Home » , , , , , , » Tinjauan Sosiologis: POTRET KEBERAGAMAAN MASYARAKAT MUSLIM INDONESIA

Tinjauan Sosiologis: POTRET KEBERAGAMAAN MASYARAKAT MUSLIM INDONESIA

A. Pendahuluan

Sejak permulaan sejarah umat manusia, agama sudah terdapat pada semua lapisan masyarakat, dan seluruh tingkat kebudayaan. Dewasa ini, kehadiran agama semakin dituntut untuk terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya dijadikan sekedar lambang kesalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam khutbah dan ceramah, melainkan secara konsepsional, menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan berbagai persoalan kehidupan.

Tuntutan terhadap agama seperti itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis normatif, juga dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan-pendekatan lain yang secara operasional konseptual dapat memberikan jawaban terhadap masalah-masalah yang timbul [1]

Berbagai pendekatan tersebut meliputi pendekatan teolegis normatif, antropologis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan dan pendekatan filosofis. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata, mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian ilmu sosial, penelitian legalistik atau penelitian filosofis.[2]

Berkaitan dengan itu, Muhammad Aiz, dalam Pengantar Islamic Studies (Kajian Islam) menyatakan bahwa Studi Islam adalah kajian tentang agama Islam dan aspek-aspek dari kebudayaan dan masyarakat muslim. Berbeda dengan kajian yang biasa dilakukan dalam perspektif pemeluk Islam pada umumnya, Islamic Studies menurutnya tidak bersifat normatif. Dalam hal ini, Islam dipandang sebagai ajaran suatu agama yang sudah membentuk komunitas dan budaya, dilepaskan dari keimanan dan kepercayaan.[3]

Dengan demikian, Islamic Studies menjadi kajian kritis dan menggunakan analisis yang bebas sebagaimana berlaku dalam tradisi ilmiah tanpa beban teologis atas ajaran dan fenomena keberagamaan yang dikajinya. Atau dengan sederhana dapat dikatakan bahwaIslamic Studies  sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam. Dengan kata lain disebut dengan usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui, memahami dan membahas secara mendalam tentang seluk beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah, maupun praktek-praktek pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Sosiologi merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami agama. Karena banyak kajian agama yang baru ataupun fenomena keberagamaan di masyarakat dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan bantuan dari ilmu sosiologi.

Melalui makalah ini, penulis mencoba untuk memotret tentang keberagamaan masyarakat Muslim di Indonesia. Penulis mencoba untuk mendeskripsikan keberagamaan masyarakat Muslim di Indonesia itu melalui pendekatan sosiologis. Oleh karena itu, sebelum penulis lebih jauh memaparkan tentang keberagamaan masyarakat Muslim di Indonesia, terlebih dahulu akan dibahas kerangka teori dari pendekatan sosiologis yang menjadi perspektif dalam kajian ini.

B. Sosiologi Sebagai Pendekatan Kajian

1. Pengertian Sosiologi
Secara etimologi, kata sosiologi berasal dari bahasa latin yang terdiri  dari kata “socius” yang berarti teman, dan “logos” yang berarti berkata atau berbicara tentang manusia yang berteman atau bermasyarakat.[4]

Secara terminologis, beberapa ahli mendefinisikan sebagai berikut:
1. August Comte mendefinisikan bahwa sosiologi adalah kajian sistematis mengenai komunitas kehidupan manusia.[5]

2. Pitirim Sorokin menjelaskan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial, antara gejala sosial dan non-sosial, serta ciri-ciri umum semua jenis gejala sosial.[6]

3. Selom Soemardjan dan Soelaeman Soemandi menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.[7]

4. Hassan Shadily mendefinisikan sosiologi adalah : Ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan anatara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta  kepercayaannya, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.[8]

5. Soerjono Soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian, Sosiologi tidak menetapkan ke arah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberi petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut. Di dalam ilmu ini juga dibahas tentang proses-proses sosial mengingat bahwa pengetahuan, struktur masyarakt saja belum cukup untuk memperoleh gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama dari manusia.[9]

6. Sementara Syamsuddin Abdullah mendefinisikan Sosiologi secara luas ialah Ilmu tentang masyarakat dan gejala-gejala mengenai masyarakat.[10]

Dari beberapa pengertian tersebut, sosiologi dapat didefinisikan secara singkat sebagai kajian ilmiah mengenai hubungan antara manusia dalam sebuah komunitas atau masyarakat. Kata “hubungan” merupakan kata kunci dalam mengkaji sosiologi. Sosiologi berhubungan dengan aktivitas manusia dalam berinteraksi dengan manusia lainnya, tetapi hanya fokus pada pengaruh dan akibat dari hubungan interaksi antar manusia.[11]Berbeda dengan psikologi yang memusatkan perhatiannya pada karakteristik pikiran dan tindakan orang perorangan, sosiologi hanya tertarik kepada pikiran dan tindakan yang dimunculkan seseorang sebagai anggota suatu kelompok atau masyarakat.[12]

Dari beberapa definisi di atas jelas disebutkan bahwa objek kajian sosiologi adalah hubungan masyarakat dan proses yang terjadi dari hubungan tersebut. Namun perlu diingat bahwa sosiologi adalah disiplin ilmu yang luas dan mencakup banyak hal. Karena itu, ada banyak cabang ilmu sosiologi yang mempelajari sesuatu yang berbeda dengan tujuan yang berbeda-beda pula.[13]

2. Cabang-cabang Ilmu Sosiologi

Joseph Roucek dan Rolan Werren,[14] menyebutkan beberapa sub-disiplin dalam sosiologi, yaitu: krimonologi, sosiologi sejarah, geografi manusia, sosiologi industri, sosiologi politik, sosiologi pedesaan, sosiologi kota, dan sosiologi agama. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan secara singkat satu persatu sebagai berikut :

1. Kriminologi adalah suatu kajian mengenai perkembangan aktivitas kejahatan dalam hubungannya dengan fungsi struktur institusi, dan metode mengendalikan penjahat dalam penangkapan, interogasi dan perawatan yang berikutnya.

2. Sosiologi sejarah adalah suatu cabang sosiologi yang menggunakan data sejarah sebagai dasar untuk membuat generalisasi ilmiah. Ia mementingkan pola atau bentuk hidup kejadian-kejadian yang telah terjadi dalam sejarah, bukannya menentukan tertib tarikh peristiwa sejarah yang seragam seperti yang dapat disimpulkan dari peristiwa sejarah yang lalu.

3. Geografi manusia (kadang-kadang dinamakan antropo-geografi) ialah suatu ilmu mengenai hubungan timbal balik manusia dengan alam lingkungan. Ia mempunyai dua prinsip pendekatan:

Pertama, pengaruh alam lingkungan seperti iklim, kedudukan tanah dan air yang terdapat dalam kehidupan sosial manusia, suatu pengaruh yang biasanya dianggap sebagai bukan penentu, tetapi sebagai suatu pembatasan terhadap batas-batas yang luas.

Kedua, pengaruh manusia terhadap alam lingkungannya. Ini termasuk dalam arti kata yang luas, semua perubahan yang dilakukan oleh manusia terhadap alam kebendaan, tetapi aktivitasnya lebih khusus seperti mengalirkan rawa-rawa atau mempertahankan terusan.

1. Sosiologi Industri berhubungan dengan cara mendapatkan pengetahuan mengenai proses sosial yang terlibat dalam aktivitas industri, dan dengan organisasi industri sebagai sistem sosial. Ilmu ini mengkaji aspek institusi mengenai aktivitas industri, dan hubungan proses sosial dalam aktivitas industri kepada proses lain dalam masyarakat.

2. Sosiologi Politik adalah suatu cabang sosiologi yang menganalisa proses politik dalam rangka bidang sosiologi, mengorientasikan pengamatannya khusus kepada dinamika tingkah laku politik, karena kajian ini dipengaruhi beberapa proses sosial, seperti kerjasama, persaingan, konflik, mobilitas sosial, pembentukan pendapat umum, peralihan kekuasaan beberapa kelompok, dan semua proses yang terlibat mempengaruhi tingkah laku politik.

3. Sosiologi Pedesaan ialah kajian mengenai penduduk desa dalam hubungan dengan kelompoknya. Ilmu ini menggunakan metode dan prinsip sosiologi umum dan menggunakannya dalam kajian mengenai penduduk desa, sekitar ciri-ciri penduduk desa, organisasi sosial desa, dan berbagai lembaga dan asosiasi yang berfungsi di dalam kehidupan sosial desa, proses sosial yang penting yang terdapat dalam kehidupan di desa, pengaruh perubahan sosial atas organisasi sosial desa, dan beberapa masalah yang dihadapi oleh masyarakat desa.

4. Sosiologi Kota adalah kajian mengenai orang-orang kota dalam hubungan mereka antara satu kelompok dengan kelompok lain. Bidang ini mengkaji ciri orang kota, organisasi sosial dan aktivitas institusi mereka, proses interaksi asas yang berlaku dalam kehidupankota, pengaruh perubahan sosial dan beberapa masalah yang mereka hadapi.

5. Sosiologi Agama adalah melibatkan analisa sistimatik mengenai fenomena agama dengan menggunakan konsep dan metode sosiologi. Institusi agama dikaji sedemikian rupa, dan struktur serta prosesnya dianalisa, dan begitu juga hubungannya dengan institusi yang lain, perkembangan, penyebaran dan jatuhnya agama dikaji untuk tujuan prinsip umum yang dapat diperoleh darinya. Metode pengendalian sosial melalui aktivitas agama dititikberatkan, seperti halnya aspek psikologi sosial mengenai tingkah laku kolektif dalam hubungannya dengan fungsi agama. Ajaran agama dianalisa dalam hubungan dengan struktur sosial.

Di samping cabang-cabang sosiologi tersebut di atas, juga ada cabang sosiologi pendidikandan sosiologi pengetahuan. Ahli sosiologi mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu kajian sosial, karena perkembangan anak perlu ditumbuhkan dari segi hubungannya dengan masyarakat dan kebudayaannya, individu tidak dapat berkembang jika diasingkan dari kelompok sosialnya, dan kelompok sosial yang akhirnya membentuk kepribadian tersebut melalui interaksi sosial.

Sosiologi pengetahuan, adalah suatu kajian mengenai hubungan antara struktur pemikiran dan latar belakang sosiologi di mana ia hidup dan berfungsi, karena manusia ingin mengetahui diri dan lingkungannya.[15]

Dari berbagai cabang ilmu sosiologi tersebut, sesuai dengan tema yang diangkat penulis dalam makalah ini yaitu Pendekatan Sosiologis Dalam Mengkaji Masyarakat Muslim, yang menjadi objek kajiannya adalah masyarakat muslim, yang berarti penganut agama tertentu, maka menurut hemat penulis cabang ilmu sosiologi yang tepat untuk mendekatinya adalah sosiologi agama.

C. Sosiologi Agama
1. Pengertian Sosiologi Agama

Berdasarkan uraian di atas, maka sosiologi agama merupakan salah satu cabang dari ilmu sosiologi. Karena itu, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Sebab banyak sekali kajian agama yang baru maupun fenomena keberagamaan, khususnya pada masyarakat Muslim dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan ilmu sosiologi.

Abuddin Nata menjelaskan bahwa dalam agama Islam dapat dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnya bisa jadi penguasa Mesir. Mengapa dalam tugasnya Nabi Musa harus dibantu oleh Nabi Harun, dan masih banyak lagi contoh yang lain. Beberapa peristiwa tersebut baru dapat dijawab sekaligus dapat ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial. Tanpa ilmu sosial peristiwa-peristiwa tersebut sulit dijelaskan dan sulit pula dipahami maksudnya[16]

Melalui pendekatan sosiologis, agama dapat dipahami dengan mudah karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya, kita jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan kesengsaraan. Semua itu jelas baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan.[17]

Menurut pandangan sosiolog, agama yang terwujud dalam kehidupan masyarakat adalah fakta sosial. Sebagai suatu fakta sosial, agama dipelajari oleh sosiolog dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Disiplin ilmu yang dipergunakan oleh sosiolog dalam mempelajari masyarakat beragama itu disebut sosiologi agama.[18]

Sosiologi agama adalah cabang ilmu yang otonom, muncul sekitar akhir abad ke-19. Pada prinsipnya, ilmu ini sama dengan sosiologi umum, yang membedakannya adalah objek materinya. Sosiologi umum membicarakan semua fenomena yang ada dalam masyarakat secara umum, sedangkan sosiologi agama membicarakan salah satu aspek dari berbagai fenomena sosial, yaitu agama dalam perwujudan sosial.[19]

Hendropuspito, seorang ahli sosiologi agama di Indonesia, mengatakan bahwa sosiologi agama adalah suatu cabang dari sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah yang pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat pada umumnya.[20]

Dari definisi sosiologi agama di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi agama sama dengan sosiologi pada umumnya. Perbedaannya hanya pada materinya yang mempelajari masyarakat beragama dengan pendekatan ilmu sosial, bukan teologis. Sosiologi agama memusatkan perhatiannya terutama untuk memahami makna yang diberikan  oleh suatu masyarakat kepada sistem agamanya sendiri, dan berbagai hubungan antar agama dengan struktur sosial lainnya, juga dengan berbagai aspek budaya yang bukan agama, seperti magis, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Para sosiolog agama memandang agama sebagai suatu pengertian yang luas dan universal, dari sudut pandang sosial dan bukan dari sudut pandang individual. Hal ini berarti sosiologi agama tidak melulu membicarakan suatu agama yang diteliti oleh para penganut agama tertentu, tetapi meliputi semua agama dan di semua daerah di dunia tanpa memihak dan memilah-milah. Pengkajiannya bukan diarahkan bagaimana cara seseorang beragama, melainkan diarahkan pada kehidupan agama secara kolektif, terutama dipusatkan pada fungsi agama dalam mengembangkan atau menghambat kelangsungan hidup dan pemeliharaan kelompok-kelompok masyarakat. Perhatiannya juga ditujukan pada agama sebagai salah satu aspek dari tingkah laku kelompok dan kepada peranan yang dimainkannya.[21]

2. Objek Sosiologi Agama
Sasaran langsung atau obyek material sosiologi agama ialah masyarakat agama. Masyarakat agama adalah suatu persekutuan hidup baik dalam lingkungan sempit atau luas yang unsur konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaaan.[22]Masyarakat agama terdiri dari komponen-komponen konstitutif. Misalnya, kelompok keagamaan atau institusi-institusi religius yang mempunyai ciri tertentu menurut peraturan dan norma-norma yang ditentukan oleh agama. Masyarakat agama yang seperti itu akan terus disoroti struktur dan fungsinya, pengaruhnya terhadap masyarakat umum dan atas stratifikasi sosial khususnya. Hal itu disebabakan oleh adanya kesadaran kelompok religius yang mempunyai sifat tersendiri, untuk mengkaji perubahan-perubahan yang disebabkan oleh agama, baik yang positif maupun yang negatif. Seperti kerukunan antar golongan agama dan konflik-konflik yang sering terjadi.

Menurut Keith A. Roberts, sasaran (objek) kajian sosiologi agama adalah memfokuskan kajian pada: 1) Kelompok-kelompok dan lembaga keagamaan, yang meliputi pembentukannya, kegiatan demi kelangsungan hidupnya, pemeliharaannya dan pembaharuannya. 2) Perilaku individu dalam kelompok-kelompok tersebut atau proses sosial yang mempengaruhi status keagamaan dan perilaku ritual. 3) Konflik antar kelompok, misalnya Katolik dengan Protestan, Kristen dengan Islam dan sebagainya. Bagi sosiolog, kepercayaan hanyalah salah satu bagian kecil dari aspek agama yang menjadi perhatiannya.[23]

Bila dikatakan bahwa yang menjadi objek sosiologi agama adalah masyarakat agama, sesungguhnya yang dimaksud bukanlah agama sebagai sutu system (dogma dan moral), tetapi agama sebagai fenomena sosial, sebagai fakta sosial yang dapat dilaksanakan dan dialami oleh banyak orang. Ilmu ini hanya mengamati fakta-fakta empiris yang ada dalam masyarakat agama, dan itulah sasaran langsung dari sosiologi agama.

Dari uraian tersebut dapat kita pahami bahawa objek sosiologi agama ialah masyarakat agama, yakni suatu persekutuan hidup baik dalam lingkungan sempit atau luas yang unsur konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan. Karena itu, bisa meliputi masyarakat agama apa saja, apakah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Yahudi, dll. Bisa dalam lingkup wilayah yang luas, misalnya dunia atau negara, sampai kepada kelompok masyarakat yang kecil. Sudut pendekatan yang ingin dicari oleh fenomena agama ialah dimensi sosiologisnya. Sebarapa jauh agama dan nilai-nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi masyarakat.

3.  Wilayah Kajian Sosiologi Agama
Wilayah kajian Sosiologi Agama adalah wilayah atau lingkup wawasan agama yang bisa diteliti dengan metode ilmiah, yang meliputi berbagai persoalan dan berbagai segi dalam kehidupan umat beragama. Dadang Kahmad, mengemukakan beberapa aspek keberagamaan yang menjadi rentang wilayah kajian Sosiologi Agama, yaitu meliputi:[24]

1. Perwujudan agama di kepulauan Indonesia.
2. Penelitian mengenai berbagai kepercayaan.
3. Penelitian mengenai pranata keagamaan.
4. Penelitian mengenai organisasi-organisasi yang berhubungan dengan suatu agama.
5. Penelitian mengenai berbagai peranan dalam keagamaan.
6. Penelitian mengenai agama dan pelapisan sosial.
7. Penelitian mengenai agama dan masyarakat daerah.
8. Penelitian mengenai agama dan golongan sosial.
9. Penelitian mengenai gerakan keagamaan.
10. Penelitian mengenai perasaan dan pengalaman keagamaan.
11. Penelitian mengenai agama sebagai motivasi untuk bertindak.
12. Penelitian mengenai peranan agama dalam perubahan sosial.
13. Penelitian mengenai agama sebagai faktor integrasi masyarakat.
14. Penelitian mengenai agama sebagai faktor pemisah dan pertentangan di
masyarakat.
15. Penelitian mengenai masalah hubungan antar pemeluk agama atau antar kelompok

D.  Pendekatan Sosiologis Dalam Tradisi Intelektual Muslim
Dunia mendaulatnya sebagai Bapak Sosiologi Islam. Karena dialah peletak dasar sosiologi Islam. Dialah Ibnu Khaldun (732 – 808 H), Salah seorang pemikir hebat dan serba bisa sepanjang masa, yang buah pikirnya amat berpengaruh. Sederet pemikir Barat terkemuka, seperti Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Robert Flint, Arnold J Toynbee, Ernest Gellner, Franz Rosenthal, dan Arthur Laffer mengagumi pemikirannya.[25]

Ibnu Khaldun telah menghimpun sosiologinya dalam karya monumentalnya Muqaddimah. Cakrawala pikiran-pikiran Ibnu Khaldun sangat luas. Dia dapat memahami masyarakat dengan segala totalitasnya, dan dia menunjukkan segala fenomena untuk bahan studinya. Dia juga mencoba untuk memahami gejala-gejala itu dan menjelaskan hubungan kausalitas. Dibawah sorotan sinar sejarah, kemudian ia mensistematiskan proses peristiwa-peristiwa dan kaitannya dalam suatu kaidah sosial yang umum.

Menurut Sati Al-Hasri, penelitian Ibnu Khaldun bukanlah kajian sederhana bagi ilmu kemasyarakatan, tetapi suatu percobaan yang berhasil dalam memperbaharui ilmu sosial sekaligus menajdikan ilmu sosial yang berdiri sendiri, sehingga menurut menurutnya  Ibnu Khaldun berhak dengan gelar pendiri ilmu sosial lebih dari Comte, oleh karena Ibnu Khaldun telah berbuat yang demikian jauh sebelum Comte, yaitu lebih dari 460 tahun.[26]
Beliau telah melakukan riset-riset tentang masyarakat, yang pada zamannya riset ini masih dianggap suatu kajian yang unik dan lain dari yang lain. Kajian ini pada awalnya hanya dianggap sebagai penelitian sejarah sosial, namun setelah dikaji ulang oleh para ilmuan-ilmuan sosial ternyata beberapa dari mereka berkesimpulan bahwa Ibnu Khaldunlah sebagai orang yang pertama kali meletakkan dasar-dasar sosiologi.

Beberapa ahli seperti Ritzer menyatakan bahwa ada kecenderungan untuk menganggap sosiologi sebagai fenomena yang relatif modern, semata-mata sebagai fenomena Barat. Sebenarnya para sarjana telah sejak lama melakukan studi sosiologi dan ada yang berasal dari daerah lain, contohnya adalah Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun sebenarnya telah menghasilkan sekumpulan karya yang mengandung berbagai pemikiran yang mirip dengan sosiologi dengan zaman sekarang. Ia melakukan studi ilmiah tentang masyarakat, riset empiris dan meneliti sebab-sebab fenomena sosial. Ia memusatkan perhatian pada berbagai lembaga sosial (misalnya lembaga politik dan ekonomi) dan hubungan antara lembaga sosial.[27]

Model penelitian Ibnu Khaldun didasarkan pada tipe-tipe sosial dan perubahan sosial pada suku-suku padang pasir nomaden yang keras dan masyarakat-masyarakat bertipe hidup menetap.[28] Ia kemudian merumuskan penelitiannya ini dalam sebuah hubungan yang kontras, lalu mengembangkan prinsip-prinsip umum yang mengatur dinamika masyarakat dan proses perubahan masyarakat secara keseluruhan. Salah satu produk pemikirannya mengenai manusia ialah bahwa manusia sesuai dengan fitrah dan kejiadiannya, di dalamnya kehidupannya membutuhkan orang lain untuk dapat hidup, baik dalam memperoleh makanan sehari-hari maupun untuk mempertahankan diri. Tetapi dilain hal manusia memiliki sifat-sifat kehewanan (serakah dan ingin menang sendiri), sehingga diperlukan seorang wazir yang mempunyai kewibawaan dan kekuasaan.[29] Dengan ini maka tanpa adanya bantuan orang lain atau masyarakat, manusia tidak akan bisa mempertahankan eksistensi kehidupannya.

Dalam penelitiannya walaupun Ibnu Khaldun begitu objektif dalam melihat perkembangan peradaban, sikap hidupnya sebagai seorang muslim tidak mempengaruhinya dalam mengambil kesimpulan yang bersifat umum apakah ini mengenai peradaban dan masyarakat muslim, ataukah peradaban yang bukan muslim. Hal ini membuat penelitian Ibnu Khaldun banyak diakui sosiolog di Barat dan Timur sebagai penelitian sosiologi yang bersifat modern, walaupun saat itu istilah sosiologi belum muncul dan berkembang sebagai disiplin Ilmu.

Dalam kitab Mukaddimah, terdapat teori-teori yang dapat memperluas bidang-bidang ilmu sosial, khususnya membagi sosiologi menjadi beberapa sub bagian disiplin ilmu sosial yang terbagi kedalam  enam topik, yaitu:[30]

1. Tentang masyarakat manusia secara keseluruhan dan jenis-jenisnya dan perimbangannya dengan bumi:  sosiologi umum.
2. Tentang masyarakat pengembara dengan menyebut kabilah-kabilah dan etnis yang biadab: sosiologi pedesaan.
3. Tentang negara, khilafah dan pergantian sultan-sultan: sosiologi politik.
4. Tentang masyarakat menetap, negeri-negeri dan kota: sosiologi kota.
5. Tentang pertukangan, kehidupan, penghasilan dan aspek-aspeknya: sosiologi industry.
6. Tentang ilmu pengetahuan, cara memperolehnya dan mengajarkannya: sosiologi pendidikan.

Suatu hal yang menarik dalam kajian sosial Ibnu Khaldun adalah walaupun ia sangat objektif dalam membuat kesimpulan-kesimpulannya secara umum, namun dengan latar belakangnya sebagai seorang muslim, mempengaruhi sikapnya dalam melihat manusia, masyarakat, dan Tuhan. Pemahamannya mengenai fiqih dan tafsir membuat kesimpulannya tetap berada dalam batas-batas moral keislamannya. Ini berbeda dengan Sosiolog-sosiolog yang muncul belakangan di Eropa dan Amerika, yang terkadang melepaskan nilai-nilai sosial dengan  agama yang dianutnya, hal ini ditandai dengan lahirnya kapitalisme, liberalisme, sosialisme, komunisme dan seterusnya.

Selanjutnya, beliaulah penggagas ilmu peradaban, atau falsafah sosial. Pokok bahasannya ialah kesejahteraan masyarakat manusia dan kesejahteraan sosial. Ibnu Khaldun memandang ilmu peradaban perdefinisi, ilmu baru yang luar biasa dan banyak faedahnya.
Dia jugalah yang pertama yang mengaitkan antara evolusi masyarakat manusia dari satu sisi dan sebab yang berkaitan pada sisi lain. Dia mengetahui dengan baik masalah-masalah penelitian dan laporannya. Laporan penelitian menurutnya hendaknya diperkuat oleh dalil-dalil yang meyakinkan, ia telah mengkaji perilaku manusia dan pengaruh iklim dan berbagai aspek pencarian nafkah beserta penejelasan pengaruhnya pada konstitusi tubuh manusia dan intelektual manusia dan masyarakat.

Dalam perkembangan Islam yang berkaitan dengan ilmu-ilmu kemasyarakatan, maka kita akan dapat melihat berbagai macam karya monumental yang masih tetap berpengaruh hingga saat ini. Karya-karya tersebut bertujuan untuk menjelaskan Islam dengan pemahaman yang lebih mendalam, lebih humanis dan lebih universal. Sumbangan karya tersebut antara lain seperti karya para perawi hadist seperti Bukhari dan Muslim. Metode seleksi mereka terhadap reputasi sosial mata rantai hadist dipandang sebagai kajian yang dilakukan dengan pendekatan sosiologis.

Kajian monumental lainnya muncul dalam bidang fikih. Abu Hanifah di Baghdad adalah orang yang sangat terkenal dengan istinbat hukum yang bervariasi karena pengaruh kondisi sosial, masyarakat yang homogen dan faktor lainnya. Selain beliau ada Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.

Tentang Abu Hanifah, dalam pendapat hukumnya, ia banyak dipengaruhi oleh perkembangan sosial yang terjadi di kota Kufah. Kufah terletak jauh dari Madinah  yang banyak merekam aktivitas Nabi dan kaum muslimin di masa awal. Dua faktor, yakni sedikitnya hadist yang beredar di Kufah dan juga perkembangan sosial masyaraktnya yang lebih dinamis karena keheterogenan penduduknya, mempengaruhi cara pengambilan hukum antara Imam Malik di Madinah dengan Abu Hanifah di Kufah.

E. Urgensi Pendekatan Sosiologi dalam Kajian Islam
Sosiologi sebagai disiplin ilmu memang lahir di Eropa (Barat), namun dalam pendekatannya, sosiologi barat yang lebih dikenal dengan sosiologi kontemporer, belum dapat menampilkan gejala-gejala masyarakat secara universal, sosiologi kontemporer yang lahir dan dikembangkan ternyata memiliki kelemahan-kelemahan dalam teori-teorinya sehingga seringkali kaidah-kaidah yang dikemukakan di Barat ternyata tidak relevan dan tidak dapat diaplikasikan pada wilayah Timur. Misalnya, teori-teori tentang kejahatan yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman dan penelitian-penelitian di pusat kota New York dan Chicago, namun tidak menjelaskan masalah kejahatan dan penyimpangan-penyimpangan yang ada di Uni Soviet, Pakistan, Mesir, Indonesia dan masyarakat-masyarakat serupa lainnya. Begitu juga teori tentang ekonomi, politik tentu sangat tidak sesuai yang ada di Barat dengan di negara-negara Islam, dikarenakan perbedaan ideologi dan kebudayaan, begitu juga dengan stratifikasi sosial, perkawinan dan keluarga..[31]

Dalam hal ini, Sayyid Qutub berpendapat, bahwa sistem sosial yang dikembangkan di Barat sangat berbeda dan tidak sesuai dengan sistem sosial yang dibangun oleh Islam. Islam memiliki sisitem sosial sendiri yang bersumber dari al-Qur’an, dan akan selalu bersifat dinamis bagi seluruh manusia karena langsung berasal dari Allah, bukan dari sistem sosial yang dibangun oleh evolusi perjalanan sejarah manusia.[32]

Pendekatan sosiologi dalam kajian Islam, kegunaannya sebagai metodologi untuk memahami corak dan stratifikasi dalam suatu kelompok masyarakat, yaitu dalam dunia ilmu pengetahuan, makna dari istilah pendekatan sama dengan metodologi, yaitu sudut pandang atau cara melihat atau memperlakukan sesuatu yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji.[33] Selain itu, makna metodologi juga mencakup berbagai teknik yang digunakan untuk memperlakukan penelitian atau pengumpulan data sesuai dengan cara melihat dan memperlakukan sesuatu permasalahan atau teknik-teknik penelitian yang sesuai dengan pendekatan tersebut.

Kegunaan yang berkelanjutan adalah untuk dapat mengarahkan dan menambah keyakinan-keyakinan ke-Islaman yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tersebut sesuai dengan ajaran agama Islam, tanpa menimbulkan gejolak dan tantangan antara sesama kelompok masyarakat. Seterusnya melalui pendekatan sosiologi ini dalam studi Islam, diharapkan pemeluk agama Islam dapat lebih toleran terhadap berbagai aspek perbedaan budaya lokal dengan ajaran agama Islam itu sendiri.

Melalui pendekatan sosiologi sebagaimana tersebut diatas terlihat dengan jelas hubungan agama Islam dengan berbagai masalah sosial dalam kehidupan kelompok masyarakat. Dengan itu pula agama Islam terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan sosial  masyarakat.

Pendekatan sosiologis dalam studi Islam pada dasarnya sangat berguna bagi pengembangan ajaran agama Islam berkaitan dengan persoalan kemasyarakatan. Terbukti dalam al-Quran begitu banyak ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah  sosial dan muamalah.[34] Dalam pada itu konsep masyarakat dalam Islam juga menganut beberapa persamaan dan asas keseimbangan dalam masyarakat, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, keseimbangan antara individu dan masyarakat, keseimbangan antara hak individu dan kewajiban individu dan keseimbangan antara hak masyarakat dan kewajiban masyarakat.[35]

Pendekatan sosiologi seperti itu diperlukan adanya, sebab banyak hal yang dibicarakan agama  hanya bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan sosiologi. Misalnya, masalah poligami dan toleransi beragama bisa dijelaskan dengan pendekatan sosiologi.  Dengan demikian pendekatan sosiologi sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan dengan bantuan ilmu sosiologi dan cabang-cabangnya.

Dari sisi lain terdapat pula signifikasi pendekatan Islam dalam sosiologi, salah satunya adalah dapat memahami fenomena sosial yang berkenaan dengan ibadah dan muamalat. Pentingnya pendekatan sosiologis  dalam memahami agama dapat dipahami karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini, selanjutnya mendorong agamawan memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat  memahami agamanya. Dalam bukunya yang berjudul IslamAlternatif, Jalaluddin Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini adalah Islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut: [36]

Pertama, dalam al-Qur’an atau kitab hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Sedangkan menurut Ayatullah Khoemeini dalam bukunya al-Hukumah al-Islamiyah  yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus. Artinya untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah sosial).

Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah atau sosial dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (bukan ditinggalkan) melainkan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.

Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari ibadah yang bersifat perseorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada shalat yang dikerjakan sendirian dengan ukuran satu berbanding dua puluh tujuh derajat.

Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan misalnya, maka jalan keluarnya ; dengan membayar fidyah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin.

Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah.[37] Demikian sebaliknya sosiologi memiliki kontribusi dalam bidang kemasyarakatan terutama bagi orang yang berbuat amal baik akan mendapatkan status sosial yang lebih tinggi ditengah-tengah masyarakat, secara langsung hal ini berhubungan dengan sosiologi.

Berdasarkan pemahaman kelima alasan diatas, maka melalui pendekatan sosiologis, agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya, dijumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa, dan sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu akan dapat dijelaskan dengan baik apabila yang  memahaminya mengetahui sejarah sosial pada ajaran agama itu diturunkan.[38]

F. Pendekatan Sosiologi dalam Mengkaji Masyarakat Muslim
Sebelum penulis mencoba mengulas tentang pendekatan sosiologis dalam kajian terhadap masyarakat Muslim, terlebih dahulu dijelaskan mengenai pengertian masyarakat, dan ciri-ciri masyarakat. Hal ini untuk mempermudah dalam memahami masyarakat Muslim.
Apakah yang disebut masyarakat? Dalam buku-buku sosiologi, umumnya diberikan definisi-definisi masyarakat yang rumusannya tidak selalu sama. Hal itu terjadi karena para ahli sosiologi tidak selalu mengambil sudut pandang yang sama terhadap masyarakat. Ada yang memandangnya dari sudut kebudayaan, organisasi serta kerjasama dalam masyarakat, juga dari kelompok-kelompoknya.

Menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, masyarakat adalah sejumlah orang yang hidup bersama di suatu tempat, yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.[39]

Hassan Shadily, mendefinisikan masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lain.[40]

Hendropuspito, mengartikan masyarakat ialah kesatuan yang tetap dari orang-orang yang hidup di daerah tertentu dan bekerjasama dalam kelompok-kelompok, berdasarkan kebudayaan yang sama untuk mencapai kepentingan yang sama.[41]

Dari beberapa definisi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa masyarakat adalah sejumlah orang yang hidup bersama di suatu tempat/daerah, saling mempengaruhi dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok, memiliki kebudayaan yang relatif sama, untuk mencapai kepentingan bersama.

Tentu tidak semua kelompok orang dapat disebut sebagai masyarakat. Menurut Hendropuspito, ada beberapa ciri dari masyarakat, yaitu:[42]

1. Memiliki wilayah dan batas yang jelas.
Suatu masyarakat umumnya mempunyai wilayah yang sama dengan batas-batas geografis yang jelas. Batas-batas itu menjadi petunjuk untuk mengetahui jenis suku bangsa yang menghuni wilayah tertentu, seperti masyarakat Bali untuk penduduk di pulau Bali, masyarakat Madura untuk penghuni di pulau Madura.

2. Merupakan satu kesatuan penduduk.
Maksudnya, semua orang yang ada dalam masyarakat merupakan satu kesatuan penduduk, yang juga disebut kesatuan demografik.

3. Terdiri atas kelompok-kelompok fungsional yang heterogen.
Maksudnya, suatu masyarakat terdiri atas kelompok-kelompok fungsional yang heterogen dan saling kerjasama guna mencapai kepentingan bersama. Setiap kelompok sosial dibentuk dan diberi tugas tertentu.

4. Mengemban fungsi umum.
Maksudnya suatu masyarakat merupakan kesatuan organisasi yang mengemban fungsi yang paling umum atau tugas yang tertinggi dalam lingkungannya sendiri, yaitu mengusahakan kepentingan bersama.

5. Memiliki kebudayaan yang sama.
Misalnya, kesatuan dalam hal bahasa dan adat istiadat.

Dari definisi dan ciri-ciri masyarakat yang telah diuraikan di atas, jika dikaitkan dengan masyarakat Muslim, dapat dikatakan bahwa masyarakat Muslim adalah sejumlah orang yang hidup bersama di suatu tempat/daerah, saling mempengaruhi dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok, memiliki kebudayaan yang relatif sama untuk mencapai kepentingan bersama, dimana mereka menyatakan diri sebagai pemeluk agama Islam.

Jika kita mengambil objeknya adalah masyarakat Muslim, tentu sangat luas sekali dimensinya. Bisa meliputi masyarakat Muslim di mana saja, baik dalam lingkup wilayah yang luas maupun sempit, yaitu masyarakat Muslim yang ada di seluruh dunia. Dari dimensi waktu, bisa meliputi masyarakat muslim sekarang maupun masyarakat Muslim pada masa lalu.

Oleh karena itu, kajian terhadap masyarakat Muslim bisa dilakukan terhadap masyarakat Muslim di mana saja. Bisa pada kawasan-kawasan tertentu, misalnya Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara, dll. Atau dalam lingkup negara, misalnya negara-negara yang penduduk muslimnya mayoritas, seperti Arab Saudi, Indonesia, Malaysia, dll, maupun negara-negara yang muslimnya minoritas, seperti di China, Amerika Serikat, Jepang, dll. Ataupun dalam lingkup yang lebih kecil, pada masyarakat Muslim di daerah-daerah atau suku-suku tertentu saja.

Untuk memahami lebih jauh karakteristik masyarakat Muslim yang ada di tempat-tempat tertentu, baik dalam lingkup yang luas maupun sempit, maka pendekatan sosiologis menjadi salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mengkaji terutama dalam hal fenomena keberagamaan maupun bentuk-bentuk interaksi sosial lainnya dalam masyarakat tersebut. Berikut penulis akan mencoba untuk memotret keberagamaan masyarakat Muslim di Indonesia.

G. Potret Keberagamaan Masyarakat Muslim Indonsia: Tinjauan Sosiologis

Sesungguhnya, Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah dan diyakini sebagai kebenaran tunggal dapat ditafsirkan penganutnya secara berbeda dan berubah-ubah. Hal ini akibat perbedaan kehidupan sosial penganut yang juga terus berubah. Dari perbedaan penafsiran itu lahirlah kemudian pemikiran fiqh dan teologi yang berbeda.

Jika diuraikan berdasarkan kerangka ideologis, terdapat paling tidak empat kategorisasi umat Islam; tradisionalis-konservatif, reformis-modernis, radikal-puritan, dan nasionalis-sekuler.[43] Gagasan tentang pemikiran ideologis ini lahir tentu tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosial, kepentingan, serta kondisi sosial dan budaya bangsa yang sedang berkembang.

Hal ini menandakan bahwa meskipun Islam itu satu dari sudut ajaran pokoknya, akan tetapi setelah terlempar dalam konteks sosial-politik tertentu pada tingkat perkembangan sejarah tertentu pula agama bisa memperlihatkan struktur interen yang berbeda-beda. Maka, jika dilihat dari masalah yang diperdebatkan di antara beberapa kelompok di atas, mereka berdebat bukan tentang pokok-pokok ajaran Islam itu sendiri, akan tetapi bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem kehidupan sosial, antara Islam sebagai model of reality dan Islam sebagai models for reality, sehingga menciptakan setidaknya dua bentuk komunitas beragama yaitu antara folk variant dan scholarly veriant, yang dalam konteks keindonesiaan terwujud dalam bentuk komunitas NU dan komunitas Muhammadiyah. Yang pertama sering diklaim sebagai kelompok tradisionalis, dan yang kedua sebagai kelompok modernis.[44]

Kelompok tradisionalis sering dikategorikan sebagai kelompok Islam yang masih mempraktekkan beberapa praktek tahayyul, bid’ah, khurafat, dan beberapa budaya animisme, atau sering diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, sementara kelompok modernis adalah mereka yang sudah tidak lagi mempraktekkan beberapa hal di atas. Akan tetapi kategorisasi ini menjadi kurang tepat ketika ditemukan adanya praktek budaya animisme yang dilakukan oleh kalangan muslim modernis, seperti yang pernah diungkap oleh Munir Mulkhan dalam penelitiannya tentang Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Di dalam penelitiannya ia menemukan adanya empat varian masyarakat Muhammadiyah; yaitu Islam murni (kelompok al-Ikhlas), Islam murni yang toleran terhadap praktek TBC (kelompok Kyai Dahlan), Islam neo-tradisionalis (kelompok Muhammadiyah-NU), dan Islam neosinkretis (kelompok Muhammadiyah-Nasionalis).[45]

Dari temuan itu muncul pertanyaan, siapa sebenarnya yang disebut sebagai kelompok tradisionalis dan siapa yang pula yang disebut sebagai kelompok modernis? Apa ciri-ciri dari masing-masing tipe tersebut?

Maka di bawah ini penulis akan mencoba memahami konsep tradisionalisme dan modernisme Islam di Indonesia dari perspektif sosiologis.

1. Tradisionalisme Islam
Ketika berbicara mengenai masyarakat Muslim tradisional, yang terbayang adalah sebuah gambaran mengenai masyarakat yang terbelakang, masyarakat Muslim yang kolot, masyarakat yang anti atau menolak perubahan (anti progresivitas), konservatif (staid approach), dan diliputi oleh sikap taqlid. Mereka adalah kelompok yang membaca dan belajar “kitab kuning”, termasuk karya al-Ghazali dan ulama’ fiqh klasik, dan tokoh-tokoh sufi pada zaman pertengahan Islam.[46]

Terma tradisional merupakan terma untuk sesuatu yang irrasional, pandangan dunia yang tidak ilmiah, lawan dari segala bentuk kemodernan. Tradisionalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada fundamen Agama melalui penafsiran terhadap kitab suci Agama secara rigid dan literalis.

Secara etimologis, tradisional berarti kecenderungan untuk melakukan sesuatu yang telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang masa lampau sebagai otoritas dari segala bentuk yang telah mapan.  Menurut Achamad Jainuri, kaum tradisionalis adalah mereka yang pada umumnya diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, serta kaum elit kultur tradisional yang tidak tertarik dengan perubahan dalam pemikiran serta praktik Islam.[47]

Sementara itu, tradisionalisme adalah paham yang berdasar pada tradisi. Lawannya adalah modernisme, liberalisme, radikalisme, dan fundamentalisme. Berdasarkan pada pemahaman terhadap tradisi di atas, maka tradisionalisme adalah bentuk pemikiran atau keyakinan yang berpegang pada ikatan masa lampau dan sudah diperaktekkan oleh komunitas Agama.

Di bidang pemikiran Islam, tradisionalisme adalah suatu ajaran yang berpegang pada Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para Sahabat dan secara keyakinan telah diperaktekkan oleh komunitas Muslim.

Kaum tradisionalis di Indonesia adalah mereka yang konsisten dalam berpegang teguh pada mata rantai sejarah serta pemikiran ulama’-ulama’ terdahulu dalam perilaku keberagamaannya. Konkritnya, memegang dan mengembangkan ajaran fiqh scholastik madzhab empat.[48]

Kaum tradisionalis meyakini Shari’ah sebagai hukum Tuhan yang dipahami dan dipraktekkan semenjak beberapa abad silam dan sudah terkristal dalam beberapa madhab fiqh. Dalam bahasa Fazlur Rahman, mereka lebih cenderung memahami syari’ah sebagaimana yang telah diperaktekkan oleh ulama’ terdahulu. Mereka menerima prinsip ijtihad, akan tetapi harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum tradisional seperti qiyâs, ijmâ’ dan istihsân.[49]

Dalam masalah tareqah mereka menganggapnya sebagai dimensi terdalam dari ajaran Islam. Dalam masalah tarekat ini mereka merujuk kepada Imam al-Ghazali untuk dijadikan sebagai tokoh sentral, yang muncul pada abad ke-12/18, seperti ajaran yang disampaikan oleh al-Ghazali.

Howard Federspiel, mengartikan tradisionalisme di Indonesia sebagai paham yang mempertahankan nilai-nilai yang telah mapan di kalangan umat Islam penganut mazhab Syafi’i. Kelompok ini, di Indonesia, muncul pada abad ke-20 sebagai perlawanan terhadap pandangan-pandangan kaum modernis. Sementara terma modernis menunjukkan pada kelompok yang merasionalkan segala bidang kehidupan, termasuk Agama, pengetahuan dan teknologi. Kelompok ini muncul pada abad ke-20, yang menyerukan reformasi bidang Agama dan menjadikan Islam sebagai senjata dalam melawan modernisasi di tengah-tengah masyarakat muslim.[50]

Dalam konteks sosial-budaya, unsur-unsur yang terdapat pada Islam tradisional Indonesia meliputi adanya lembaga pesantren, peranan dan kepribadian kyai yang sangat menentukan dan kharismatik. Basis masa kaum tradisionalis semacam ini pada umumnya berada di pedesaan. Begitu lekatnya Islam tradisionalis di Indonesia dengan kalangan pedesaan, sampai-sampai dikatakan bahwa Islam tradionalis adalah Islam pedesaan.[51]

Islam tradisional secara religi bersifat kultural, secara intelektual sederhana, secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politis bersifat oportunis. Meskipun untuk saat ini banyak kaum tradisionalis yang kontroversial dengan yang konservatif, akan tetapi peran warna konservatifme sangat kuat sekali di tingkat lokal.[52]

Kaum tradisionalis sering digolongkan ke dalam organisasi sosial keagamaan terbesar bernama NU, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan pada tahun 1926 di Surabaya, oleh beberapa ulama’ pengasuh pesantren, di antaranya K.H. Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng) dan K. Wahab Hasbullah (Tambak Beras).[53]

Golongan tradisi banyak menghiraukan soal-soal ibadah belaka. Bagi mereka Islam seakan sama dengan fiqh, dan dalam hubungan ini mereka mengakui taqlid dan menolak ijtihad. Sikap ini sering menyebabkan mereka menjadi patuh buta, sebab imam madzhab fiqh atau kyai dianggap ma’sum, bebas dari kesalahan. Dalam situasi seperti itu Islam dan tafsiran tentangnya merupakan monopoli kyai belaka, sehingga fatwa kyai dianggap mutlak, final dan tidak dapat dipertanyakan lagi.[54]

2. Modernisme Islam
Lawan dari tradisional adalah modern, yaitu suatu istilah yang diidentikkan dengan zaman teknologi. Modernitas adalah sebuah sikap yang mempertanyakan problem masa lampau, bentuk tradisional harus dipertanyakan dan diuji, tidak ada sikap kembali ke belakang. Ide-ide masa lampau tidak relevan lagi di masa sekarang.[55]

Kata modern, modernisme, modernisasi, modernitas, dan beberapa istilah yang terkait dengannya, selalu dipakai orang dalam ungkapan sehari-hari. Karena perubahan makna yang terdapat di dalamnya, istilah-istilah ini seringkali memiliki makna yang kabur. Modern adalah sebuah istilah korelatif, yang mencakup makna baru lawan dari kuno, innovative sebagai lawan tradisional. Meskipun demikian, apa yang disebut modern pada suatu waktu dan tempat, dalam kaitannya dengan budaya, tidak akan memiliki arti yang sama baik pada masa yang akan datang atau dalam konteks yang lain.

Para peneliti agama, terutama, yang tertarik pada contoh-contoh budaya menurut sebuah kerangka jangka panjang, tidak harus lupa meletakkan pada persepsi perubahan perspektif dari apa yang disebut baru dan kuno. Karena penilaian tentang apa yang disebut modern adalah persoalan perspektif dari orang yang melihat, fenomena yang kelihatannya sama bisa jadi sangat berbeda tergantung pada konteks yang berbeda. Oleh karena itu, contoh karya 
arsitektur modern pada pertengahan abad ke-20 sekarang sudah terlihat kuno.         

Dalam bidang intelektual, modernisme Islam muncul karena tantangan perkembangan yang dihadapi oleh umat. Dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20 tantangan politik yang dihadapi oleh umat Islam bagaimana membebaskan diri dari penjajahan Barat, tantangan kultural adalah masuknya nilai-nilai baru akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan modern Barat, tantangan sosial-ekonomi adalah bagaimana mengentaskan kebodohan dan kemiskinan umat, dan tantangan keagamaan adalah bagaimana meningkatkan wawasan pengetahuan agama serta mendorong umat untuk bisa memahami ajaran agama secara mandiri.[56]

Bagi muslim modernis, Islam memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan manusia di dunia, baik pribadi maupun masyarakat, dan yang dipandang selalu sesuai dengan semangat perkembangan. Oleh karena itu, bagi kaum modernis tugas setiap muslim adalah mengimplementasikan semua aspek ajaran Islam dalam kehidupan nyata. Dasar pandangan ini dibentuk oleh satu keyakinan bahwa Islam memiliki watak ajaran yang universal. 

Universalitas ajaran Islam ini dilihat dari sapek isi mencakup semua dasar norma bagi semua aspek kehidupan, baik yang berkaitan dengan persoalan ritual maupun sosial, dari aspek waktu, Islam berlaku sepanjang masa, dilihat dari aspek pemeluk, Islam berlaku untuk semua umat manusia tanpa memandang batasan etnik maupun geografis.

Dalam masalah ijtihad kaum modernis menganggap bahwa kesempatan untuk melakukan interpretasi masih tetap terbuka, sehingga kelompok ini mengajak kepada seluruh ulama’ yang memiliki kemampuan harus selalu melakukan interpretasi sepanjang masa.[57]

Rumusan modernisme Islam paling awal muncul di Mesir oleh Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi, dilanjutkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan mengalami perkembangan yang luar biasa di tangan Muhammd ‘Abduh. Tokoh terakhir ini disebut inspirator gerakan pembaharuan dalam Islam yang sampai ke Indonesia. Kaum modernis di Indonesia sering digolongkan kepada organisasi sosial keagamaan bernama Muhammadiyyah, PERSIS, al-Irsyad dan sejenisnya.[58]

Di antara cirri dari gerakan Islam modern adalah menghargai rasionalitas dan nilai demokratis. Semua anggota memiliki hak yang sama dan semua tingkat kepemimpinan dipilih tidak diangkat. Tidak ada perbedaan antara warga biasa dan ulama menyangkut hak dan kewajiban organisasi.

Gerakan ini di Indonesia memiliki pengaruh kuat di kalangan kelas menengah kota, mulai dari pengrajin, pedagang, seniman sampai para professional. Sebagai sebuah fenomena kota, di antara karakteristik gerakan ini adalah “melek huruf”, yang pada akhirnya ciri ini menuntut adanya pendidikan. Sehingga pendidikan merupakan program yang paling utama.[59]

Kelompok ini memandang bahwa syari’ah harus diaplikasikan dalam semua aspek kehidupan secara fleksibel dan mereka ini cenderung menginterpretasikan ajaran Islam tertentu dengan menggunakan berbagai pendekatan, termasuk dari Barat. Maka modernisme Islam memiliki pola pikir rasional, memiliki sikap untuk mengikuti model Barat di bidang pendidikan, teknologi, dan industri atau telah terbawa oleh arus modernisasi. 

Pemikiran kaum modernis bukan hanya terbatas pada bidang teknologi ataupun industri, akan tetapi juga merambah ke dalam bidang pemikiran Islam yang bertujuan untuk mengharmonikan keyakinan Agama dengan pemikiran modern.[60]

Secara umum, orientasi ideologi keagamaan modernisme Islam ditandai oleh wawasan keagamaan yang menyatakan bahwa Islam merupakan nilai ajaran yang memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan dan karenanya harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka, pengamalan ini tidak hanya terbatas pada persoalan ritual-ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek kehidupan social kemasyarakatan.

Dikotomi di atas sering kita kelompokkan dalam dua organisasi besar yaitu Islam NU dan Islam Muhammadiyyah. NU sering dilihat sebagai representasi kelompok tradisionalis, sementara Muhammadiyyah sebagai representasi kelompok modernis. Namun  dikotomi ini kemudian dianggap tidak layak lagi, karena dalam perkembangan selanjutnya, NU bersifat lebih terbuka terhadap modernitas. Bahkan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Arbiyah Lubis, ditemukan bahwa Muhammadiyyah termasuk dalam kelompok tradisionalis modernis. Menurutnya, Muhammadiyyah tampil sebagai modernis hanya dalam dunia pendidikan, dan dalam memahami teks al Qur’an dan Hadith sebagai sumber ijtihad, Muhammadiyyah berada dalam kelompok tradisonalis.[61]

Paham tradisionalisme yang dianut oleh organisasi Muhammadiyyah, menurut Arbiyah Lubis, tercermin dalam teologi yang dianutnya, yaitu paham Jabariyyah yang mengakui kehendak mutlak Tuhan, ketidak bebasan manusia dalam memilih perbuatannya dan memberikan daya yang kecil kepada akal untuk memamahmi masalah-masalah akidah.[62]

Sementara dalam penelitian lain, Muhammad Azhar juga mengatakan bahwa dalam beberapa hal, NU yang dianggap tradisional, ternyata lebih modern ketimbang Muhammadiyah. Sebagai contoh, proses penerimaan asas Pancasila, pendirian BPR Nusumma, ternyata NU terkesan mendahului Muhammadiyah.[63] Nurcholish Madjid, tokoh intelektual Muslim Indonesia, juga mengatakan bahwa pola pemikiran Neo-modernisme Islam akan muncul dari kalangan NU yang kaya khazanah klasik, ketimbang Muhammadiyah, dan kini hal itu terbukti dengan munculnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang tokohnya banyak didominasi oleh kalangan pemuda NU.

3. Perbedaan Simbolik antara Tradisionalisme dan Modernisme Islam di Indonesia
Di dalam konteks keindonesiaan, dikotomi antara kaum tradisional dengan modernis bisa kita lihat di antaranya dari bentuk cara melakukan beberapa praktek ritual keagamaan serta penggunaan simbol yang berbeda satu sama lainnya.

Kaum tradisional adalah mereka yang gemar dengan ritual diba’iyah, tahlilan, ziarah kubur, sholat subuh dengan menggunakan qunut, membaca pujian sebelum dan setelah adzan, mengeraskan bacaan dzikir dan do’a setelah sholat yang dilakukan bersama-sama, serta bentuk masjid yang memiliki beduk, kentongan, dan mimbar khotib yang menggunakan tongkat dan kursi singgasana layaknya seorang raja. Sementara kaum modernis adalah mereka yang anti slametan, tahlilan, ziarah kubur untuk meminta berkah, tidak memakai sorban atau peci haji dalam sholat, membaca dzikir dan do’a setelah shalat sendiri-sendiri, tanpa suara keras, menolak qunut di waktu sholat subuh, tidak menggunakan pujian sebelum dan setelah adzan, serta bentuk masjid yang tidak menggunakan beduk, kentongan serta mimbar khatib yang lebih modern dan tanpa tongkat.[64]

Beberapa hal lain yang menjadi perbedaan antara NU dan Muhammadiyyah adalah bahwa NU lebih besifat rural (gejala pedesaan), syarat dengan simbol tradisional (dulu disimbolkan dengan pakaian sarung dan serban), berlebihan dalam pengamalan ibadah, lebih mempercayai kata ulama’, lebih terikat dengan jama’ah, lemah inisiatif dan lebih hirarkis-struktural dalam hal status sosial, tidak menolak beberapa praktek ritual yang tidak tertulis di dalam hadith sahih, atau tidak sesuai dengan pemikiran modern, karena, menurut mereka, tidak berarti sesuatu yang tidak tercantum di dalam hadith sahih itu bertentangan dengan Islam selama masih belum menyangkut masalah akidah. Prinsip kaum tradisionalis adalah ‘adam al wujûd lâ yadullu ‘alâ ‘adam al wujdân.[65]

Sebaliknya, Muhammadiyyah lebih bersifat urban (gejala perkotaan) yang sangat apresiatif dengan simbol modernitas (dulu disimbolkan dengan memakai dasi, dan sebagainya), kritis, mandiri, individu jadi fokus perhatian, penuh inisiatif, menganggap sesuatu yang tidak tercantum di dalam hadith sahih dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari ajaran Islam dan tidak boleh diamalkan, karena akan berdosa dan berimplikasi buruk terhadap akidah.

Dalam bentuk praktek ritual di waktu shalat jum’at misalnya, NU menggunakan dua adzan, sementara Muhammadiyyah menggunakan satu adzan. Bentuk mimbar yang digunakan juga berbeda, NU menggunakan mimbar bertongkat, sementara Muhammadiyyah menggunakan bentuk mimbar modern.

Perbedaan lain yang sangat mencolok adalah dalam penetapan awal puasa dan hari raya, pelaksanaan sholat tarawih dan sholat Id. Kelompok NU dalam menetapkan awal bulan puasa dan hari raya (Id) berpegang pada konsep ru’yah, sementara Muhammadiyyah berpegang pada hisâb. Dalam pelaksanaan sholat tarawih, kelompok NU berpegang pada jumlah 20 raka’at, sementara Muhammadiyyah berpegang pada jumlah 8 raka’at. Dalam pelaksanaan sholat Id, kelompok NU melakukannya di masjid, sementara orang Muhammadiyyah di lapangan terbuka.

Dalam bidang pendidikan, NU menggunakan gaya sorogan, menggunakan kitab kuning sebagai bahan kajian, yaitu kitab-kitab karya al-Ghazali dan beberapa pemikir lainnya, yang muncul pada abad Islam klasik. Sementara dalam pendidikan yang dikelola Muhammadiyyah, menggunakan sistem klasikal, menggunakan kitab putih sebagai ganti dari kitab kuning. Kelompok tradisionalis ini mengklaim bahwa pintu interpretasi telah tertutup, sementara kaum modernis menganggap bahwa kesempatan untuk melakukan interpretasi masih tetap terbuka.[66]

Proses individu melakukan identifikasi diri di dalam dunia sosio-kulturalnya tadi bisa disebut sebagai internalisasi. Secara kodrati memang manusia memiliki kecenderungan untuk mengelompok. Artinya, manusia akan selalu berada di dalam kelompoknya yang kebanyakan didasarkan atas rasa seidentitas. Sekat interaksi tidak dijumpai jika manusia berada di dalam identitas yang sama. Jika sesama warga NU, maka secara leluasa juga dapat melakukan interaksi yang intensif. Demikian pula sesame warga Muhammadiyah. Interaksi antara orang Muhammadiyah dan NU akan sangat terbatas pada persoalan-persoalan segmental. Dalam segmen tertentu bisa berkomunikasi tetapi dalam segmen lain akan membatasi diri.

Itulah sebabnya terdapat penggolongan sosial, misalnya orang NU dan orang Muhammadiyah. Penggolongan sosial itu tentunya memiliki basis nilai dan historis yang bisa dirujuk pada sejarah panjang dua organisasi sosial keagamaan ini. Muhammadiyah ofensif untuk memberantas tradisi lokal yang tidak genuine, sedangkan NU sibuk untuk melakukan resistensi dengan mempertahankan tradisi-tradisi lokalnya. Orang NU beranggapan bahwa tradisi lokal termasuk dalam kategori furu’iyat, sementara orang Muhammadiyah beranggapan bahwa tradisi lokal adalah persoalan teologis, dan sangat menentukan Islam yang genuine atau Islam yang ditambah-tambah. Orang NU beranggapan bahwa tradisi lokal adalah persoalan ‘urf, sementara orang Muhammadiyah menggapnya sebagai penyimpangan dari genuinitas Islam.

H. Penutup

Dari paparan di atas, ditemukan bagaimana Islam harus berhadapan dengan dinamika tiga lapisan realitas, yaitu lapisan-lapisan universal dan internasional, nasional dan lokal. Kenyataan di atas juga berarti bahwa Islam tidak mengenal doktrin tunggal, apalagi mutlak. Masing-masing dari kelompok di atas tentu sangat dipengaruhi oleh situasi sosial-ekonomis, masalah penghayatan agama serta kecenderungan doktrin dalam proses pembentukannya. Maka perubahan sosial-ekonomis bisa mempengaruhi perubahan pemahaman seseorang terhadap agamanya.

Menurut Taufik Abdullah, agama tidak sekedar gejala sosiologis yang bisa dikategorikan begitu saja menurut pengamat seorang pengamat. Sebab bagi penganutnya, agama menyangkut masalah makna sebagai landasan untuk melihat dan mengerti realitas. Dalam kaitan inilah terdapat adanya hubungan dialektis antara system makna yang dipercayakan agama dan pengertian yang dihayati oleh para pemeluk, yang secara obyektif juga terkait oleh konteks relitasnya. Perubahan sosial-ekonomi dapat merupakan unsur yang menyebabkan terjadinya kemajemukan pemahaman terhadap doktrin yang utuh itu.

Dalam proses dialektis antara doktrin agama sebagai landasan sistem makna dan pengertian pemeluk ini, para pemeluk juga secara aktif memberi makna terhadap perbuatannya. Jadi bukan saja perbuatan itu muncul sebagai hasil interpretasi terhadap struktur situasi, tetapi perbuatan itu juga diberi nilai dan makna oleh mereka yang melakukannya. Maka proses sakralisasi dari perbuatan pun bisa pula terjadi.

Perubahan ekonomi, spesialisasi kerja dan mobilitas sosial, serta perubahan politik ikut menjadi faktor utama dalam pembentukan pemahaman seseorang terhadap suatu ajaran agama. Maka tidak mustahil jika ideology seseorang akan selalu mengalami perubahan, karena adanya perubahan pengetahuan yang dimilikinya (pendidikan), perubahan lingkungan di sekitarnya, dan perbuahan pekerjaan atau ekonomi yang dialaminya.

Hal ini bisa dilihat dari penelitian Munir Mulkhan di atas tentang Islam murni dalam masyarakat petani, yang menemukan adanya empat varian masyarakat Muhammadiyah berdasarkan pada aspek-aspek sosiologis yang mengitarinya; yaitu Islam murni (kelompok al-Ikhlas), Islam murni yang toleran terhadap praktek TBC (kelompok Kyai Dahlan), Islam neo-tradisionalis (kelompok Muhammadiyah-NU), dan Islam neosinkretis (kelompok Muhammadiyah-Nasionalis).

Kenyataan ini penting, karena semula beberapa orang termasuk penulis melihat bahwa Muhammadiyah hanya terdiri dari satu kelompok saja, yaitu Islam murni. Padahal kenyataan di lapangan tidak demikian.

Kenyataan semacam ini mungkin tidak saja terjadi dalam masyarakat Muhammadiyah, tetapi juga dalam masyarakat NU, di mana terdapat beragam varian mengenai masyarakat NU yang tradisional, ada NU yang sinkretik, seperti yang digambarkan oleh Geertz, ada NU yang akulturatif seperti yang digambarkan oleh Muhaimin, ada NU yang Muhammadiyah (NUMU) karena sudah terpengaruh oleh kondisi sosial dan ekonomi yang lebih modern.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Syamsudin, Agama dan Masyarakat Pendekatan Sosiologi Agama, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997.
Abdullah, Taufik,  Islam dan Masyarakat, LP3S, Jakarta, 1996
Aiz, Muhammad, Pengantar Islamic Studies (Kajian Islam), didownload dari http: //muhamadaiz.com// tanggal 31 Januari 2013.
Ali Fatimah, Muhammad, dalam http://muhammadalifatimah.blogspot.com/p/studi-islam-pendekatan-sosiologi.html tanggal 31 Januari 2013.
Ali, Abdul Mukti, Ibnu Khaldun dan Asal-usul Sosiologi, Yayasan  Nida, Yogyakarta, 1970.
Ansari, Endang Saifuddin, Wawasan Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.
Anwar, Rosihan, dkk, Pengantar Studi Islam,  Pustaka Setia, Bandung, 2009.
Azhar, Muhammad,  Fiqh Peradaban, Ittaqa Press, Yogyakarta, 2001
Ba-Yunus, Ilyas, & Farid Ahmad, Islamic Sosiology: An Introduction,Terj. Hamid Basyaib Mizan, Bandung, 1988.
Bahreisi, Hussein, Hadits Bukhari-Muslim, Karya Utama, Surabaya, tth.
Cuber, John F. ,Sociology: A Sinopsis of Principles, Meredith Publishing Corporation, New York, 1968.
Greg Fealy, Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikan; Persinggungan Nahdatul Ulama’ Negara, ter. Ahmad Suaedy, LKiS, Yogyakarta, 1997
Hendropuspito, Sosiologi Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1983.
Hendropuspito, Sosiologi Sistemik, Kanisius, Yogyakarta, 1989.
Hess, Bert B, dkk., Sociology, Macmillan Publishing Company, New York, 1982.
Jainuri, Ahmad, Orientasi Ideologi Gerakan Islam (Surabaya: LPAM, 2004
Johnson , Doyle Paol, Teori Sosiologi Klasik dan Modern,Terj. Robert M.Z Lawang, Gramedia, Jakarta, 1985
Kahmad, Dadang,  Sosiologi Agama, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2009.
Khaldun, Ibnu, Mukaddimah, terj. Pustaka Firdaus,  Jakarta, 1986.
Maliki, Zainuddin,  Agama Priyayi, Pustaka Marwa, Yogyakarta, 2004
Marijan, Kacung, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1992
Mulkhan, Munir, Islam Murni dalam Masyarakat Petani, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 2000
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2010.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3S, Jakarta, 1996
Rahman, Fazlur, “Islamic Modernism; Its Scope, Method, and Alternative”,International Journal of Middle East Studies, 1970
Rahmat, Jalaluddin Islam alternatef, Mizan, Bandung ,1986.
Razak, Yusron, ed., Sosiologi Sebuah Pengantar: Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam, Mitra Sejahtera, Tangerang , 2008.
Ridwan, M. Deden, (ed), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, Nuansa, Bandung , 2001.
Ritzer-Doug, George, ass J.Goodmkan, Teori Sosiologi Modern, Edisi keenam, terj. Kencana, Jakarta,  2004.
Roucek, Joseph dan Rolan Werren, Sosiologi An Introduction, terj. Sehat Simamora, PT. Bina Aksara,  Jakarta, 1984.
Salim, Peter, & Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Modern English Press, Jakarta, 1991.
Sanderson, Steven, Sosiologi Makro, terj. Sahat Simamora,  Bina Aksara, Jakarta,, 1984.
Sayyid Quthub, Masyarakat Islam, Terj. Muthi Nurdin, al-Ma`arif, Bandung, 1978.
Shadily, Hasan,  Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Bina Aksara, Jakarta,1983.
Sihombing, Baharudin, Metode Studi Islam, Cita Pustaka Media, Bandung, 2005.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, CV Rajawali, Jakarta, 1982.
Soemardjan, Selo, (ed), Setangkai Bunga sosiologi, Lembaga Penerbitan FEUI, Jakarta, 1974.
Syani,  Abdul, Sosiologi Dan Perubahan Masyarakat, Pustaka Jaya, Lampung, 1995
 
[1] Rosihan Anwar, M.Ag, dkk, Pengantar Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 71
[2] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2010), hlm. 27-28
[3] Muhammad Aiz, Pengantar Islamic Studies (Kajian Islam), didownload dari http: //muhamadaiz.com//
[4] Abdul Syani,  Sosiologi Dan Perubahan Masyarakat  (Lampung: Pustaka Jaya, 1995) hlm. 2.
[5] Beth B. Hess, dkk., Sociology (New York: Macmillan Publishing Company, 1982), edisi ke-2, hlm. 11.
[6] Yusron Razak, ed., Sosiologi Sebuah Pengantar: Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam (Tangerang: Mitra Sejahtera, 2008), hlm. 1.
[7] Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (ed), Setangkai Bunga sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI: 1974).
[8]     Hassan Shadily, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia (Jakarta : Bina Aksara, 1983) cet IX, hlm. 1
[9]     Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : CV Rajawali, 1982, cet I, hlm. 18
[10]    Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat Pendekatan Sosiologi Agama, Jakarta, Logos Wacana Ilmu,1997, hlm.13
[11]    John F. Cuber, Sociology: A Sinopsis of Principles (New York: Meredith Publishing Corporation, 1968), edisi ke-6, hlm. 4.
[12]    Steven Sanderson, Sosiologi Makro, terj. Sahat Simamora, (Jakarta : Bina Aksara, 1984), hlm.  253.
[13]    Stepen Sanderson, Sosiologi Makro, edisi Indonesia, Hotman M. Siahaan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995) hlm. 2.
[14]    Joseph Roucek dan Rolan Werren, Sosiologi An Introduction, terj. Sehat Simamora, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1984) hlm. 253
[15]    http://muhammadalifatimah.blogspot.com/p/studi-islam-pendekatan-sosiologi.html
[16]    Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009) hlm. 39
[17]    Ibid, hlm. 83.
[18]    Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Cet. 5, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009)  hlm. 46.
[19]    Ibid, hlm. 46.
[20]    Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1983) hlm. 7
[21]    Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Cet. 5, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009)  hlm. 47
[22]    Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1983) hlm. 23-24
[23]    Ari Wibowo, dalam http://dema-stain.blogspot.com/2011/10/makalah-wilayah-kajian-sosiologi-agama.html.
[24]    Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Cet. 5, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009)  hlm. 93-111.
[25]    http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/khazanah/09/02/28/34525-ibnu-khaldun-peletak-dasar-sosiologi-islam
[26]    Abdul Mukti Ali, Ibnu Khaldun dan Asal-usul Sosiologi, (Yogyakarta: Yayasan  Nida, 1970),  hlm. 12.
[27]    George Ritzer-Doug, ass J.Goodmkan, Teori Sosiologi Modern, Edisi keenam, terj. (Kencana, Jakarta:  2004) hlm. 8
[28]    Doyle Paol Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern,Terj. Robert M.Z Lawang, (Gramedia, Jakarta: 1985)  hlm. 14
[29]    Ibnu Khaldun, Mukaddimah, terj. (Pustaka Firdaus,  Jakarta: 1986) hlm. 71-72
[30]    Ibid, hlm. 111-112
[31]    Lihat, Ilyas Ba-Yunus, Farid Ahmad, Islamic Sosiology: An Introduction,Terj. Hamid Basyaib (Mizan, Bandung: 1988) hlm. 29
[32]    Sayyid Quthub, Masyarakat Islam, Terj. Muthi Nurdin, al-Ma`arif, Bandung, 1978, hlm. 48
[33]    M. Deden Ridwan, (ed), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar Disiplin Ilmu (Bandung: Nuansa, 2001), hlm. 180. Lihat juga: Baharuddin Sihombing, dan Buyung Ali, Metode Studi Islam (Bandung: Cita Pustaka Media, 2005) hlm. 186-187.
[34]    Lihat,  QS: al-Baqarah:143, an-Nisa: 59, al-Anfal: 46, al-Maidah: 3, al-Hujarat: 13, Ali Imran: 103,  al-Mukminun: 52, dll.
[35]    Endang Saifuddin Ansari, Wawasan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. 4,1993)  hlm. 64
[36]    Jalaluddin Rahmat, Islam alternatef  (Bandung : Mizan, 1986), hlm. 48.
[37] Hussein Bahreisi, Hadits Bukhari-Muslim  (Surabaya : Karya Utama, tth), hlm. 160.
[38]    Abuddin Nata, Metodelogi Studi Islam, hlm. 42
[39]    Peter Salim & Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern English Press, 1991) hlm. 945
[40]    Hassan Shadily, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993)  hlm. 47.
[41]    Hendropuspito, Sosiologi Sistemik, (Yogyakarta: Kanisius, 1989) hlm. 75.
[42]    Ibid, hlm. 75-77
[43] Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam (Surabaya: LPAM, 2004), hlm. 57.
[44]  Lihat, Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3S, 1996),  hlm. 11.
[45]    Munir Mulkhan,  Islam Murni dalam Masyarakat Petani,  (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), hlm. 2.
[46]     Ibid, hlm. 2
[47]    Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam (Surabaya: LPAM, 2004), hlm. 68.
[48]    Lihat, Seyyed Hossein Nasr, Tradisional Islam, hlm. 13.
[49]    Fazlur Rahman, “Islamic Modernism; Its Scope, Method, and Alternative”,International Journal of Middle East Studies (1970), hlm. 317.
[50] Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad, hlm. 125-126.
[51] Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), hlm. 38.
[52] Zainuddin Maliki, Agama Priyayi (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), hlm. 41.
[53]    Lihat, Greg Fealy, Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikan; Persinggungan Nahdatul Ulama’ Negara, ter. Ahmad Suaedy (Yogyakarta;LKiS, 1997), hlm. 220.
[54]    Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3S, 1996). Hlm. 320-321.
[55]    Ibid, hlm. 12
[56] Achmad Jaenuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam Modern (Surabaya: LPAM, 2004),  hlm. 94.
[57] Ibid, hlm. 127
[58] Zainuddin Maliki, Agama Priyayi (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), hlm. 41.
[59] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3S, 1996).
[60] Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), hlm. 39.
[61] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, hlm. 185.
[62] Ibid, hlm. 183
[63] Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), hlm. 89
[64] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3S, 1996), hlm. 108.
[65] Muhammad Azhar,  Fiqh Peradaban (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), hlm. 88
[66] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyyah, hlm. 107-108.

Lencana Facebook