntut orang untuk mampu membaca dan menulis. Kemampuan tersebut mereka akan menjadi pengguna media massa. Hal tersebut meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Secara garis besar pendapat Lerner, untuk bisa berubah modern anggota masyarakat harus memiliki mobilitas baik dalam arti fisik atau psikis. Mobilitas fisik diartikan kebergerakan anggota masyarakat termasuk dalam arti perpindahan dari desa ke kota. Mobilitas psikis yaitu bergeraknya seseorang dalam arti kejiwaan. Mobilitas fisik akan mengubah kehidupan baik individu maupun masyarakat. 

Dengan mobilitas psikis seseorang dapat menempatkan dirinya pada kedudukan orang lain atau yang dinamakan sebagai empati. Kemampuan merasa bersama orang lain, kesanggupan menyesuaikan diri dan merupakan aktifitas empati dan kesediaan untuk berinovasi 
Lerner menyatakan empati merupakan prasyarat untuk mengambil peran baru sekaligus penyesuaian pada situasi baru. Wawasan masyarakat tidak terbatas pada hal-hal setempat saja, karena media massa mendidik masyarakat untuk menerima berita-berita supra-lokal (yang lebih tinggi dan luas dari setempat) dengan begitu kepekaan dapat tercipta sebagai permulaan dari mobilitas yang sesungguhnya (sosialisasi yang diantisipasi). 

Lerner berargumen bahwa setiap komunikasi merupakan indikasi sekaligus agen dari proses perubahan sosial. Ia melihat sistem komunikasi masyarakat selalu berjalan satu arah yaitu dari sistem komunikasi oral, cocok untuk masyarakat tradisional, sedangkan sistem media sesuai untuk masyarakat modern. 

Asumsi Modernisasi Lerner: 
a. Modernisasi merupakan proses komunikasi. Unsur tertentu dari budaya nasional/lokal merupakan penghambat yang harus dihapus untuk menuju masyarakat modern.
b. Transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern berkaitan dengan tingkat perubahan sejumlah karakter individual yang berhubungan dengan modernisasi. 
c. Media massa memiliki keampuhan membina empati karena menjadi pengganda mobilitas individu dan masyarakat.
d. Empati ditekankan bersamaan dengan rasionalitas yang harus ditingkatkan. Rasionalitas juga menyangkut kecenderungan untuk memandang masa depan dan prospek pribadi dalam arti suatu hasil pencapaian daripada sesuatu yang sekadar diwarisi. 
e. Kepribadian yang modern ditandai dengan oleh suatu nilai-nilai psikososial yang kompleks. Yaitu terdapat penekanan pada suatu kesiapan untuk pengalaman-pengalaman baru dan keterbukaan terhadap inovasi. 

Pada intinya, Lerner mengemukakan bahwa modernisasi suatu bangsa dimulai dari terjadinya urbanisasi. Menurutnya, untuk bisa berubah menjadi modern, anggota masyarakat harus memiliki mobilitas baik dalam arti fisik, maupun psikis. Namun kurang lebih dua puluh tahun kemudian, Lerner memperbaiki beberapa hal dari teori modernisasi yang ia kemukakan sebelumnya, yaitu :

a. Urbanisasi tidak lagi sebagai langkah pertama. Sebagai gantinya adalah melek huruf dan pengenaan media, lalu bergerak menuju partisipasi.
b. Indikator partisipasi politik bukan lagi hanya pemberian suara di pemiliu, tapi sedang dicarikan indicator lain yang bersifat psikologis semacam “empati”.
c. Lerner tidak lagi menyebut keseluruhan proses tersebut sebagai modernisasi, tapi mengantinya dengan perubahan.
d. Kerena itu, faktor yang dikemukakan sebelumnya (urbanisasi, melek huruf, pengenaan media dan partisipasi) tidak lagi disebut sebagai indicator kemodernan, tapi sebagai kecenderungan kepada perubahan (proencity to change) atau kesiapan orang untuk mencoba hal-hal yang baru.

Kelebihan dari teori ini adanya semangat untuk berinovasi, adanya kemauan untuk menjadi agen perubahan. Hal ini didasarkan dari syarat modernisasi yang mengharuskan untuk perpindahan atau mobilitas sehingga terjadi pergerakan pengetahuan dan keinginan.
Kekurangan dari model ini adalah salah perhitungan dari Lerner yang menyatakan bahwa arus urbanisasi bisa menghasilkan peningkatan baca tulis di kalangan anggota masyarakat. Namun, hal ini ternyata salah. Di negara berkembang, arus urbanisasi justru memicu timbulnya kawasan-kawasan baru yang kumuh yang terletak di pinggiran kota. Juga tidak dilanjutkan dengan peningkatan konsumsi media, apalagi berpartisipasi dalam politik.

2. Perubahan Masyarakat Tradisional di Timur Tengah
Lerner (1983) mencoba menggambarkan modernisasi sebagai faktor yang mendorong perubahan sosial di Timur Tengah. Secara umum hasil penelitiannya menemukan nilai-nilai tradisional yang tercermin dalam tingkah laku manusia pada masyarakat Timur Tengah mengalami peralihan ke karakter kehidupan modern. 

Tiga variabel modernisasi yang digunakan Lerner yaitu; 
a. Lebih modern, dimaksudkan lebih banyak orang yang mengubah cara hidup tradisional.
b. Lebih dinamis, dimaksudkan modernisasi berjalan dengan suatu derap cepat.
c. Lebih stabil, dimaksudkan pembagian kelas tidak begitu jelas. 

Modernisasi lebih bergerak cepat karena tidak dihambat oleh terputusnya kebijakan dan kekerasan sosial politik. Ketiga variabel itu diturunkan pada beberapa kondisi yang dapat ditelaah yaitu; mobilitas, empati, pendapatan dan partisipasi. 

Dari enam negara timur tengah yang diteliti (Turki, Libanon, Mesir, Siria, Yordania, Iran) hasil penemuannya membuktikan bahwa Turki dan Libanon dianggap sedang mengalami proses modernisasi. Mesir dan Siria dilanda kekacauan, sedangkan Yordani dan Iran belum jauh melangkah ke arah modernisasi. Perkembangan yang menarik dari modernisasi di Timur Tengah adalah ketiga ciri modernisasi, dinamisme dan stabilitas cenderung bergerak bersama. 

Lerner menekankan proses modernisasi yang seimbang, hal ini yang membedakan perubahan sosial di masing-masing negara. Keseimbangan itu dapat dilihat dari urbanisasi dan kemampuan baca tulis, produksi media dan konsumsinya, jumlah penduduk dan pemberian suara. Turki dan Libanon menunjukkan perkembangan yang paling seimbang dan stabil untuk semua sektor. 

Salah satu contoh, di Turki dan Libanon terjadi keseimbangan yang logis antara jumlah penduduk dan pemberi suara dalam pemilu, didukung oleh ketersediaan media informasi dan pendidikan. Demikian pula ada kaitannya antara ketersediaan informasi yang tinggi dengan kebebasan berpendapat dan empati. Mesir, Siria, Yordania, dan Iran tidak mengalami perkembangan seperti itu. Keempat negara ini diliputi dengan kondisi politik dan sosiokultural yang tidak mendukung misalnya pemerintahan diktator di Mesir, imbas pengungsi di Palestina, serta nilai tradisionil yang kuat di Iran.

Selain itu, di enam negara tersebut masa peralihan sudah dapat dilihat karena perubahan sosial di negara-negara tersebut sudah terjadi. Akan tetapi tipe di setiap negara itu berbeda dilihat dari sudut ketidakberdayaan dalam menggunakan hak berpendapat atau yang disebut Lerner impotensi pribadi. Libanon dan Turki menunjukkan sedikit ada gejala itu, sedangkan keempat negara lainnya menunjukkan gejala tersebut. Bahkan kaum peralihan di Iran sebagian besar tidak menggunakan hak berpendapat untuk menilai kondisi meraka dalam lingkungan nilainilai tradisional yang kaku.

Secara umum penemuan Lerner, mencoba mengembangkan suatu teori yang melihat bahwa modernisasi terjadi dari dalam dan tidak sama untuk semua masyarakat. Namun demikian pengaruh perkembangan informasi dan komunikasi menyebabkan semua unsur eksternal juga dapat berpengaruh terhadap perubahan tingkah laku. Seperti yang dinyatakan Lerner bahwa pengaruh tingkah laku dapat bersamaan dengan perubahan kelembagaan.

Agent of Change Dalam Difusi & Inovasi Pendidikan

Kita telah mengetahui bahwa inovasi termasuk bagian dari perubahan sosial, dan inovasi pendidikan merupakan bagian dari inovasi. Mengingat bahwa penyelenggara pendidikan formal adalah suatu organisasi maka pola inovasi dalam organisasi yang lebih sesuai diterapkan dalam bidang pendidikan..

Dalam sejarah Amerika Serikat, teori difusi inovasi telah ada sejak tahun 1950-an. Dalam konteks sejarah yang dimaksud, pemerintah Amerika Serikat melakukagn riset untuk mengetahui bagaimana dan mengapa sebagian petani di sana mengadopsi teknik-teknik baru dalam pertanian dan sebagian lainnya tidak. Everett M. Rogers adalah salah satu dari tim eksplorasi ini. Berawal dari sejarah tersebut, meskipun pada awalnya teori difusi ditujukan untuk memahami difusi dari teknik-teknik pertanian tapi pada perkembangan selanjutnya teori difusi ini digunakan pada bidang-bidang lainnya secara lebih universal. 

Teori difusi inovasi dari Everret M. Rogers kemudian diformulasikan dalam sebuah buku pada Tahun 1962 berjudul “Diffusion of Innovations“. Namun demikian hal tersebut sangat berarti dan bermanfaat untuk memahami dan menganalisa peranan dan keberhasilan agen pembaharu dalam penyebaran inovasi pendidikan.

A. Pengertian Agen Pembaharu (agent of change)
Agen pembaharu (agent of change) adalah orang yang bertugas mempengaruhi klien agar mau menerima inovasi sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh pengusaha pembaharuan (change agency). Pekerjaan ini mencakup berbagai macam pekerjaan seperti guru, konsultan, penyuluh kesehatan, penyuluh pertanian dan sebagainya. Semua agen pembaharu bertugas membuat jalinan komunikasi antara pengusaha pembaharuan (sumber inovasi) dengan system klien (sasaran inovasi).

Tugas utama agen pembaharu adalah melancarkan jalannya arus inovasi dari pengusaha pembaharuan ke klien. Proses komunikasi ini akan efektif jika inovasi yang disampaikan ke klien harus dipilih sesuai dengan kebutuhannya atau sesuai dengan masalah yang dihadapinya. Agar jalinan komunikasi dalam proses difusi ini efektif, umpan balik dari system klien harus disampaikan kepada pengusaha pembaharuan melalui agen pembaharu. Dengan umpan balik ini pengusaha pembaharuan dapat mengatur kembali bagaimana sebaiknya agar komunikasi lebih efektif. Jika tidak terdapat kesenjangan sosial dan teknik antara pengusaha pembaharuan dan klien dalam proses difusi inovasi, maka tidak perlu agen pembaharu. Tetapi biasanya pengusaha pembaharu adalah orang-orang ahli dalam inovasi yang sedang didifusikan, oleh karena itu terjadi kesenjangan pengetahuan sehingga dapat terjadi hambatan komunikasi. Disinilah pentingnya agen pembaharu untuk penyampaian difusi inovasi agar dapat mudah diterima oleh klien. 

Agen pembaharu harus mampu menjalin hubungan baik dengan pengusaha pembaharuan dan juga dengan system klien. Adanya kesenjangan heterophily pada kedua sisi agen pembaharu dapat menimbulkan masalah dalam komunikasi. Sebagai penghubung antara kedua system yang berbeda sebaiknya agen pembaharu bersikap marginal, ia berdiri dengan satu kaki pada pengusaha pembaharu dan satu kaki yang lain pada klien. Keberhasilan agen pembaharu dalam melancarkan proses komunikasi antara pengusaha pembaharu dengan klien, merupakan kunci keberhasilan proses difusi inovasi. Selain itu agen pembaharu melakukan seleksi informasi untuk dapat disesuaikan dengan masalah dan kebutuhan klien. 

B. Tugas dan Fungsi Agen Pembaharu
Fungsi utama agen pembaharu adalah sebagai penghubung antara pengusaha pembaharuan (change agency) dengan klien, tujuannya agar inovasi dapat diterima atau diterapkan oleh klien sesuai dengan keinginan pengusaha pembaharuan. Kunci keberhasilan diterimanya inovasi oleh klien terutama terletak pada komunikasi antara agen pembaharu dengan klien. Jika komunikasi lancer dan efektif proses penerimaan inovasi akan lebih cepat dan makin mendekati tercapainya tujuan yang diinginkan. Sebaliknya jika komunikasi terhambat makin tipis harapan diterimanya inovasi. Oleh karena tugas utama yang harus dilakukan agen pembaharu adalah memantapkan hubungan dengan klien. Kemantapan hubungan antara agen pembaharu dengan klien, maka komunikasi akan lebih lancar. 

Rogers, mengemukakan ada tujuh langkah kegiatan agen pembaharu dalam pelaksanaan tugasnya inovasi pada system klien, sebagai berikut :
1. Membangkitkan kebutuhan untuk berubah.
Biasanya agen pembaharu pada awal tugasnya diminta untuk membantu kliennya agar mereka sadar akan perlunya perubahan.Agen pembaharu mulai dengan mengemukakan berbagaimasalah yang ada, membantu menemukan masalah yang penting dan mendesak, serta meyakinkan klien bahwa mereka mampu memecahkan masalah tersebut. Pada tahap ini agen pembaharu menentukan kebutuhan klien dan juga membantu caranya menemukan masalah atau kebutuhan dengan cara konsultatif .

2. Memantapkan hubungan pertukaran informasi.
Sesudah ditentukannya kebutuhan untuk berubah, agen pembaharu harus segera membina hubungan yang lebih akrab dengan klien. Agen pembaharu dapat meningkatkan hubungan yang lebih baik kepada klien dengan cara menumbuhkan kepercayaan klien pada kemampuannya, saling mempercayai dan juga agen pembaharu harus menunjukan empati pada masalah dan kebutuhan klien.

3. Mendiagnosa masalah yang dihadapi.
Agen pembaharu bertanggung jawab untuk menganalisa situasi masalah yang dihadapi klien, agar dapat menentukan berbagai alternatif jika tidak sesuai kebutuhan klien. Untuk sampai pada kesimpulan diagnosa agen pembaharu harus meninjau situasi dengan penuh emphati. Agen pembaharu melihat masalah dengan kacamata klien, artinya kesimpulan diagnosa harus berdasarkan analisa situasi dan psikologi klien, bukan berdasarkan pandangan pribadi agen pembaharu.

4. Membangkitkan kemauan klien untuk berubah.
Setelah agen pembaharu menggali berbagai macam cara yang mungkin dapat dicapai oleh klien untuk mencapai tujuan, maka agen pembaharu bertugas untuk mencari cara memotivasi dan menarik perhatian agar klien timbul kemauannya untuk berubah atau membuka dirinya untuk menerima inovasi. Namun demikian cara yang digunakan harus tetap berorientasi pada klien, artinya berpusat pada kebutuhan klien jangan terlalu menoinjolkan inovasi.

5. Mewujudkan kemauan dalam perbuatan.
Agen pembaharu berusaha untuk mempengaruhi tingkah laku klien dengan persetujuan dan berdasarkan kebutuhan klien jadi jangan memaksa. Dimana komunikasi interpersonal akan lebih efektif kalau dilakukan antar teman yang dekat dan sangat bermanfaat kalau dimanfaatkan pada tahap persuasi dan tahap keputusan inovasi. Oleh kerena itu dalam hal tindakan agen pembaharu yang paling tepat menggunakan pengaruh secara tidak langsung, yaitu dapat menggunakan pemuka masyarakat agar mengaktifkan kegiatan kelompok lain.

6. Menjaga kestabilan penerimaan inovasi dan mencegah tidak berkelanjutannya inovasi.
Agen pembaharu harus menjaga kestabilan penerimaan inovasi dengan cara penguatan kepada klien yang telah menerapkan inovasi. Perubahan tingkah laku yang sudah sesuai dengan inovasi dijaga jangan sampai berubah kembali pada keadaan sebelum adanya inovasi. 

7. Mengakhiri hubungan ketergantungan.
Tujuan akhir tugas agen pembaharu adalah dapat menumbuhkan kesadaran unrtuk berubah dan kemampuan untuk merubah dirinya, sebagai anggota system social yang selalu mendapat tantangan kemajuan jaman. Agen pembaharu harus berusaha mengubah posisi klien dari ikatan percaya pada kemampuan agen pembaharu menjadi bebas dan percaya kepada kemampuan sendiri.

C. Faktor-Faktor Keberhasilan Agen Pembaharu
Berdasarkan hasil penelitian maupun pengamatan terhadap berbagai proyek difusi inovasi dan hasilnya dirumuskan dalam bentuk generalisasi. Adapun factor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan agen pembaharu, berkenaan dengan hal-hal sebagai berikut: 
1. Usaha agen pembaharu.
Sebagai indicator untuk mengetahui kegigihan usaha yang dilakukan agen pembaharu. Sebagai indikator untuk mengetahui kegigihan (besarnya) usaha agen pembaharu ialah : jumlah klien yang dihubungi untuk berkomunikasi, banyaknya waktu yang digunakan untuk berpartisipasi di desa (tempat tinggal) klien dibandingkan dengan waktu di kantor atau di rumah sendiri, banyaknya keaktifan yang dilakukan dalam proses difusi inovasi, ketepatan memilih waktu untuk berkomunikasi dengan klien dan sebagainya. Makin banyak jumlah klien yang dihubungi, makin banyak waktu yang digunakan di tempat tinggal klien, makin banyak keaktifan yang dilakukan dalam proses difusi dan makin tepat agen pembeharu memilih waktu untuk berkomunikasi dengan klien, dikatakan makin gigih atau makin besar usaha klien untuk kontak dengan klien. Dari berbagai bukti dirumuskan generalisasi bahwa Keberhasilan agen pembaharu berhubungan positif dengan besarnya usaha mengadakan kontak dengan klien.

2. Orientasi pada klien.
Sebagaimana telah kita ketahui posisi agen pembeharu berada ditengah-tengah antara pengusaha pembeharuan dan sistem klien. Agen pembeharu harus mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada pengusaha pembeharuan, tetapi dilain pihak ia juga harus bekerja bersama dan untuk memenuhi kepentingan klien. Agen pembeharu akan mengalami kesukaran jika apa yang diminta oleh pengusaha pembeharu tidak sesusai dengan kebutuhan klien. Namun demikian agen pembaharu akan berhasil melaksanakan tugasnya jika ia mampu untuk mengambil kebijakan dengan lebih berorientasi pada klien. Agen pembaharu harus menunjukan keakraban dengan klien, memperhatikan kebutuhan klien, sehingga memperoleh kepercayaan yang tinggi dari klien. Dengan dasar hubungan yang baik itu agen pembaharu dapat mengambil kebijakan menyesuaikan kebutuhan klien dengan kemauan pengusaha Pembaharuan. Tetapi jika agen pembeharu tampat berorientasi pada pengusaha pembaharuan, maka akan dianggap lawan oleh klien dan sama sekali tidak dapat mengadakan kontak atau komunikasi. Dari berbagai bukti hasil pengamatan dan penelitian dirumuskan generalisasi. Keberhasilan agen pembaharu berhubungan positif dengan orientasi pada klien dari pada orientasi pada pengusaha pembaharuan.

3. Sesuai dengan kebutuhan klien.
Menurut Rogers (1983), salah satu tugas agen pembaharu yang sangat penting dan sukar melaksanakannya ialah mendiagnosa kebutuhan klien. Banyak terbukti usaha difusi Inovasi gagal karena tidak mendasarkan kebutuhan klien, tetapi lebih mengutamakan pada target inovasi sesuai kehendak pengusaha pembaharuan. Sebagai contoh, disebuah desa suku Indian, mendapat dana dari pemerintah untuk membangu irigasi agar dapat meningkatkan hasil pertaniannya. Tetapi sangat dibutuhkan orang di desa itu tendon air untuk minum, karena mereka harus berjalan sejauh 3 km untuk mendapatkan air sungai. Maka akhirnya penduduk membangun waduk air bukan di sawah tetapi didekat desa dan menggunakan air itu untuk minum bukan untuk irigasi. Dari berbagai bukti itu, dirumuskan generalisasi. Keberhasilan agen pembaharu berhubungan positif dengan kesesuaian program difusi dengan kebutuhan klien.

4. Empati.
Seperti telah kita ketahui bahwa emphati akan mempengaruhi efektifitas komunikasi. Komunikasi yang efektif akan mempercepat diterimanya inovasi. Generalisasi Keberhasilan agen pembaharu berhubungan positif dengan emphatic terhadapat klien.

5. Homophily.
Sebagaimana telah kita ketahui yang dimaksud dengan homophily ialah pasangan individu yang berinteraksi dengan mimiliki ciri-ciri atau karakteristik yang sama (sama bahasa, kepercayaan, adat istiadat dan sebagainya). Heterophily ialah pasangan individu yang berinteraksi dengan memiliki ciri-ciri atau karakteristik yang berbeda. Biasanya agen pembaharu yang berbeda dengan klien lebih disegani, dan lebih suka mengadakan dengan klien yang memiliki persamaan dengan dia.

Dari pernyataan umum ini melahirkan serangkaian generelisasi yang ditunjang dengan bukti-bukti berdasarkan pengalaman para ahli.
- “Kontak yang dilakukan agen pembaharu berhubungan positif dengan status sosial antara klien”. 
- “Kontak yang dilakulkan agen pembaharu berhubungan positif dengan besarnya partisipasi social antar klien”. 
- “Kontak yang dilakukan agen pembaharu berhubungan positif dengan tingginya tingkat pendidikan antara klien”. 
- “Kontak yang dilakukan agen pembaharu, berhungan positif dengan sifat cosmopolitan antara klien”. 
Generalisasi tersebut berdasarkan pemikiran bahwa kontak komunikasi antara agen pembaharu dengan klien akan lebih efektif jika homophily. 

6. Kontak agen pembaharu dengan klien yang berstatus lebih rendah.
Sebenarnya klien yang kurang mampu ekonominya, rendah pendidikannya, harus mendapat lebih banyak bantuan dan bimbingan dari agem pembaharu. Tetapi sesuai dengan prinsip homophily maka justru agen pembaharu lebih banyak kontak dengan klien yang berstatus lebih tinggi baik pendidikan maupun ekonominya. Sehingga dapat tibul pendapat yang kurang benar dari agen pembaharu yang menyatakan bahwa klien yang berstatus lebih rendah tidak termasuk tanggungjawabnya dalam pelaksanaan difusi inovasi. Jika ini terjadi maka akibatnya makin parah, karena makin terbuka kemungkinan klien yang berstatus lebih rendah tidak terjamah sama sekali oleh bantuan agen pembaharu. Salah satu cara untuk mengatasi dengan jalan memilih pembaharu yang sedapat mungkin sama dengan klien atau paling tidak mendekati, misalnya sama daerahnya, sama bahasanya, sama kepercayaannya dan sebagainya. Dengan dasar itu maka dirumuskan generalisasi ‟Keberhasilan agen pembaharu berhubungan positif dengan klien yang homophily‟.

7. Pembantu para-profesional
Pembantu para-propesional ialah orang yang bertugas membantu agen pembaharu agar terjadi kontak dengan klien yang berstatus lebih rendah. Pembantu para-propesional dari segi pengetahuan tentang inovasi dan teknik penyebaran inovasi, kurang dari agen pembaharu. Tetapi dengan mengangkat pembantu para-propesional ada keuntungannya yaitu biaya lebih rendah dapat kontak dengan klien yang berstatus lebih rendah dari agen pembaharu, karena para pembantu para-propesional lebih dekat dengan klien (homophily). 

8. Kepercayaan klien terhadap agen pembaharu (credibility).
Pembantu agen pembaharu (aide) kurang memperoleh kepercayaan dari klien, jika ditinjau dari segi kompentensi professional karena ia memang kurang professional. Tetapi pembantu agen pembaharu, memiliki kepercayaandari klien karena adanya hubungan yang akrab sehingga tidak timbul kecurigaan. Klien percaya pada pembantu agen pembaharu karena keyakinannya akan membawa kebaikan bagi dirinya, yang dise but: kepercayaan, keselamatan (Savety, credibility) . Pada umumnya agen pembaharu (professional dan hetrophily) memiliki kepercayaan kompetensi ( competency credibility), sedangkan pembantu agen pembaharu ( tidak professional dan homophily) memiliki kepercayaan keselamatan (savety, credibility). Seharusnya agen pembaharu yang ideal harus memiliki kedua kepercayaan tersebut secara seimbang. Tetapi hal ini sukar diperoleh, karena jika agen pembaharu itu professional berarti ia sarjana yang menguasai ilmu dan teknik, maka timbul perbedaan dengan klain yang berpendidikan rendah (heterophily). Salah satu cara untuk mengatasi ini dengan jalan mengangkat orang yang telah menerima dan menerapkan inovasi, sebagai pembantu agen pembaharu mempengaruhi teman-temannya ( anggota system klien yang lain) untuk menerima inovasi. Cara ini telah terbukti berhasil di India dalam difusi inovasi keluarga berencana dengan cara pasektomi. Pengusaha pembaharu memberi upah kepada orang yang sudah melaksanakan vasektomi yang mau dijadikan Canvasser ( membantu mencari pengikut KB). Ternyata canvasser di India ini memiliki keseimbangan antara kepercayaan kompetensi dan kepercayaan keselamatan. Ia dimata klien telah memiliki kopetensi karena telah berpengalaman manjalani operasi vasektomi. Canvasser juga memperoleh kepercayaan keselamatan, karena ia memiliki banyak persamaan dengan klien (homophiliy), sama dari status ekonomi lemah, sama tingkat pendidikannya, sama asal daerahnya, sama bahasanya dan sebagainya. Jadi canvasser di India berhasil karena pembantu agen pembaharu memiliki keseinbangan kepercayaan baik kompetensi maupun keselamatan, dan ditambah lagi biaya honorariumnya lebih murqah dari pada agen pembaharu yang professional. Dengan pengalaman itu dirumuskan generalisasi ‟Keberhasilan agen pembeharu berhubung positif dengan kepercayaan (credibility) dari sudut pandang klien“.

9. Profesional Semu.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pembantu agen pembaharu dapat memberikan beberapa keuntungan seperti biaya operasional rendah, dan dapat menjebatani kesenjangan heterophily, namum tidak berarti bahwa agen pembaharu lalu sama sekali tidak diperlukan. Agen pembaharu tetap masih sangat dibutuhkan untuk menatar atau mamilih pembantu agen pembaharu, engadakan super visi, dan juga membantu mencegah masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh pembantu agen pembaharu. Satu masalah yang sering dijumpai pembantu agen pembaharu aialah timbulnya professional semu yang terjadi karena pembantu agen pembaharu bergaya seperti agen pembaharu professional. Ia memakai pakaian, cara bertindak, dan sebagainya yang menyamai tenaga agen pembaharu professional. Secara psikologis hal ini wajar , karena ia mengagumi kehebatan kopetensi professional agen pembaharu, sehingga berusaha meniru agar menambah wibawa. Tetapi sebenarnya yang diperoleh justru terbalik, karena dengan bergaya seperti tenaga professional akan menghilangkan fungsinya untuk menjebatani kesenjangan heterophily. Biasanya jika pembantu agen pembaharu menyadari adanya masalah professional semu, mereka akan berusaha dan berhati-hati dalam bertindak sehingga terhindar dari hambatan terjadinya professional semu tersebut.

10. Pemuka Pendapat.
Dimuka masyarakat atau system social sering terdapat orang yang pendapat-pendapatnya mudah diikuti oleh teman-teman sekelompoknya. Orang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi perubahan pengetahuan, sikap, dan tingkah laku orang lain secara informal, dengan tujuan tertentu, disebut pemuka pendapat. Dari berbagai pengalaman dan pengamatan para ahli menunjukan bahwa banyak difusi inovasi berhasil dengan cara memanfaatkan pemuka pendapat yang ada didalam system social. 

Maka dirumuskan generalisasi “Keberhasilan agen pembaharu berhubungan positif dengan besarnya usaha untuk bekerja sama dengan pemuka pendapat”.

11. Kemampuan klien untuk menilai inovasi. 
Salah satu keunikan agen pembaharu dalam proses difusi inovasi, ialah memiliki kompetensi teknik, yang menyebabkan ia berwewenang untuk bertindak sesuai dengan keahliannya dalamengaruhi klien untuk menerima inovasi. Tetapi jika agen pembaharu melakukan pendekatan jangka panjang dalam mencapai tujuan inovasi, maka ia harus berusaha membangkitkan klien agar memiliki kemampuan teknik dan kemampuan menilai potensi inovasi yang dicapainya sendiri. Dengan kata lain agen pembaharu harus berusaha menjadikan klien menjadi agen pembaharu dirinya sendiri. Bahwa keberhasilan agen pembaharu berhubungan positif dengan meningkatnya kemampuan klien untuk menilai inovasi. Tetapi pada umumnya agen pembaharu hanya bekerja dalam jangka pendek, terutama untuk melancarkan proses kecepatan diterimanya inovasi. Kesadaran dan kemempuan memperbaharui diri dengan percaya kepada kemempuan sendiri menjadi tujuan dari pengusaha pembaharuan, sedangkan seberapa kadar yang dapat dicapai tergantung pada usaha agen pembaharu.

D. Difusi dan Inovasi
Rogers menyatakan bahwa inovasi adalah “an idea, practice, or object perceived as new by the individual” (suatu gagasan, praktek, atau benda yang dianggap/dirasa baru oleh individu). Dengan definisi ini maka kata perceived menjadi kata yang penting karena pada mungkin suatu ide, praktek atau benda akan dianggap sebagai inovasi bagi sebagian orang tetapi bagi sebagian lainnya tidak, tergantung apa yang dirasakan oleh individu terhadap ide, praktek atau benda tersebut.

Difusi didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu selama jangka waktu tertentu terhadap anggota suatu sistem sosial. Difusi dapat dikatakan juga sebagai suatu tipe komunikasi khusus dimana pesannya adalah ide baru. Disamping itu, difusi juga dapat dianggap sebagai suatu jenis perubahan sosial yaitu suatu proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial.

Proses difusi inovasi melibatkan empat unsur utama, meliputi:
1. Innovation (inovasi), yaitu ide, praktek, atau benda yang dianggap baru oleh individu atau kelompok.
2. Communication Channel (saluran komunikasi), yaitu bagaimana pesan itu didapat suatu individu dari individu lainnya.
3. Time (waktu), ada tiga faktor waktu, yaitu:
- Innovation decision process ( proses keputusan inovasi )
- Relative time which an inovation is adopted by individual or group. 
- Innovation’s rate of adoption ( tingkat adopsi inovasi )
4. Social System (sistem sosial), yaitu serangkaian bagian yang saling berhubungan dan bertujuan untuk mencapai tujuan umum.

E. Konsep Dasar Proses Keputusan Inovasi
Konsep dasar proses keputusan inovasi (the innovation decision process) merupakan proses mental yang mana seseorang atau lembaga melewati dari pengetahuan awal tentang suatu inovasi sampai membentuk sebuah sikap terhadap inovasi tersebut, membuat keputusan apakah menerima atau menolak inovasi tersebut, mengimplementasikan gagasan baru tersebut, dan mengkonfirmasi keputusan ini. Seseorang akan mencari informasi pada berbagai tahap dalam proses keputusan inovasi untuk mengurangi ketidakyakinan tentang akibat atau hasil dari inovasi tersebut.

Proses keputusan inovasi ini adalah sebuah model teoritis dari tahapan pembuatan keputusan tentang pengadopsian suatu inovasi teknologi baru. Proses ini merupakan sebuah contoh aksioma yang mendasari pendekatan psikologi sosial yang menjelaskan perubahan sikap dan perilaku yang dinamakan hierarchy of effect principle. 

Proses keputusan inovasi dibuat melalui sebuah cost-benefit analysis yang mana rintangan terbesarnya adalah ketidakpastian (uncertainty). Orang akan mengadopsi suatu inovasi jika mereka merasa percaya bahwa inovasi tersebut akan memenuhi kebutuhan. Jadi mereka harus percaya bahwa inovasi tersebut akan memberikan keuntungan relatif pada hal apa yang digantikannya. 

F. Proses Keputusan Inovasi
Rogers menggambarkan The Innovation Decision Process (proses keputusan inovasi) sebagai kegiatan individu untuk mencari dan memproses informasi tentang suatu inovasi sehingga dia termotivasi untuk mencari tahu tentang keuntungan atau kerugian dari inovasi tersebut yang pada akhirnya akan memutuskan apakah dia akan mengadopsi inovasi tersebut atau tidak.

Bagi Rogers proses keputusan inovasi memiliki lima tahap, yaitu :
1. Tahap Pengetahuan (knowledge)
2. Tahap Kepercayaan (persuasion)
3. Tahap Keputusan (decision)
4. Tahap Penerapan (implementation)
5. Tahap Penegasan/Pengesahan (confirmation)

1. Tahap Pengetahuan (Knowledge Stage)
Proses keputusan inovasi ini dimulai dengan Knowledge Stage. Pada tahapan ini suatu individu belajar tentang keberadaan suatu inovasi dan mencari informasi tentang inovasi tersebut. Apa?, bagaimana?, dan mengapa? merupakan pertanyaan yang sangat penting pada knowledge stage ini. Selama tahap ini individu akan menetapkan “Apa inovasi itu? bagaimana dan mengapa ia bekerja?. Menurut Rogers, pertanyaan ini akan membentuk tiga jenis pengetahuan (knowledge):
a. Awareness knowledge merupakan pengetahuan akan keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan jenis ini akan memotivasi individu untuk belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Pada tahap ini inovasi mencoba diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti tentang produk tersebut. Karena kurangnya informasi tersebut maka maka masyarakat tidak merasa memerlukan akan inovasi tersebut. Rogers menyatakan bahwa untuk menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui media massa seperti radio, televisi, koran, atau majalah. Sehingga masyarakat akan lebih cepat mengetahui akan keberadaan suatu inovasi.

b. How to knowledge, yaitu pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan suatu inovasi dengan benar. Rogers memandang pengetahuan jenis ini sangat penting dalam proses keputusan inovasi. Untuk lebih meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka individu harus memiliki pengetahuan ini dengan memadai berkenaan dengan penggunaan inovasi ini.

c. Principles knowledge, yaitu pengetahuan tentang prinsip-prinsip keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat bekerja. Contoh dalam hal ini adalah ide tentang teori kuman, yang mendasari penggunaan vaksinasi dan kakus untuk sanitasi perkampungan dan kampanye kesehatan. Suatu inovasi dapat diterapkan tanpa pengetahuan ini, akan tetapi penyalahgunaan suatu inovasi akan mengakibatkan berhentinya inovasi tersebut.

Lalu apakah peranan para agen perubahan dalam menghasilkan ketiga jenis pengetahuan tersebut? Kebanyakan agen perubahan tampaknya memusatkan perhatian pada usaha untuk menciptakan awareness knowledge yang sebenarnya untuk tujuan ini akan lebih efisien dengan menggunakan jalur media masa. Para agen perubahan mungkin akan memainkan peranan penting pada proses keputusan inovasi ini apabila mereka berkonsentrasi pada how to knowledge, yang mungkin akan lebih penting bagi para klien terutama pada tahap trial and decision pada proses tersebut.

2. Tahap Kepercayaan (Persuasion Stage)
Tahap Persuasi terjadi ketika individu memiliki sikap positif atau negatif terhadap inovasi. Tetapi sikap ini tidak secara langsung akan menyebabkan apakah individu tersebut akan menerima atau menolak suatu inovasi. Suatu individu akan membentuk sikap ini setelah dia tahu tentang inovasi , maka tahap ini berlangsung setelah knowledge stage dalam proses keputusan inovasi. Rogers menyatakan bahwa knowledge stage lebih bersifat kognitif (tentang pengetahuan), sedangkan persuasion stage bersifat afektif karena menyangkut perasaan individu, karena itu pada tahap ini individu akan terlibat lebih jauh lagi. Tingkat ketidakyakinan pada fungsi-fungsi inovasi dan dukungan sosial akan mempengaruhi pendapat dan kepercayaan individu terhadap inovasi.

3. Tahap Keputusan (Decision Stage)
Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak suatu inovasi. Menurut Rogers, adoption (menerima) berarti bahwa inovasi tersebut akan digunakan secara penuh, sedangkan menolak berarti “not to adopt an innovation”. Jika inovasi dapat dicobakan secara parsial, umpamanya pada keadaan suatu individu, maka inovasi ini akan lebih cepat diterima karena biasanya individu tersebut pertama-tama ingin mencoba dulu inovasi tersebut pada keadaannya dan setelah itu memutuskan untuk menerima inovasi tersebut. Walaupun begitu, penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap proses keputusan inovasi ini. Rogers menyatakan ada dua jenis penolakan, yaitu active rejection dan passive rejection.
a. Active rejection terjadi ketika suatu individu mencoba inovasi dan berfikir akan mengadopsi inovasi tersebut namun pada akhirnya dia menolak inovasi tersebut. 
b. Passive rejection individu tersebut sama sekali tidak berfikir untuk mengadopsi inovasi.

4. Tahap Penerapan (Implementation Stage)
Pada tahap implementasi, sebuah inovasi dicoba untuk dipraktekkan, akan tetapi sebuah inovasi membawa sesuatu yang baru apabila tingkat ketidakpastiannya akan terlibat dalam difusi. Ketidakpastian dari hasil-hasil inovasi ini masih akan menjadi masalah pada tahapan ini. Maka si pengguna akan memerlukan bantuan teknis dari agen perubahan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dari akibatnya. Apalagi bahwa proses keputusan inovasi ini akan berakhir. Permasalahan penerapan inovasi akan lebih serius terjadi apabila yang mengadopsi inovasi itu adalah suatu organisasi, karena dalam sebuah inovasi jumlah individu yang terlibat dalam proses keputusan inovasi ini akan lebih banyak dan terdiri dari karakter yang berbeda-beda.
Kapankah implementasi inovasi ini akan berakhir?

Penemuan kembali biasanya terjadi pada tahap implementasi ini, maka tahap ini merupakan tahap yang sangat penting. Penemuan kembali ini adalah tingkatan di mana sebuah inovasi diubah atau dimodifikasi oleh pengguna dalam proses adopsi atau implementasinya. Rogers juga menjelaskan tentang perbedaan antara penemuan dan inovasi (invention & innovation). Invention adalah proses di mana ide-ide baru ditemukan atau diciptakan. Sedang inovasi adalah proses penggunaan ide yang sudah ada. Rogers juga menyatakan bahwa semakin banyak terjadi penemuan maka akan semakin cepat sebuah inovasi dilaksanakan.

5. Tahap Penegasan/Pengesahan (Confirmation Stage)
Ketika Keputusan inovasi sudah dibuat, maka si penguna akan mencari dukungan atas keputusannya ini . Menurut Rogers keputusan ini dapat menjadi terbalik apabila si pengguna ini menyatakan ketidaksetujuan atas pesan-pesan tentang inovasi tersebut. Akan tetapi kebanyakan cenderung untuk menjauhkan diri dari hal-hal seperti ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang mendukung yang memperkuat keputusan itu. Jadi dalam tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih krusial. Keberlanjutan penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan dan sikap individu. 

Pada tahap ini dapat terjadi Discontiuance (ketidakberlanjutan) yaitu suatu keputusan menolak sebuah inovasi setelah sebelumnya mengadopsinya. Ketidakberlanjutan ini dapat terjadi terjadi pada dua cara :
a. Pertama atas penolakan individu terhadap sebuah inovasi mencari inovasi lain yang akan menggantikannya. Keputusan jenis ini dinamakan replacement discontinuance. 
b. Yang kedua dinamakan disenchanment discontinuance. Dalam hal ini individu menolak inovasi tersebut disebabkan ia merasa tidak puas atas hasil dari inovasi tersebut. Alasan lain dari discontinuance decision ini mungkin disebabkan inovasi tersebut tidak memenuhi kebutuhan individu. sehingga tidak merasa adanya keuntungan dari inovasi tersebut.

G. Implementasi di Tingkat Sekolah
Inovasi sebagai suatu ide, gagasan, praktik atau obyek/benda yang disadari dan diterima sebagai suatu hal yang baru oleh seseorang atau kelompok untuk diadopsi. Oleh sebab itu, inovasi pada dasarnya merupakan pemikiran cemerlang yang bercirikan hal baru ataupun berupa praktik-praktik tertentu ataupun berupa produk dari suatu hasil olah-pikir dan olah teknologi yang diterapkan melalui tahapan tertentu yang diyakini dan dimaksudkan untuk memecahkan persoalan yang timbul dan memperbaiki suatu kedaan tertentu ataupun proses tertentu yang terjadi di masyarakat. Dalam bidang pendidikan, banyak usaha yang dilakukan untuk kegiatan yang sifatnya pembaruan atau inovasi pendidikan. Inovasi yang terjadi dalam bidang pendidikan tersebut, antara lain dalam hal manajemen pendidikan, metodologi pengajaran, media, sumber belajar, pelatihan guru, implementasi kurikulum, dan sebagainya.

Dalam hal implementasi inovasi di sekolah, maka guru merupakan faktor terpenting yang harus melaksanakan inovasi dengan memperhatikan hal-hal berikut :
a. Inovasi harus berlangsung di sekolah guna memperoleh hasil yang terbaik dalam mendidik siswa.
b. Ujung tombak keberhasilan pendidikan di sekolah adalah guru .
c. Oleh karena itu guru harus mampu menjadi seorang yang inovatif guna menemukan strategi atau metode yang efektif untuk mendidik.
d. Inovasi yang dilakukan guru pada intinya berada dalam tatanan pembelajaran yang dilakukan di kelas.
e. Kunci utama yang harus dipegang guru adalah bahwa setiap proses atau produk inovatif yang dilakukan dan dihasilkannya harus mengacu kepada kepentingan siswa.

Proses keputusan inovasi di tingkat sekolah berawal dari pengetahuan atau kesadaran para personil di sekolah / guru tentang kebutuhan akan sebuah inovasi yang akan membantu memecahkan persoalan yang mereka hadapi sampai dengan pengadopsian suatu inovasi.

Untuk mencapai hal tersebut ada tiga tahap yang harus dilalui yaitu :
a. Tahap Akuisisi Informasi
Para guru memperoleh dan memahami Informasi tentang suatu inovasi, umpamanya tentang metodologi pengajaran, media pembelajaran yang baru dari berbagai sumber (buku, jurnal, koran, dan lain-lain).
b. Tahap Evaluasi Informasi
Orang mengevalusi informasi tentang inovasi, dengan berbagai pertimbangan apakah sesuai atau tidak dalam memenuhi kebutuhan.
c. Tahap Adopsi 
Yaitu proses keputusan apakah akan melaksanakan atau menolak suatu inovasi.

H. Hambatan Terhadap Inovasi
Dalam implementasinya kita sering mendapati beberapa hambatan yang berkaitan dengan inovasi. Pengalaman menunjukkan bahwa hampir setiap individu atau organisasi memiliki semacam mekanisme penerimaan dan penolakan terhadap perubahan. Segera setelah ada pihak yang berupaya mengadakan sebuah perubahan, penolakan atau hambatan akan sering ditemui. Orang-orang tertentu dari dalam ataupun dari luar sistem akan tidak menyukai, melakukan sesuatu yang berlawanan, melakukan sabotase atau mencoba mencegah upaya untuk mengubah praktek yang berlaku. Penolakan ini mungkin ditunjukkan secara terbuka dan aktif atau secara tersembunyi dan pasif. Alasan mengapa ada orang yang ingin menolak perubahan walaupun kenyataannya praktek yang ada sudah kurang relevan, membosankan, sehingga dibutuhkan sebuah inovasi. Fenomena ini sering disebut sebagai penolakan terhadap perubahan. Banyak upaya telah dilakukan untuk menggambarkan, mengkategorisasikan dan menjelaskan fenomena penolakan ini. 

Ada tiga macam kategori hambatan dalam konteks inovasi. Keempat kategori tersebut adalah:
1. Hambatan Psikologis
Hambatan-hambatan ini ditemukan bila kondisi psikologis individu menjadi faktor penolakan. Hambatan psikologis telah dan masih merupakan kerangka kunci untuk memahami apa yang terjadi bila orang dan sistem melakukan penolakan terhadap upaya perubahan. Kita akan menggambarkan jenis hambatan ini dengan memilih satu faktor sebagai suatu contoh yaitu dimensi kepercayaan/keamanan versus ketidakpercayaan/ketidakamanan karena faktor ini sebagai unsur inovasi yang sangat penting. Faktor-faktor psikologis lainnya yang dapat mengakibatkan penolakan terhadap inovasi adalah: rasa enggan karena merasa sudah cukup dengan keadaan yang ada, tidak mau repot, atau ketidaktahuan tentang masalah.
Kita dapat berasumsi bahwa di dalam suatu sistem sosial, organisasi atau kelompok akan ada orang yang pengalaman masa lalunya tidak positif. Menurut para ahli psikologi perkembangan, ini akan mempengaruhi kemampuan dan keberaniannya untuk menghadapi perubahan dalam pekerjaannya. Jika sebuah inovasi berimplikasi berkurangnya kontrol (misalnya diperkenalkannya model pimpinan tim atau kemandirian masing-masing bagian), maka pemimpin itu biasanya akan memandang perubahan itu sebagai negatif dan mengancam. Perubahan itu dirasakannya sebagai kemerosotan, bukan perbaikan.

2. Hambatan Praktis
Hambatan praktis adalah faktor-faktor penolakan yang lebih bersifat fisik. Untuk memberikan contoh tentang hambatan praktis, faktor-faktor berikut ini:1).Waktu, 2).Sumberdaya, 3).Sistem
Ini adalah faktor-faktor yang sering ditunjukkan untuk mencegah atau memperlambat perubahan dalam organisasi dan sistem sosial. Program pusat-pusat pelatihan guru sangat menekankan aspek-aspek bidang ini. Ini mungkin mengindikasikan adanya perhatian khusus pada keahlian praktis dan metode-metode yang mempunyai kegunaan praktis yang langsung.

Oleh karena itu, inovasi dalam bidang ini dapat menimbulkan penolakan yang terkait dengan praktis. Artinya, semakin praktis sifat suatu bidang, akan semakin mudah orang meminta penjelasan tentang penolakan praktis. Di pihak lain, dapat diasumsikan bahwa hambatan praktis yang sesungguhnya itu telah dialami oleh banyak orang dalam kegiatan mengajar sehari-hari, yang menghambat perkembangan dan pembaruan praktek. Tidak cukupnya sumber daya ekonomi, teknis dan material sering disebutkan.

Dalam hal mengimplementasikan perubahan, faktor waktu sering kurang diperhitungkan. Segala sesuatu memerlukan waktu. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengalokasikan banyak waktu bila kita membuat perencanaan inovasi. Pengalaman menunjukkan bahwa masalah yang tidak diharapkan, yang mungkin tidak dapat diperkirakan pada tahap perencanaan, kemungkinan akan terjadi.

Yang kedua, masalah pada bidang keahlian dan sumber daya ekonomi sebagai contoh tentang hambatan praktis. Dalam perencanaan dan implementasi inovasi, tingkat pengetahuan dan jumlah dana yang tersedia harus dipertimbangkan. Ini berlaku terutama jika sesuatu yang sangat berbeda dari praktek di masa lalu akan dilaksanakan, dengan kata lain jika ada perbedaan yang besar antara yang lama dengan yang baru. Dalam kasus seperti ini, tambahan sumber daya dalam bentuk keahlian dan keuangan dibutuhkan. Pengalaman telah menunjukkan bahwa dana sangat dibutuhkan, khususnya pada awal dan selama masa penyebarluasan gagasan inovasi.. Ini mungkin terkait dengan kenyataan bahwa bantuan dari luar, peralatan baru, realokasi, buku teks dll. diperlukan selama fase awal. Sumber dana yang dialokasikan untuk perubahan sering kali tidak disediakan dari anggaran tahunan. Media informasi dan tindak lanjutnya sering dibutuhkan selama fase penyebarluasan gagasan inovasi.

Dalam kaitan ini penting untuk dikemukakan bahwa dana saja tidak cukup untuk melakukan perbaikan dalam praktek. Sumber daya keahlian seperti pengetahuan dan keterampilan orang-orang yang dilibatkan dalam upaya inovasi ini merupakan faktor yang sama pentingnya. Dengan kata lain, jarang sekali kita dapat memilih antara satu jenis sumber atau jenis sumber lainnya, melainkan kita memerlukan semua jenis sumber itu. Jelaslah bahwa kurangnya sumber tertentu dapat dengan mudah menjadi hambatan.

3. Hambatan Kekuasaan dan Nilai
Bila dijelaskan secara singkat, hambatan nilai melibatkan kenyataan bahwa suatu inovasi mungkin selaras dengan nilai-nilai, norma-norma dan tradisi-tradisi yang dianut orang-orang tertentu, tetapi mungkin bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut sejumlah orang lain. Jika inovasi berlawanan dengan nilai-nilai sebagian peserta, maka bentrokan nilai akan terjadi dan penolakan terhadap inovasi pun muncul.. Apakah kita berbicara tentang penolakan terhadap perubahan atau terhadap nilai-nilai dan pendapat yang berbeda, dalam banyak kasus itu tergantung pada definisi yang kita gunakan. Banyak inovator telah mengalami konflik yang jelas dengan orang lain, tetapi setelah dieksplorasi lebih jauh, ternyata mereka mendapati bahwa ada kesepakatan dan aliansi dapat dibentuk. Pengalaman ini dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa sering kali orang dapat setuju mengenai sumber daya yang dipergunakan. Kadang-kadang hal ini terjadi tanpa memandang nilai-nilai. Dengan demikian kesepakatan atau ketidaksepakatan di permukaan mudah terjadi dalam kaitannya dengan aliansi. Sering kali aliansi itu terbukti sangat penting bagi implementasi inovasi.
Setelah mengetahui betapa pentingnya suatu sekolah untuk menerapkan inovasi bagi berlangsungnya pendidikan yang bermutu demi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan maka menyarankan kepada semua pihak, terutama sekolah  untuk menerapkan inovasi-inovasi baru dalam proses pendidikan dengan cara mengkomunikasikan suatu inovasi pendidikan dan mengadopsi, kemudian mencoba menerapkan inovasi tersebut untuk kemajuan sekolah.




Lencana Facebook